• About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten
Friday, December 19, 2025
hipkultur.com
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
hipkultur.com
No Result
View All Result
Home Isu

Childfree: Tak Mau Punya Anak, Menolak Berkembang Biak

Ovan Obing by Ovan Obing
16 July 2024
in Isu
0
Ilustrasi gaya hidup childfree, tidak mau punya anak, menolak berkembang biak

Ilustrasi gaya hidup childfree, tidak mau punya anak, menolak berkembang biak

0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Childfree mulai naik pamor, salah satu penandanya ketika public figure bernama Gita Savitri menyatakan bahwa dia menerapkannya. Orang ini menikah pada 2021 dengan Paul Andre Partohap, lalu memutuskan tak ingin punya anak dan menyuarakannya kepada khalayak.

“Jadi sebenarnya aku sama Paul itu childfree, kita memang nggak ada rencana untuk punya anak, kita penginnya berdua aja. Mungkin ini terlalu ekstrem kali, ya,” ujarnya lewat kanal YouTube Analisa Channel, dikutip dari Liputan6.

Sosok yang dikenal berani membuat pernyataan kontroversial ini juga pernah menuangkan soal keuntungan tak punya anak dalam akun media sosial pribadinya.

“Tidak punya anak memang anti penuaan alami. Kamu bisa tidur selama 8 jam setiap hari. Tidak stress mendengar teriakan anak-anak. Dan saat kamu akhirnya keriput, kamu punya uang untuk membayar botox,” tulisnya.

Respons Negatif dari Warga Setempat

Kita semua tahu kalau banyak warga Indonesia masih berpikiran konvensional. Masyarakat masih menganggap wanita beranak punya status sosial lebih tinggi daripada yang tidak. Perempuan sejati adalah dia yang bisa melahirkan keturunan dari rahim sendiri. Pilihan childfree masih dianggap tabu, bahkan penganutnya dinilai bermasalah.

Kita juga sering mendengar pertanyaan seputar kemajuan hidup. Seperti “Kapan nikah?” untuk yang lajang, dan “Kapan punya anak?” bagi suami istri. Meski mungkin cuma basa-basi, tidak sedikit ora denganng menyimpulkan bahwa lontaran itulah indikator konvensionalnya pola pikir masyarakat.

dok: Suara Surabaya

Media Indonesia pernah menyebutkan kalau pernyataan Gitasav soal keuntungan childfree tadi direspons negatif sejumlah warganet. Umumnya menyorot ungkapan Gita yang dinilai menyudutkan ibu-ibu yang terlanjur gagal childfree.

Tren yang sama, muncul dalam “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia”. Studi rilisan BPS ini menemukan lebih banyak opini bernada negatif daripada yang netral atau positif. Keputusan orang-orang seperti Gitasav dianggap tidak mematuhi norma agama, menyalahi kodrat, hingga dicap egois.

Memang, demografi para komentator di sini tidak bisa dilacak lebih dalam. Jadi, tidak diketahui siapa pemberi respons negatif ini. Apakah mereka orang tua atau muda? Di mana tempat tinggalnya? Apa tingkat pendidikan mereka? Atau macam-macam variabel lainnya.

Belum Cukup Tanggapan Positif

Sementara, sebuah survei besutan Personal Growth pada tahun 2022 menemukan kesimpulan agak berbeda. Personal Growth adalah penyedia layanan psikologis profesional, khususnya konseling dan pengembangan sumber daya manusia.

Responden survei berjumlah 312 orang yang berusia antara 18-35 tahun. Mayoritas berpendidikan sarjana S1 (64,7%), dan separuhnya masih lajang (50%).

Hasilnya, sebagian besar responden (79,2%) menilai netral soal keputusan childfree.

Terungkap tiga alasan yang mendasari penilaian itu. Pertama, mereka menghargai keputusan subjektif setiap individu. Kedua, anak merupakan tanggung jawab besar dan mengadakannya perlu perhitungan matang. Ketiga, keputusan childfree merupakan hasil kesepakatan suami istri dengan pertimbangannya masing-masing.

Ketika ditanya soal ingin childfree atau tidak, sebanyak 108 dari 312 responden menyatakan ingin. Atau setidaknya bagi yang lajang, mereka merencanakannya setelah menikah nanti.

Personal Growth menangkap ada 5 faktor penyebab kecenderungan itu. Di antaranya soal kecukupan finansial, takut gagal jadi orang tua ideal, takut tidak bisa memenuhi gaya hidup, mementingkan karir, serta kurangnya wawasan parenting.

Sejauh ini, orang yang terbuka dengan konsep childfree cenderung berasal dari kalangan muda. Boleh dibilang generasi milenial dan setelahnya.

Mereka terpapar banyak hal yang tidak dirasakan generasi sebelumnya. Pola pikir mereka pun cukup jauh berbeda dibandingkan generasi terdahulu.

Tapi, toh, tanggapan mereka kebanyakan masih netral-netral saja. Belum cukup positif.

Alasan Seseorang Enggan Berkembang Biak

Kalau memang mau ditelusuri, alasan seseorang enggan berkembang biak pasti subjektif. Namun melihat fenomena yang terjadi, faktor-faktor pendukungnya bisa amat banyak.

Faktor dari Luar

Faktor eksternal bisa dari sisi ekonomi dan kondisi lingkungan. Krisis moneter dan resesi belakangan terasa lebih sering terjadi, bahkan ancamannya muncul lagi di tahun 2024 ini. Lapangan kerja sedikit, jumlah upah minimum terlalu riskan untuk menjamin hidup diri sendiri. Apalagi jika ada orang baru yang perlu dibiayai. Artinya, berketurunan akan memaksa pengorbanan yang amat besar, menurut mereka.

Mereka juga cemas dengan kondisi lingkungan di tengah populasi manusia yang terus naik. Sadar bahwa kenaikan populasi mengancam ketersediaan pangan, di samping kerusakan Bumi yang seakan sulit disembuhkan. Bisa jadi, tidak punya anak dinilai merupakan kontribusi mereka terhadap keberlangsungan kehidupan secara umum.

ilustrasi: planet Bumi hijau (dok: adobe stock)
Ilustrasi: planet Bumi hijau (dok: adobe stock)

Ketakutan-ketakutan lain juga muncul secara monumental. Masih ingat waktu pandemi COVID-19, kita menyaksikan betapa banyak orang tua kesulitan. Harus mencari nafkah di tengah keterbatasan, mengurus rumah, plus aktif dalam pendidikan daring anak-anak. Sampai kewalahan, karena normal baru tentu saja membutuhkan adaptasi yang tidak mudah.

Melihat repotnya menjadi orang tua semasa pandemi, tentunya juga bisa memicu kecemasan. Sebagian anak muda melihatnya terlalu merepotkan, menguras energi fisik dan mental. Membuat mereka berpikir ulang untuk berkembang biak, bahkan menghindarinya sama sekali. Mereka takut akan ikut mengalami hal serupa pada suatu fase dalam hidupnya.

Faktor Internal

Itu belum termasuk faktor-faktor internal, seperti kurang percaya diri. Merasa tidak akan bisa menjadi orang tua ideal, latar belakang keluarga yang traumatik, kondisi mental kurang stabil, hingga ketidakmampuan menanggung konsekuensi. Atau mungkin alasan yang terdengar egois, menyenangkan diri pribadi jauh lebih penting daripada harus bertanggung jawab atas tumbuh kembang anak hasil reproduksi.

Perhatian terhadap pendidikan, karir, dan stabilitas penghasilan merupakan prioritas anak muda masa kini. Mereka maunya jadi lebih matang, sebelum memutuskan untuk melangkah ke jenjang hidup penuh tanggung jawab, seperti menikah atau punya anak. Berdasarkan pengalaman, mereka belajar dari lingkungannya sendiri. Melihat betapa mengurus anak bukanlah soal mudah, apalagi bisa dilakukan sembarangan.

Lagipula, semua juga tahu kalau kesehatan mental lebih diperhatikan di masa sekarang. Kematangan emosional merupakan faktor penting dalam membesarkan anak. Tanpanya, impian untuk punya keturunan dengan pribadi berkualitas harus dikubur dalam-dalam.

Selalu Ada Konsekuensi

Sayangnya, niat yang luhur belum tentu hasilnya sesuai ekspektasi. Dampak positif negatif keputusan childfree hampir sama banyaknya dengan berbagai alasan yang mendasarinya. Kita bisa mengawalinya dengan menyebutkan beberapa konsekuensi positif dari pilihan itu.

Di antaranya, terbebas dari tanggung jawab, fleksibel dan punya kebebasan memilih gaya hidup, serta terhindar dari risiko gangguan kesehatan mental akibat mengurus anak.

Pemilih childfree juga punya peluang lebih besar untuk mengembangkan diri, sesuai target hidupnya masing-masing. Misalnya dengan mengutamakan usaha untuk membangun hubungan suami-istri yang harmonis. Fokus ini bisa lebih bernilai dibandingkan hadirnya momongan.

Bagi Bumi, golongan orang-orang childfree bisa berkontribusi terhadap pengendalian populasi. Mereka ikut berperan dalam meningkatkan ketahanan pangan, juga memberikan kesempatan planet ini untuk pulih kembali.

Dan ketika seseorang lebih fleksibel dengan melajang atau tanpa anak. Ia bisa lebih berani mengambil peran sebagai relawan atau aktivis lingkungan. Juga terlibat dalam berbagai aktivitas yang berdampak penting bagi kehidupan sosial.

Negatifnya? Pasti juga Ada

Sementara itu negatifnya, sekali lagi negeri ini belum ramah untuk orang dengan pilihan bebas dari anak. Kesehatan mental yang dijaga selama ini, berisiko terganggu. Selain karena kemungkinan terisolasi dari pergaulan, khususnya di tengah masyarakat konvensional, perasaan kesepian bisa berkembang seiring bertambahnya usia.

Saat menua, tanpa dana pensiun yang cukup, asuransi, atau dukungan finansial dari orang lain, misalnya anak, otomatis harus bekerja keras sampai titik darah penghabisan. Kalau sakit-sakitan, siapa yang bertanggung jawab merawat?

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) seorang dokter, namanya Hasto Wardoyo. Ia pernah mengatakan kalau misalnya mayoritas penduduk suatu negara memilih childfree, maka negara tersebut berpotensi mandek pertumbuhannya, bahkan minus. Nantinya juga akan berdampak pada rasio ketergantungan, di mana penduduk usia produktif menanggung beban lebih banyak buat menghidupi penduduk non-produktif.

Tapi untuk soal ini, penganut childfree pasti bisa menjawab, “Dengan childfree, kami punya banyak waktu mengembangkan diri. Bisa meningkatkan pendidikan dan skill, biar bisa dapat kerjaan bergaji tinggi. Nanti bisa nabung untuk pensiun dan asuransi, sehingga bisa membiayai diri sendiri tanpa bikin siapa pun terbebani.”


Terlepas dari semuanya, pilihan untuk tidak berkembang biak atau childfree adalah keputusan kompleks dan perlu pertimbangan matang. Meski ada konsekuensi negatif, ada orang yang tetap memilih jalan ini demi berbagai tujuan masing-masing.

Bagi setiap orang, terpenting adalah menghargai keputusan setiap individu dan memahami bahwa makhluk hidup tidak hanya dinilai dari kemampuan reproduksinya saja. Peran dan manfaat seseorang di masyarakat juga sama pentingnya.

Page 2 of 2
Prev12
Tags: fenomenagaya hidupkesehatankesehatan mentalpsikologi
Previous Post

Reflection of The Past, Nostalgia Ekstrem Metalhead Malang bersama Burgerkill

Next Post

5 Aplikasi Milik Pemerintah Ini Sepertinya Salah Pilih Nama

Next Post
Ilustrasi smartphone dengan berbagai aplikasinya

5 Aplikasi Milik Pemerintah Ini Sepertinya Salah Pilih Nama

Please login to join discussion

Daftar Putar

Recent Comments

  • Bachelor of Physics Engineering Telkom University on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • Ani on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.