• About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten
Friday, December 19, 2025
hipkultur.com
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
hipkultur.com
No Result
View All Result
Home Ekspresi

Alam Nggak Perlu Dijaga, Dia Bisa Jaga Diri Sendiri, Santai Aja

Ovan Obing by Ovan Obing
18 June 2025
in Ekspresi
0
Ilustrasi penjaga lingkungan

Ilustrasi superhero penjaga lingkungan

0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Coba ingat-ingat. Setiap kali ada plang bertuliskan “Jagalah Kebersihan”, hampir pasti di sekitarnya selalu ada sampah berserakan. Nggak kurang-kurang kampanye soal kurangi sampah plastik, tapi usaha buat daur ulang juga masih sedikit. Toko-market masih terus sedia plastik baru seolah nggak pernah krisis. Malah kalau ada pelanggan nolak, masih banyak kasir yang ngasih seringai unik.

Di jalan, kita yang mau stop pakai energi fosil, terkendala sama transportasi umum yang nggak bisa diandalkan. Sementara, mobil-motor kita butuh asupan bensin biar fungsinya sempurna sebagai kendaraan. Nah giliran mau ikut gerakan slow fashion dengan nge-thrift, eh di sisi lain masih produksi kaos edisi terbatas buat event. Terbatas, tapi sering bikin event dan yang pesan banyak.

Semua itu fakta. Iya, fakta yang absurd.

Debat Absurd Gara-Gara Istilah

Tapi jangan salah. Ini ada yang lebih absurd lagi, yaitu debat kocak yang muncul waktu salah seorang pembesar Nahdlatul Ulama (NU) ngomong istilah “Wahabi Lingkungan”. Lewat cuitannya di X, dia bilang, “Peduli lingkungan, oke. Menjadi wahabi lingkungan jangan. Harus dibedakan antara peduli lingkungan dg menjadi “wahabi lingkungan” yg hanya menggaungkan “wokisme dan alarmisme global” dlm bidang lingkungan. Berbahaya!”

Twit itu saja sudah bikin netizen geram. Dilanjutkan dengan datangnya ulama NU ini di acara ROSI-nya Kompas TV, digandengkan sama pembicara lain yang seorang aktivis lingkungan Greenpeace. Di situ, si pembesar NU menjelaskan kalau istilah yang dia sodorkan hubungannya sama aktivisme lingkungan yang terlalu ekstrem.

Publik terlanjur mantap sama asumsi dari pernyataan ulama NU yang seolah nyebut aktivis lingkungan mirip kaum wahabi. Kalau di ranah teologi Islam, wahabi itu kelompok yang dikenal sangat ketat menjaga kemurnian ajaran tauhid dan nolak kompromi ke tradisi yang dianggap menyimpang.

Wahabi Lingkungan jadi metafora buat menggambarkan sikap ekstrem atau puritan dalam memperjuangkan isu lingkungan, misalnya nolak seluruh bentuk aktivitas pertambangan tanpa kompromi. Sementara, pertambangan sudah jadi salah satu penyumbang kemajuan peradaban manusia sejauh ini.

Dan tentu saja, pihak-pihak yang ngerasa rendah karena kena label wahabi lingkungan, langsung nggak terima. Malah sampai muncul istilah lawannya, “wahabi tambang” buat nyindir balik pihak yang fanatik membela industri ekstraktif yang acuh terhadap kerusakan lingkungan.

Padahal Sudah Salah Kaprah

Tapi, teman-temanku sekalian. Daripada ribut-ribut kayak gitu, apa nggak mending ngaca dulu?

Kita ini tiap hari masih usaha keras buat ngurangin plastik, ngobatin kecanduan bensin, dan stop gengsi sok slow fashion. Sekarang malah dibikin bentrok pakai istilah, bahkan disuruh milih pihak. Mau jadi “Wahabi Lingkungan” atau “Wahabi Tambang”? Pro lingkungan atau pro tambang? Itu ekstremnya keterlaluan.

Padahal, faktanya jauh lebih berantakan. Nggak ada yang benar-benar “murni” jagain Bumi, karena sistemnya sendiri nggak kasih ruang buat itu. Karena bahkan gerakan paling idealis pun tetap berdiri di atas kontradiksi. Lah, ini bukannya ngebenerin sistem malah saling tuduh fanatik.

Sejauh mata memandang, dijaga atau nggak, Bumi ini tetap rusak pelan-pelan. Manusia sudah terbukti gagal jadi khalifah Bumi, tugasnya cuma mengelola, bukan melindungi, tapi ini juga masih gagal.

Lagian, siapa bilang Bumi perlu dijaga? Satu-satunya alasan manusia menjaga Bumi adalah karena kita tinggal di sini dan berketurunan. Kita jaga Bumi biar tetap layak huni sampai generasi-generasi mendatang. Lah, kalau seluruh dunia kompak childfree, gimana? Apa kita masih punya alasan kuat buat ‘menjaga’ Bumi?

Ya, memang nggak mungkin seekstrem itu.

Tapi, kalau kita mau jujur, sebenarnya alam itu nggak perlu dijaga dengan cara kaku dan ribut-ribut. Alam punya mekanisme sendiri buat adaptasi dan bertahan. Nggak ada manusia, pun, alam ya gitu-gitu aja. Bahkan di usia Bumi yang sudah miliaran, peradaban manusia baru berlangsung selama ribuan tahun, nggak ada satu persennya.

Jadi, sebenarnya yang sibuk ketakutan karena terancam itu kita, bukan Bumi, alam, dan lingkungannya.

Salah Sejak dari Diksi

Ini serius, kita masih mau debat soal wahabi lingkungan dan wahabi tambang? Sementara buat perkara diksi saja, kita masih nggak jelas.

Masalahnya mungkin memang udah salah sejak dari pilihan kata. Diksi atau istilah yang kita pakai itu bukan cuma sekadar bahasa, tapi mencerminkan cara pikir kita. Dan kalau cara pikirnya keliru, ya sikap dan tindakannya juga bakal keliru.

Coba cek KBBI, salah satu arti lingkungan adalah “semua yang memengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan: kita harus mencegah pencemaran ~” Sementara, alam diartikan “segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi, bintang, kekuatan): — sekeliling,” atau “yang bukan buatan manusia: karet –” Dari situ, sudah jelas bahwa definisi dua istilah tersebut jelas mencakup manusia.

Tapi dalam praktiknya, kita sering pakai istilah ‘pencemaran lingkungan’, seolah kita ini cuma pengamat, bukan bagian dari sistem yang tercemar. Atau sering bilang, ‘kembali ke alam’, sambil lupa kalau kita ada di dalam alam itu sendiri. Alam cuma jadi objek yang harus dijaga, dikritisi, bahkan dikontrol. Bukan sesuatu yang harusnya kita hayati.

Nah, dari situ bisa ketahuan kenapa relasi kita dengan alam jadi berantakan kayak sekarang. Selama kita masih merasa sebagai pengatur eksternal yang superior, relasi kita dengan alam akan selalu jadi hubungan kuasa. Padahal yang dibutuhkan bukan dominasi, tapi pemahaman bahwa manusia cuma satu bagian kecil dari jaringan kehidupan. Bukan pusatnya.

Jadi, sebelum kita debat panjang soal siapa “wahabi lingkungan” dan siapa “wahabi tambang”, ada baiknya kita ngaca dulu. Bahkan soal cara ngomong aja kita masih keliru. Gimana bisa hubungan kita dengan alam jadi sehat, kalau dari cara mikir dan ngomong saja sudah salah kaprah?

Sekarang, Gimana Kalau Gini?

Setiap napas yang kita hirup adalah oksigen hasil fotosintesis tumbuhan. Air yang kita minum adalah bagian siklus hidrologi yang sudah berlangsung miliaran tahun. Bahkan smartphone yang kita pegang sekarang, asalnya dari mineral-mineral yang dulunya tidur di perut Bumi.

Banyak makhluk di Bumi punya peran ekologis spesifik. Lebah membantu penyerbukan. Cacing menyuburkan tanah. Pohon menyaring udara dan menghasilkan oksigen. Bahkan jamur dan bakteri punya tugas sebagai pengurai.

Terus, manusia?

Kalau mau jujur, peran alami manusia nggak sejelas makhluk lain. Kita bukan penyubur tanah, pemurni udara, apalagi pengurai. Malah lebih seringnya manusia jadi predator puncak, mengingat gaya konsumsi kita yang omnivora.

Tapi. kita punya satu hal unik yang nggak dipunya makhluk lain, yaitu kesadaran. Manusia bisa mikir sebelum bertindak, bahkan membayangkan dampaknya di masa depan. Cuma manusia yang bisa tahu Bumi rusak atau nggak, sadar bahwa ada yang salah, dan milih jadi penyeimbang atau pengacau, jadi bagian dari solusi, atau terus jadi sumber masalah.

Itu yang bikin manusia beda sama makhluk hidup lain. Kalau makhluk lain punya fungsi default di alam, manusia harus bikin sendiri fungsinya, bukan cuma nurutin naluri. Dan kalau kita gagal memaknai itu, maka mungkin kita cuma akan jadi spesies bingung yang terus-terusan bikin rusak sambil ribut soal siapa yang paling benar.

Jadi, apa nggak mending kita ingat-ingat lagi siapa kita? Apa peran kita di alam dan lingkungan, di sistem yang lebih besar ini?

Mungkin nggak perlu kayak lebah, cacing, atau jamur. Bisa jadi cukup dengan stop debat istilah dan cari cermin. Ngaca. Ingat-ingat lagi, dari hal-hal kecil di hidup kita, mana yang tanpa sadar ikut nyumbang kerusakan? Dari situ, pelan-pelan cari cara biar nggak terus-terusan kayak gitu.

Kayaknya juga nggak perlu sempurna, cuma memang butuh konsisten. Soalnya, kalau semua orang mulai dari diri sendiri, itu jauh lebih berguna daripada seribu debat soal siapa yang paling peduli.

Tags: lagiramelingkungan
Previous Post

Single: “Tale of a Girl” – RAE, Imajinasi Remaja yang Hangat dan Naif

Next Post

Gimana Kita Bisa Tahu Dunia Lagi Krisis? Dari Pesanan Pizza!

Next Post
Ilustrasi banjir pesanan pizza di Pentagon

Gimana Kita Bisa Tahu Dunia Lagi Krisis? Dari Pesanan Pizza!

Please login to join discussion

Daftar Putar

Recent Comments

  • Bachelor of Physics Engineering Telkom University on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • Ani on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.