Pamer Gajah di Bekas Gudang
Setahun setelah Crude Oils, September 2006, Banksy bikin pameran besar di Los Angeles. Judulnya Barely Legal, dengan slogan “three-days vandalised warehouse extravaganza”. Ini dihadiri banyak tokoh publik besar, termasuk selebritis dan kolektor seni
Pusat perhatian di pameran ini adalah “elephant in the room“. Seekor gajah hidup asli yang kulitnya dicat merah, dihiasi pattern bunga warna pink dan emas biar serasi dengan dinding bangunan. Maksudnya buat menarik perhatian pada isu kemiskinan dunia. Tapi sebaliknya, pameran itu menjual karya Banksy dalam versi cetak terbatas seharga $500, tanpa ada keterangan uangnya akan dipakai buat apa.
Kata juru bicaranya, Simon Munnery kepada Edward Wyatt dari New York Times, “”Itu tergantung pada apa yang dia lakukan dengan uang itu, kan? Mungkin dia membuat lebih banyak karya seni. Mungkin dia jadi lebih ambisius.”
Dan kayak “mumpung diperhatikan tokoh-tokoh besar”, pameran itu juga menayangkan video aksi-aksi prank legendaris Banksy. Ya, kayak pas di Disneyland, di museum-museum besar, atau waktu mem-vandal CD Paris Hilton.
Sindiran buat Taman Hiburan
Ternyata, Barely Legal juga belum cukup kontroversial buat Banksy. Dia masih bandel bikin heboh lewat pameran, kali ini mengajak 60-an rekan seniman, buat pameran instalasi yang diberi judul Dismaland.

Plesetan dari Disneyland itu digambarkan sebagai taman hiburan keluarga yang nggak cocok buat anak-anak. ‘Taman hiburan’ itu dibangun secara senyap di Weston-super-Mare, 30km di selatan Bristol. Lalu dibuka pada 21 Agustus sampai 27 September 2015, dan pengunjung bisa masuk dengan beli tiket seharga tiga poundsterling.
Di dalam area Dismaland, Jonathan Jones menulis di The Guardian bahwa taman itu menyatukan banyak karya seni yang buruk di tepi pantai. Nggak heran, sebab isinya kebanyakan suram. Ada bianglala rusak, kastil dongeng yang hancur, air mancur dari meriam air polisi, sampai soal personel taman yang digambarkan sama sekali nggak ramah.
Kalau baca seluruh tulisan Jonathan Jones, nadanya memang agak negatif.
“What a good joke about our time, that one of the most famous critics of the way we live now is nothing more than a media-savvy cultural entrepreneur,” kritiknya.
Exit Through The Gift Shop
Momentum besar lainnya datang pada 2010 waktu Banksy merilis film dokumenter berjudul Exit Through the Gift Shop. Tapi bukannya menonjolkan diri, Exit Through The Gift Shop malah semakin memperkuat misteri identitas Banksy.
Soalnya alih-alih jadi pusat cerita, film itu lebih fokus ke Thierry Guetta alias Mr. Brainwash. Lebih banyak menampilkan kiprah imigran Prancis yang juga seorang seniman kontemporer jalanan di Los Angeles itu. Soal aktivitas seninya, perjalanannya ke Prancis, termasuk pertemuan Guetta dengan banyak seniman lain, termasuk Banksy.
Di situ, Banksy yang sutradara filmnya sendiri, tampil pakai setelan hitam-hitam. Dengan wajah gelap tertutup hoodie dan suara yang disamarkan.
Meski begitu, film ini ternyata cukup sukses secara mainstream. Sutradaranya Banksy dan Jaimie D’Cruz, dengan narasi film dibawakan oleh Rhys Ivans, aktor yang pernah main jadi The Lizard di The Amazing Spiderman (2012). Sementara musiknya digarap oleh Geoff Barrow, pionir triphop Portishead yang juga sering bantu-bantu di Massive Attack.
Film yang bikin Banksy dan karya seninya makin populer ini masuk nominasi Oscar di kategori Best Documentary Feature tahun 2010. Kalah sama Inside Job-nya Charles Ferguson dan Audrey Mars yang selain bagus, topiknya juga lebih makro.

