Wednesday, May 21, 2025
Kirim tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
Ilustrasi aneka pakaian & aksesoris bekas, thrifting

Baju Bekas, Cerita Baru, Tren dan Pasar Thrifting yang Laku Keras

by Ovan Obing
11 April 2025
in Kultur Pop
A A
0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Beberapa waktu yang lalu, tren yang berkembang adalah orang nggak mau pakai baju bekas, malu katanya. Kalaupun mau pakai, itu karena terpaksa, bukan pilihan. Tapi sekarang, cerita itu berubah total. Toko-toko thrifting tumbuh subur di banyak tempat, dari pasar tradisional sampai feed Instagram.

Rak-rak penuh jeans belel, kemeja flanel lawas, kaos polos, rok dan blues, sampai aneka model pakaian hangat diburu orang kayak lagi cari harta karun. Itu baru pakaian esensial, belum lagi berbagai printilan pelengkap penampilan lainnya, seperti sepatu, tas, topi, kacamata, bahkan kalau perlu, dasi.

Thrifting alias belanja baju bekas, kini menjelma jadi tren yang nggak cuma digandrungi, tapi juga punya tempat istimewa di hati banyak orang. Pastinya fenomena ini meledak karena berbagai alasan. Bukan cuma soal pilihan gaya berpakaian atau penghematan anggaran. Tapi, ledakan popularitas thrifting juga mencerminkan perubahan nilai, pola pikir, sampai cara hidup generasi sekarang secara keseluruhan.

Pasti perubahan stigma yang kayak gitu nggak terjadi dalam waktu cepat. Faktor penyebabnya juga mustahil cuma satu-dua. Terus gimana?

Gimana Akar Fenomena Thrifting?

Istilah “thrift” muncul pertama kali di Inggris sekitar tahun 1300-an. Kata ini menggambarkan tentang keadaan atau fakta berkembang, kemakmuran, dan penghematan. Pada periode yang sama, orang-orang di sana sudah mulai berdagang barang bekas, termasuk pakaian yang lapaknya biasa ditemui di alun-alun pasar.

Agak lebih lawas dari itu, dulunya lagi nggak ada baju yang dibuang jadi sampah. Menurut sejarawan, Jennifer Le Zotte, penulis From Goodwill to Grunge: A History of Secondhand Styles and Alternative Economies.

“Kalau kamu punya gaun dan gaun itu sudah usang, kamu akan merobeknya untuk dijadikan celemek buat anak perempuanmu. Kalau sudah benar-benar rusak, sisa kainnya bisa dipakai untuk mengisi bantalan kursi,” katanya, dikutip dari Time Magazine.

Tapi, semua itu mulai berubah sejak akhir abad ke-19. Salah satunya karena perkembangan modernisasi yang sangat pesat. Revolusi industri yang memperkenalkan produksi pakaian massal, bikin orang lebih mudah dapat baju baru, karena harganya terjangkau. Ini juga menggeser pandangan masyarakat soal pakaian. Kalau sebelumnya masih berusaha didaur ulang, sekarang pakaian mulai dianggap sebagai barang konsumsi yang bisa dibuang.

Menurut Le Zotte, saat populasi kota bertambah, ruang tinggal makin sempit dan makin banyak barang yang dibuang. Lantas, orang mulai menemukan sistem pengelolaan sampah yang lebih modern. Lalu ini memicu munculnya fenomena bisnis baru, yaitu pegadaian dan toko barang bekas. Idenya adalah mencoba memberi nilai baru pada barang-barang lama.

Tapi, meskipun ada ide tersebut, masih ada stigma miring yang cukup kuat tentang pilihan memakai baju bekas. Pada waktu itu, kebanyakan penjual baju bekas adalah orang-orang Yahudi yang kena diskriminasi. Jadi, orang yang pakai baju bekas bukan cuma dianggap miskin, tapi juga melawan prasangka sosial anti-Semit.

Thrift Shop milik Goodwill (goodwill.org)

Thrifting Sebenarnya Kegiatan Amal

Di sisi lain, orang yang jeli dengan potensi bisnis barang bekas, tetap nggak mau kalah sama stigma. Contohnya lembaga pelayanan Kristen, melihat peluang emas dengan memanfaatkan penjualan barang bekas buat mendanai program sosial mereka. Institusi yang terafiliasi agama, seperti Salvation Army dan Goodwill bikin jual beli barang bekas untuk amal jadi terasa lumrah, menurut Le Zotte. Sementara pada saat yang sama, masyarakat AS mulai gemar menyumbangkan barang ke lembaga amal.

Selain bisnis, banyak toko barang bekas merangkap sebagai lembaga layanan sosial. Salvation Army membentuk “brigade penyelamat” pada 1897 dari penampungan pria. Itu adalah brigade pengumpul pakaian bekas yang keliling lingkungan sambil dorong gerobak. Sebagai gantinya, para pekerja ini diberi makanan dan tempat tinggal.

Lalu pada 1902, seorang pendeta Methodist mendirikan Goodwill di Boston. Mereka mempekerjakan orang miskin dan penyandang disabilitas buat mengumpulkan dan memperbaiki barang bekas. Barang-barang itu kemudian dijual kembali di toko, yang kemudian jadi salah satu cara bagi para imigran untuk dapat pakaian dan menyesuaikan diri dengan budaya Amerika.

Dua puluh tahun kemudian, toko-toko barang bekas sudah berkembang pesat, bahkan lebih terorganisir seperti department store. Goodwill misalnya, sudah punya cakupan wilayah pengumpulan yang lebih luas, sampai butuh armada truk. Menjelang 1935, cabang mereka hampir 100 toko di Amerika.

Pada masa Great Depression (1929–1939), toko barang bekas menyumbang separuh dari seluruh kebutuhan anggaran Salvation Army. Waktu itu, dan ketika pecah Perang Dunia II, permintaan pakaian bekas jauh lebih banyak dari stok yang ada. Banyak orang nggak mampu beli baju baru, sehingga beralih ke baju bekas.

Karena semakin populer, maka image toko barang bekas pun ikut berubah. Kalau sebelumnya disebut Junk Shop (toko loak), kini diubah jadi Thrift Shop (toko barang bekas) demi citra yang lebih positif. Menurut Le Zotte, istilah ini bikin kelas menengah merasa mulia, karena bisa “membeli sekaligus memberi”.

Thrifting di Indonesia

Menurut Trisnawati dalam “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi”, The Mesengger Volume III (2011). Thrifting adalah praktik membeli pakaian bekas yang mungkin sudah tidak lagi populer, tetapi masih layak pakai dan ditawarkan dengan harga lebih murah. Proses mencari pakaian bekas ini biasanya dilakukan di lokasi-lokasi tertentu, seperti pasar loak atau toko khusus barang second-hand.

Dalam artikel “Fenomena Thrifting terhadap Gaya Hidup Mahasiswa” yang dimuat di Jurnal Sahmiyya Volume 2 (2023). Esti Oktawiningsih dan Abdul Ghofar Saifudin bilang kalau fenomena thrifting di Indonesia diperkirakan muncul pertama kali pada era 1980-an, terutama di wilayah-wilayah pesisir. Daerah kayak Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi yang berbatasan langsung dengan negara lain, jadi pintu masuk utama impor pakaian bekas. Dari situ, budaya thrifting mulai tumbuh jadi aktivitas bisnis, sampai menyebar ke wilayah lain, termasuk Pulau Jawa.

Menariknya, para penjual pakaian bekas sering kali melabeli produknya sebagai “barang impor” atau “barang bekas impor”, bukannya cuma “barang bekas”. Mereka sering ditemukan di pasar tradisional, pasar loak, atau di event khusus, seperti bazaar.

Popularitas thrifting di Indonesia semakin meroket sejak pandemi melanda. Kondisi yang serba nggak pasti, memaksa masyarakat lebih hemat, termasuk dalam urusan pakaian. Akhirnya thrifting jadi solusi, asalkan pintar milih. Baju impor bekas dalam kondisi baik, dijual dengan harga jauh lebih terjangkau dibanding pakaian baru. Bahkan semakin ke sini, budaya thrifting berkembang jadi lebih terorganisir dan profesional.

Tapi, sampai tulisan ini dibuat, aslinya impor baju bekas masih dikategorikan tindakan ilegal oleh negara. Pakaian bekas termasuk golongan barang yang dilarang impor. Kalau berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Thrifting di pasar baju bekas (AntaraFoto)

Kenapa Thrifting Jadi Populer

Buat sebagian orang, thrifting itu candu. Ada sensasi tersendiri kayak berburu harta karun, rasa puas yang muncul pas berhasil nemu baju branded dengan setengah harga makanan berat di restoran fancy. Itu bikin bahagia nggak ketulungan, sampai bisa jadi bahan flexing-an. Tapi secara umum, thrifting jadi jalan tengah antara kebutuhan fashion dan keterbatasan dompet. Harga-harga naik, sementara orang-orang, terutama anak muda tetap butuh bergaya.

Selain itu, thrifting juga memberikan sensasi unik yang sulit ditemukan di toko retail biasa. Barang-barang yang dijual di thrift shop umumnya cuma satu macam, jadi kecil kemungkinan kamu bakal ketemu orang lain pakai outfit yang sama. Buat mereka yang ingin tampil beda, personal, dan out of the box, thrifting-lah solusinya.

Banyak orang membangun identitas diri dengan lewat pilihan fashion. Lewat thrifting, mereka bisa eksplor gaya dari berbagai era. Mau niru anak-anak grunge Seattle ’90-an, idol K-pop kekinian, atau jadi kolektor jumper adidas sekalipun, semua bisa diwujudkan.

Sementara itu, di tengah kesadaran akan isu lingkungan, thrifting malah dapat nilai tambah sebagai bentuk slow fashion—gerakan memperlambat siklus konsumsi cepat dan boros. Mengingat industri fashion jadi salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia, milih baju bekas jadi langkah kecil yang lumayan berarti untuk ikut berpartisipasi.

Sekarang, makin banyak orang membuka usaha thrift shop, dari skala rumahan sampai yang lebih profesional. Profesional yang di-branding sedemikian rupa, dengan sistem katalog yang rapi dan update, baik di toko fisik maupun daring.

Jadi, kalau dulu dicap memalukan dan cuma dipilih karena terpaksa, kini thrifting sudah menjelma jadi gaya hidup. Gaya hidup modis, berkarakter, dan sadar lingkungan dengan cara hemat. Kalau tren ini terus berlanjut, bukan nggak mungkin nantinya akan ada anggapan bahwa second-hand is the new cool.

SendShareShareTweet

Tulisan Lainnya

Kultur Pop

Komunitas La Sape, Anggap Penampilan Jauh Lebih Penting daripada Makan

19 May 2025
Kultur Pop

Valentin Hansen, Nggak Ada Musisi ‘Segila’ Dia yang Bikin Lagu Baru Tiap 2 Menit

8 May 2025
Kultur Pop

Di Luar Nalar! Komposer Ini Bisa ‘Berkarya’ dari Alam Kematian

26 April 2025
Kultur Pop

Laporan Pandangan Browser dari Gelaran Oscar 2025 di Dolby Theatre

4 March 2025
Next Post

The Red Car Theory: Dunia yang Kelihatan Kompak Sebenarnya Cuma Ilusi

Gimana Mau Frugal Living Kalau Terus Kena Jebakan Marketing?

10 Menit Katy Perry ke Titik Zero Gravity, Darmawisata Biaya Tinggi

Trip Zero Gravity 11 Menit Katy Perry, Sayang Nggak Zero Emisi

Please login to join discussion

© 2025 hipKultur.com

Opsi Lainnya

  • About
  • Contact

Ikuti

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Sign Up
Kirim Tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result

© 2025 hipKultur.com