Banting Setir ke Bisnis Perhotelan
Setelah film, momentum besar berikutnya tiba saat Banksy beralih jadi ‘pebisnis leisure’. Idenya nyentrik dan lucu, tapi juga bikin mikir. Dia membuka hotel di wilayah konflik Israel-Palestina, tepatnya di Kota Betlehem, Tepi Barat, Palestina.

Namanya The Walled Off Hotel, plesetan dari The Waldorf Hotel yang bintang lima. Hotel yang dicap sebagai proyek paling ambisius Banksy ini menawarkan kamar-kamar unik dan tiada dua.
Desain interior tiap kamar beda-beda, kesamaannya ada karya-karya seni yang menarik, termasuk milik Banksy sendiri. Fasilitas kamar juga wajar kayak hotel berbintang biasa. Langsung menghadap ke dinding Tepi Barat yang berkawat duri dan penuh grafiti.
Hotel punya ruang galeri seni bermuatan karya-karya seniman Palestina. Plus museum mini berisi penjelasan sejarah konflik Israel-Palestina. Memang, hotel yang diklaim punya “pemandangan terburuk di dunia” ini menawarkan pengalaman unik buat tamu untuk memahami realita hidup di wilayah konflik.
The Walled Off Hotel terbuka untuk umum, bisa kamu akses lewat situs resmi Banksy atau milik hotelnya sendiri. Kalau kamu mau coba staycation di sana, sekarang masih belum bisa. Demi keamanan, layanan reservasi masih ditutup untuk sementara. Soalnya, seluruh dunia juga tahu kalau konflik di sana lagi panas-panasnya.
Setelah Semua Itu, Lalu Siapa Banksy?
Nggak jelas. Dia itu satu orang atau grup kolektifan? Belum terungkap, meski Craig Williams percaya bahwa mereka kelompok seniman jalanan.
Penulis Forbes Margie Goldsmith pernah bilang kalau Banksy dituding sebagai plagiator Blek le Rat, seniman Prancis. Bahkan itu dikutip dari pernyataan Banksy sendiri. Dia pernah ngaku bahwa ide original miliknya, sering kali sudah dilakukan oleh Blek le Rat 20 tahun sebelumnya.
Sejauh ini, Banksy masih jadi sosok ambigu yang menuai dukungan sekaligus kritik. Ya, kayak semua hal di dunia yang selalu positif-negatif.
Satu sisi dia dielukan sebagai jenius kreatif yang jadi ikon ide dan aksi kritis lewat seni jalanan. Di sisi lain, ada juga yang menganggapnya berstandar ganda. Terutama belakangan setelah nilai karyanya mencapai jutaan dollar, dipamerkan di ranah-ranah komersial—bertolak belakang dengan resistansinya pada kapitalisme.Contohnya sudah disebutkan tadi, kayak “Girl With Balloon” versi auto-hancur seharga jutaan dollar, atau cetakan terbatas yang dijual $500 di Barely Legal.
Fenomena itu juga memunculkan pertanyaan kritis, “Apakah Banksy seorang pemberontak sejati, pengusaha komoditas seni, atau malah kombinasi keduanya?”
Tapi gimanapun juga, Banksy selalu konsisten dengan kritikannya. Bukan cuma soal kapitalisme, konsumerisme, pemerintahan, atau isu-isu besar lainnya. Lebih dari itu, Banksy hadir sebagai simbol yang maksa kita agar bisa membaca dunia di balik permukaan.
Banksy hadir sebagai misterius yang anonim. Itu bisa berarti kalau dia ngasih kebebasan orang lain buat bikin interpretasi tentang dirinya. Anonimitas ini juga ngasih ruang bagi Banksy untuk hidup tanpa tertekan sorotan publik.
Lalu siapa sebenarnya Banksy? Nggak tahu. Cuma, yang paling jelas dari dirinya adalah konsistensi mengkritik lewat karya-karya satir, menggugah, sampai manipulatif. Nggak cuma menyindir, Banksy mengajak kita terus berpikir, merenung, dan mempertanyakan dunia yang kita tinggali.

