“You belong with me eee..” Akhirnya, Taylor Swift bisa menyanyikan lagu itu dengan lantang bukan cuma ke fans, tapi juga ke rekaman master enam album legend-nya—kayak Fearless, Speak Now, sampai 1989—yang sekarang resmi jadi miliknya lagi.
Habis drama panjang sejak Scooter Braun pertama kali membeli hak atas katalog musiknya dari Big Machine Records, Taylor sekarang punya kendali penuh seluruh karyanya dari Shamrock Capital.
30 Mei 2025, Taylor nge-post di Instagramnya, foto duduk di depan artwork enam album pertamanya. Di situs webnya, Taylor nulis surat terbuka yang panjang dan emosional.
“Aku terus-terusan menangis bahagia sejak tahu bahwa ini benar-benar terjadi. Semua musik yang pernah aku buat.. kini jadi milikku.
Dan semua video musikku.
Semua film konser.
Sampul album dan foto.
Lagu-lagu yang belum dirilis.
Kenangan. Keajaiban. Kegilaan.
Setiap era.
Seluruh karya hidupku..”
Kayaknya pas nulis surat itu juga dia sambil nangis sesenggukan. Siapa yang nggak terharu? Dari hasil kerja kerasnya konser tur keliling dunia, akhirnya dia bisa beli seluruh rekaman, karya visual, dan semua materi kreatif yang terikat di album-album lamanya, dengan harga sembilan digit (nggak diumumkan detailnya berapa).
Tapi, meski hak master asli sekarang sudah jadi miliknya, Taylor tetap bakal merilis Taylor’s Version dari dua album terakhir yang belum sempat direkam ulang: Reputation dan debut self-titled Taylor Swift (2006). Jadi, akan ada dua versi resmi dari setiap album: versi asli dan versi rekaman ulang. Kedua versi itu bakal terus tersedia di platform musik.
Soal Reputation (Taylor’s Version), Taylor ngaku belum banyak progres. Dia bilang album itu terlalu emosional dan sangat spesifik menceritakan masa kelam dalam hidupnya. Jadi proses rekaman ulangnya agak berat.
“Album Reputation sangat spesifik untuk masa itu… Aku belum sanggup saat mencoba membuatnya kembali,” tulisnya. Katanya, Taylor belum merekam ulang bahkan seperempat dari keseluruhan album itu. Tapi kalau sudah waktunya nanti akan dirilis juga, kok.
Kabar pembelian hak master ini juga mengonfirmasi kalau Scooter Braun sekarang sama sekali nggak terlibat dalam proses apapun.
Wait, sebenarnya ini masalahnya apa, sih?
Flashback ke 2019
Drama album Taylor Swift ini cukup nyesek. Seperti yang dirangkum Variety, ceritanya dimulai pada 30 Juni 2019, waktu Big Machine Label Group—label yang menaungi Taylor dari usia 15 tahun—dijual ke Scooter Braun lewat perusahaan Ithaca Holdings senilai $300 juta.
Transaksi ini otomatis bikin Braun jadi pemilik master recording enam album awal Taylor Swift. Itu artinya, semua hak atas rekaman asli lagu-lagu yang pernah kita dengar di radio, streaming, sampai live performance, bukan milik Taylor lagi.
Taylor waktu itu baru menandatangani kerja sama dengan Universal Music Group (UMG) yang menjamin kepemilikan penuh atas rekaman barunya.
Sedihnya, Taylor nggak dikasih kesempatan buat beli albumnya duluan. Bahkan katanya dia juga baru tahu kabar penjualan label itu pas infonya sudah nyebar ke publik. Ya kali, udah nulis-nulis lagu sendiri, dia yang nyanyi sendiri, tapi karyanya diakuisisi orang lain. Sebel.

Braun bukan orang asing buat Taylor. Taylor kabarnya sudah lama nggak akur sama dia. Di unggahan Tumblrnya, dia pernah bilang kalau Braun sering melakukan perundungan (bullying) lewat manajemen artis-artis yang dia tangani. Jadi waktu tahu karya-karyanya dibeli orang yang dia nggak suka, ya… kamu bisa bayangin perasaannya gimana.
Taylor juga sudah coba lagi beli hak master miliknya, tapi syarat yang diajukan Scott Borchetta, CEO Big Machine, bikin gedek: dia cuma boleh dapat satu master lama untuk setiap album baru yang dia rilis di label tersebut.
Tapi Scott Borchetta membantah tudingan itu. Dia bahkan membagikan bukti dokumen yang seolah menunjukkan kalau Taylor punya opsi mengambil kembali rekamannya. Tapi narasi publik sudah terlanjur memihak Taylor.
Konflik makin ramai setelah sejumlah artis ikut bersuara. Justin Bieber, Demi Lovato, sampai manajer Taylor sendiri terlibat. Meski Bieber sempat minta maaf karena unggahannya yang dulu dianggap menyindir Taylor, doi tetap ngebela Braun.
Tim hukum Taylor juga angkat bicara dan menyatakan Taylor nggak pernah dikasih kesempatan buat membeli haknya secara langsung. Semua ini bikin publik ikut pusing. Betapa rumit dan nggak adilnya sistem kepemilikan dalam industri musik!
Habis Gelap Terbitlah Taylor’s Version
Taylor Swift tentu nggak ikhlas gitu aja melepas karya-karyanya. Tanggal 25 Agustus, secara terbuka Taylor mengumumkan rencana besar buat re-recording seluruh album lamanya. Ini bukan keputusan impulsif, tapi bentuk perlawanan atas sistem industri musik yang membuat musisi nggak punya kendali atas karya sendiri.
Langkah ini sebenarnya pernah dilakukan artis lain kayak Def Leppard, tapi belum pernah ada yang skalanya sebesar Taylor Swift.
Dalam wawancaranya sama CBS This Morning, Taylor terang-terangan bilang kalau Scott Borchetta mengkhianatinya. “Saya tahu dia bakal jual musik saya,” katanya.
Yang bikin Taylor marah, musik itu dijual ke Scooter Braun, sosok yang menurutnya sudah lama bermasalah, dan sering jadi bahan rasan-rasan. “Dia punya 300 juta alasan buat lupa semua obrolan kami soal Scooter,” sindir Taylor, merujuk nilai kesepakatan penjualan itu.
Drama makin panas jelang American Music Awards (AMAs) 2019—waktu Taylor terpilih jadi Artist of the Decade. Dia mengaku dilarang membawakan lagu-lagu lamanya oleh pihak Big Machine di acara itu. Baru setelah tekanan publik muncul, label itu memberi izin. Makanya pas tampil di AMA, Taylor pakai baju bertuliskan nama-nama albumnya.

Habis itu, Scooter Braun ngaku kalau keluarganya dapat ancaman pembunuhan akibat konflik ini. Ia ngingetin Taylor soal pengaruh kata-katanya. Tapi Taylor tetap keukeuh: ini bukan masalah personal, bro, tapi struktural yang merugikan artis.
Perang dingin terjadi sampai akhirnya Swift secara legal boleh mulai merekam ulang musik lamanya per 1 November 2020, pas zaman pandemi. Tapi dua minggu kemudian, Scooter Braun menjual master enam album Swift ke Shamrock Holdings senilai $300 juta. Lagi-lagi, Taylor merasa nggak diberi kesempatan yang adil buat menawar.
Dia bahkan mengklaim tim Braun meminta dirinya menandatangani perjanjian kerahasiaan (NDA) sebelum negosiasi bisa dimulai. Taylor menolak. “Rekaman master itu tidak pernah ditawarkan untuk dijual ke saya,” katanya.
9 April 2021, Taylor membalas semuanya dengan merilis Fearless (Taylor’s Version) — versi rekaman ulang yang hampir identik sama aslinya. Tapi kali ini kendali penuh ada di tangan Taylor.
Rekaman itu disusul seri album-album Taylor’s Version lainnya, yang sekarang jadi pondasi Eras Tour, tur global sukses yang diperkirakan menghasilkan $2,2 miliar.

Lagu-lagu hasil rekaman ulang ini juga tetap mendominasi chart, bahkan lebih tinggi dari versi aslinya. Media, fans, sampai radio-radio besar juga ikut support. Mereka pilih muterin versi Taylor, bukan versi “lama”.
Juni 2021, Scooter Braun sempat buka suara ke Variety soal drama akuisisi master album Taylor Swift. Ia bilang menyesal karena Taylor bereaksi negatif atas kesepakatan itu. “Semua yang terjadi membingungkan dan nggak berdasarkan fakta,” katanya. Tapi komentar ini justru makin bikin konflik memanas. Keduanya terus saling sindir di publik.
Tapi waktu berpihak pada Taylor. Enam album Taylor’s Version, ditambah lima rilisan baru sejak keluar dari Big Machine, bukan cuma memperkuat dominasinya di industri musik, tapi juga bikin dia resmi menyandang status miliarder. Sementara, reputasi Scooter Braun makin tercoreng, meski kekayaan pribadinya ikut naik.
2025: Now Belongs to Me
Enam tahun kemudian, akhirnya kabar gembira datang. 30 Mei 2025, Taylor Swift secara resmi membeli kembali hak master atas keenam albumnya—langsung dari Shamrock Capital.
Langkah Taylor ini jelas jadi preseden penting. Selama ini banyak artis muda yang nggak punya kuasa atas rekaman mereka sendiri karena kontrak awal yang timpang. Musisi dikontrak, lagu jadi hits, tapi master tetap milik label. Kalau nggak hati-hati, karya kamu bisa selamanya diakuisisi orang lain.
Taylor Swift udah nulis lagu tentang mantan, haters, pangeran berkuda, macem-macem. Tapi kali ini, cerita terbesarnya adalah tentang dirinya sendiri: seorang seniman yang akhirnya bisa berdiri dan bilang, “All of the music I’ve ever made… now belongs… to me..”
View this post on Instagram
Buat Taylor, seluruh albumnya adalah potongan cerita hidup yang dia tuangkan ke dalam karya. Dia mengaku sempat hampir nyerah dua dekade mengejar hak atas karyanya sendiri dan terus dikecewakan.
Tapi sekarang sudah endgame. Selain lega, dia juga tersentuh karena mulai banyak musisi muda mulai berani menuntut kepemilikan master dalam kontrak mereka, gara-gara terinspirasi kisahnya. “Setiap bagian dari ini penting, dan akhirnya semua sampai di titik ini,” tulisnya.
Selamat juga, sekarang kamu sudah bisa mendengarkan lagu-lagu Taylor Swift original version tanpa merasa sungkan.

