Belum pernah ke Raja Ampat? Sama. Tapi seenggaknya kita pernah naruh dia di wishlist, meski nggak tahu kapan realisasinya. Sekarang, kerja lebih keras lagi biar bisa nabung lebih banyak. Selain karena biaya perjalanan bakal lebih tinggi, di tengah ekonomi yang lagi nggak jelas. Juga karena Raja Ampat bisa saja berubah 180 derajat sebelum kita sempat ke sana. Jadi, mending cepat daripada terlambat.
Kepulauan Empat Raja ini, yaitu Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta, lagi ‘direbutin’ dua pihak yang berlawanan visi. Pihak pertama mau ekosistem tetap lestari, sementara pihak satunya beraksi buat kepentingan industri tambang milik korporasi.
Bisa bayangin, kan, seberapa besar kekayaan alam Raja Ampat? Dari tampilan cantik di permukaan sampai mineral menguntungkan di bawah tanah.
Gugusan pulau ini jadi rumah 1.600 spesies ikan lebih, salah satu yang terkenal adalah pari manta yang langka dan ukurannya agak ngeri. Juga 553 Spesies karang, hampir 75% dari seluruh spesies karang di dunia.
Penyu sisik yang terancam punah masih bertelur di pantai-pantai terpencil. Mamalia laut, kayak hiu paus, lumba-lumba, bahkan paus, sesekali muncul ngasih kejutan ke wisatawan beruntung. Semua itu bikin Raja Ampat jadi jantung Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), zona keanekaragaman hayati laut tertinggi di planet ini.
Jadi alasannya jelas, kenapa UNESCO ngasih status Global Geopark ke wilayah di Papua Barat ini tahun 2023. Dan kenapa Lonely Planet nyebut Raja Ampat sebagai Must Visit Location 2023. Juga kenapa National Geographic masukin wilayah ini di posisi keempat dalam daftar Top 5 Best Places in The World to Travel 2025.
Formasi karst di Pulau Piaynemo dan Wayag yang bentuknya ikonik itu, dengan air lautnya yang biru bening. Jadi alasan yang jelas juga, kenapa Raja Ampat dipilih jadi latar belakang penari Betawi di uang merah pecahan Rp100 ribu.
Wilayah Tersembunyi yang Jadi Magnet Wisata
Tapi sejak lama, Raja Ampat memang lebih dikenal sebagai wilayah pertambangan dan perikanan ketimbang destinasi wisata. Aksesnya yang sulit bikin biaya perjalanan jadi tinggi. Makanya, sebelum tahun 2000-an, tempat ini relatif masih hidden-gem.
Baru sekitar 2003, para penyelam dan peneliti internasional mulai nemu kekayaan bawah laut Raja Ampat. Dipublikasikan, lalu viral di internet, sampai jadi ikon wisata di era media sosial. Sadar ada peluang ekonomi yang muncul dari aktivitas wisata, maka pelan-pelan infrastruktur mulai dibangun. Di antaranya Bandara Marinda di Waisai, jalur transportasi air dari Sorong, sampai jalan lingkar sepanjang 757 km di Pulau Waigeo.
Lama-lama, pengembangan itu membuahkan hasil. Kalau di tahun 2007 cuma ada 998 tiket masuk yang terdaftar, jumlahnya naik drastis jadi sekitar 28 ribu pada 2018, hampir 30x lipat. Pasca pandemi, kata Kemenparekraf jumlah wisatawan ke Raja Ampat tahun 2023 naik 3x lipat dibandingkan 2022 yang 6.600 orang. Salah satu sebabnya, karena promosi UNESCO Global Geopark yang sudah disebut tadi.
Asyiknya, model bisnis pariwisata yang dipakai di Raja Ampat nggak konvensional. Konsepnya pariwisata berbasis konservasi, tiket yang dibeli wisatawan sudah termasuk Environmental Service Fee. Itu langsung dialokasikan buat memelihara kawasan konservasi. Resor-resor di sana—meskipun bukan milik warga lokal, seperti Papua Paradise dan Raja Ampat Biodiversity Eco Resort sengaja bikin model bisnis yang melibatkan pribumi, sambil tetap jaga kelestarian lingkungan.
Tapi di balik asyiknya, perlu diingat juga kalau Raja Ampat sejak awal memang lebih terkenal sebagai daerah pertambangan.
Bisnis Tambang Ancam Raja Ampat
PT Gag Nikel, sekarang anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam), sudah beroperasi di Pulau Gag dari beberapa tahun lalu. Juga PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
Tapi yang bikin lebih kuatir, aktivitas pertambangan juga mulai merambah pulau-pulau lain, misalnya Kawe, Batang Pele, dan Manyaifun. Dari laporan Auriga Nusantara, luas lahan tambang di Raja Ampat naik 494 hektar sejak 2020 sampai 2024—tiga kali lipat dari periode sebelumnya.
PT Gag punya Izin Usaha Pertambangan (IUP) di lahan seluas 13,136 hektar, termasuk di perairan. PT ASP punya konsesi 9.365 hektare di Waigeo dan 1.167 hektare di Pulau Manuram. Sedangkan MRP punya 2.194 hektar di Pulau Manyaifun dan Batang Pele. Itu belum termasuk PT Jiu Long Metal Industry dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Kalau semua izin itu diaktifkan, bisa-bisa lebih dari 10% wilayah daratan Raja Ampat berubah fungsi. Lanskap yang rimbun bakal jadi kawasan industri berat. Penuh jalan hauling, dermaga tambang, sampai tumpukan tailing (limbah) hasil eksploitasi mineral.
Padahal, kebanyakan wilayah yang dikonsesi itu termasuk kawasan konservasi berbasis masyarakat adat. Warga lokal sudah turun-temurun tinggal di situ, menjaga laut dan hutan bukan karena aturan, tapi karena warisan budaya dan kepercayaan. Di banyak kampung, ada sistem sasi, larangan mengambil hasil laut di lokasi tertentu dan selama periode tertentu, biar alam bisa memulihkan diri.
Tapi apa daya. Begitu izin tambang keluar dari pemerintah pusat, masyarakat seringnya cuma bisa pasrah. Kayak berbagai cerita di tempat-tempat kaya sumber daya lainnya, yang dapat untung besar biasanya bukan warga lokal.
Sementara itu, kita, yang nabung bertahun-tahun biar bisa kesampaian visit Raja Ampat. Waktu tabungan sudah cukup, biaya perjalanan sudah naik, sehingga terpaksa nabung lagi sampai cukup beneran. 10 Tahun lagi, pas jumlahnya sudah benar-benar mencukupi, mungkin Raja Ampat sudah berubah dari wisata bahari ke wisata bekas galian. Kalau aktivitas pertambangan nggak segera dihentikan.

