Kamu sudah baca tulisan soal film horor yang nggak seram? Di situ, ada ulasan sedikit tentang film yang dipercaya sebagai cikal bakal genre horor, judulnya Le Manoir du Diable karya Georges Melies tahun 1896. Filmnya bisu, durasinya cuma sekitar 10 menit, dan sama sekali nggak seram kalau buat audiens masa kini.
Nggak seram, salah satu alasannya ya karena filmnya bisu. Memang film zaman awal-awal dulu nggak ada soundtrack atau efek audionya. Kalau mau nonton film yang ada audionya, harus ke teater atau gedung pertunjukan musik besar, karena harus dimainkan live oleh musisi dan pengisi suara. Kalau nggak gitu, penonton harus puas dengan bunyi percakapan penonton lain atau berisiknya putaran rol film jadul.
Seperti semua tahu, suara bisa meningkatkan pengalaman menonton film. Suara bisa memberi konteks, menetapkan nada, atau tema yang tepat di setiap adegan. Selain itu, suara bisa membantu pembuat film untuk berharap reaksi yang diinginkan dari penonton. Tanpa ada suara, bisa-bisa penonton bingung menginterpretasikan adegan-adegan tertentu.
Maka dari itu, pada awal-awal perkembangannya, beli tiket nonton bioskop bisa sekaligus dapat konser musik. Musisinya kalau bukan solois piano, ensembel, ya orkestra. Para musisi ini memainkan musik buat membangun mood setiap adegan, biar nggak hampa. Atau membunyikan alat-alat apa saja yang memungkinkan buat memberi efek suara, seperti peluit, sirene manual, atau drum khusus petir.
Aslinya waktu itu sudah ada teknologi player piano. Mungkin kalau sekarang modelnya kayak midi controller atau pemutar CD/kaset pita. Player piano bisa dipakai untuk mereproduksi suara yang sudah direkam sebelumnya, memakai rol kertas perforasi.
Fotoplayer, Harta Karun Musik dan Film
Tapi, ya, berbagai pendekatan audio yang dilakukan waktu itu masih belum maksimal. Sampai pada sekitar tahun 1912-an, American Photo Player Company mengembangkan sebuah multi instrumen yang diberi nama Fotoplayer.
Joe Rinaudo, pendiri Silent Cinema Society, penggemar alat musik antik yang salah satu koleksinya adalah Fotoplayer yang masih berfungsi. Miliknya itu diproduksi tahun 1926 di Van Nuys, California. Sempat nggak terurus, sebelum akhirnya direstorasi oleh Rinaudo pada tahun 1976.
Fotoplayer. Alih-alih instrumen, perangkat ini mungkin lebih cocok disebut mesin. Meski punya tuts piano konvensional, alat ini dirancang dengan banyak bagian mekanis tambahan. Menggabungkan banyak alat musik sekaligus efek suara, dengan pemicunya berupa tombol, pedal, tuas, saklar, sampai tali.
Bentuknya seperti lemari bufet setinggi kulkas satu pintu. Terdiri dari tiga bagian, konsol utama di tengah, diapit sepasang kompartemen berisi instrumen macam-macam.
Konsol utama berisi piano, lonceng, xilofon, klakson, sirene, triangle, dan berbagai pipe organ. Di atas sampai bawah ada tali buat mengontrol suara bedil, sirene, simbal, peluit kereta, sampai drum.
Tepat di atas tuts piano ada serangkaian saklar buat membunyikan efek suara bel, lonceng, klakson, dan lain-lain. Juga aneka instrumen kecil, seperti tuts buat biola dan seruling, saklar kastanyet, triangle, snare drum, xilofon, dan banyak lagi.
Semua alat dan instrumen itu tersembunyi di dalam ‘lemari’. Baik di sisi kiri kanan konsol utama, maupun di dalam konsol utama itu sendiri.
Selain itu, Fotoplayer juga dilengkapi dengan pemutar rol perforasi seperti di photo player. Perangkat ini juga bisa memutar picturoll, jenis lebih modern dari rol perforasi yang fungsinya juga beda. Picturoll bisa memicu piano dan pipe organ untuk main sendiri secara otomatis. Sehingga musisi—karena mesin, jadi lebih pas disebut operator—Fotoplayer bisa punya waktu istirahat sebentar.
Kerja Keras Operator Fotoplayer
Kalau dipikir-pikir, operator ini pasti sangat repot. Mereka harus sangat terampil dan cepat membaca alur cerita di layar, bahkan hafal setiap adegan di luar kepala. Meski Fotoplayer bisa diprogram main musik secara otomatis, sebagian besar operator lebih milih manual biar bisa lebih adaptif dan sinkron dengan adegan di layar.
Maka dari itu, perator seringnya adalah seorang pianis atau musisi berpengalaman. Dia harus mahir main piano sekaligus gesit menekan tombol atau menarik tali dan tuas. Karena dia bertanggung jawab penuh untuk membunyikan berbagai efek suara, ngikut setiap adegan film yang suasananya berubah-ubah.
Misalnya pas karakter utama berlari, operator membunyikan drum atau efek ketukan biar penonton bisa ikut merasa dikejar-kejar. Juga waktu adegannya romantis, dia harus memainkan nada-nada lembut piano supaya suasana jadi hangat.
Fotoplayer berperan penting dalam menciptakan komedi visual. Film bisu yang identik dengan adegan slapstick—jenis humor fisik yang khas—diberi bumbu suara klakson atau peluit agar terasa makin lucu. Misalnya pas tokoh di film kesandung atau kepeleset, pilihan instrumen harus akurat, membunyikannya harus di waktu yang tepat, supaya menghasilkan nuansa yang diinginkan.
Ikonik, Tapi Cuma Populer Sebentar
Salah seorang operator Fotoplayer yang terkenal bernama Percy Middleton Wells. Tapi bagaimanapun, pria Australia ini bukan orang yang mempopulerkan mesin ini. Fotoplayer miliknya justru lebih muda dari milik Joe Rinaudi. Meski begitu, namanya harum di kancah Fotoplayer karena tercatat pernah memainkannya buat menemani film bisu.
Fotoplayer muncul sebagai solusi buat menghadirkan pengalaman menonton yang maksimal. Meski begitu, mesin ini hanya populer dalam waktu singkat. Seiring perkembangan teknologi film yang nggak bisu lagi sejak akhir 1920-an. Waktu itu ada istilah ‘talkies’, yaitu film dengan dialog yang ada suaranya, sebelumnya nihil.
Suara sudah bisa direkam langsung dalam film, otomatis kebutuhan akan pengiring suara juga ikut berkurang. Bioskop juga nggak mau rugi dengan membayar gaji operator Fotoplayer yang cukup mahal, ya karena kerjaannya memang susah. Produksi dan penayangan film jadi lebih praktis dan efisien.
Pada akhirnya Fotoplayer pun ditinggalkan. Jadi artefak sejarah penting di dunia hiburan. Saat ini, cuma ada sekitar 12 unit mesin ini yang tersisa di dunia. Salah satunya milik Joe Rinaudi, bisa kamu cek di rumahnya di La Cescenta, Montrose, California. Kalau kamu ingin punya satu, silakan beli di rumah lelang, seperti Potter & Potter atau RM Southeby’s, harganya sekitar $40,000.