Sebelum negara api menyerang, lampu merah sudah jadi tanda berhenti. Sejak lampu berwarna dijadikan pengatur kekacauan, orang-orang sudah memakai warna merah sebagai sinyal bahwa pengemudi harus bersiap menghentikan kendaraannya.
Emang kenapa harus merah? Lalu gimana dengan warna yang lain?
Pasti para ahli nggak sembarangan menentukan warna-warna lampu lalu lintas, mereka sudah mempertimbangkannya matang-matang. Mengutip laman mini-physics.com, pilihan warna itu didasarkan pada visibilitas, efek psikologis warna, dan tentunya keselamatan penumpang kendaraan
Warna Merah
Gelombang merah paling panjang daripada warna-warna lain, antara 740—620 nanometer. Warn aini nggak sering ditemukan di alam dan lingkungan. Itu yang bikin warna merah lebih menonjol, kelihatan dari jarak beberapa ratus meter, bahkan puluhan kilometer, meskipun lagi gelap.
Secara psikologis, warna merah identik dengan darah, bahaya, dan respons darurat. Melihat warna ini bisa membangkitkan emosi waspada dan meningkatkan perhatian. Nggak heran kalau akhirnya merah cocok dipakai sebagai sinyal ‘STOP’.
Warna Kuning
Nah, di antara merah dan hijau ada warna kuning yang fungsinya unik. Panjang gelombangnya di posisi tengah, nggak terlalu mencolok tapi masih beda dari merah dan hijau.
Warna kuning memberi sinyal “siap-siap” buat pengemudi, sebuah peringatan lembut yang menandakan transisi, supaya nggak kaget-kaget amat waktu harus berhenti. Atau di sisi lain, ngasih tanda untuk makin ngebut biar nggak kena lampu merah.
Warna Hijau
Kalau merah bikin waspada, hijau justru sebaliknya. Hijau berada di tengah spektrum cahaya yang gampang ditangkap mata manusia, dengan panjang gelombang sekitar 500–575 nanometer. Warna ini nggak terlalu silau tapi tetap jelas. Jadi pengendara bisa langsung “ngeh” buat melaju, tanpa ngerasa terganggu.
Selain itu, hijau juga identik dengan alam, yang alaminya bikin rasa tenang dan aman otomatis muncul. Seolah bilang, “Jalan aja. Udah aman, bro!”
Tapi meskipun sudah aman, kadang-kadang masih butuh diklakson juga, sih. Soalnya, nggak sedikit pengemudi yang ngelamun karena nunggu lampu merah yang kelewat lama.
Sejak Kapan Lampu Lalu Lintas Merah Kuning Hijau?
Sebelum lampu lalu lintas warna-warni dipasang di jalanan, awalnya dipakai di sektor perkeretaapian. Waktu itu sekitar akhir abad ke-19, kereta api sudah pakai kode warna, merah buat ‘”‘STOP’, hijau untuk ‘siap-siap’, dan putih berarti ‘jalan’.
Tapi, skema warna itu belum sempurna, ada satu masalah yang lumayan bikin pusing. Waktu malam hari, kondektur sering keliru, mengira lampu putih sebagai bintang. Hasilnya? Ada kereta yang jalan di waktu yang nggak semestinya.
Bahkan suatu saat, ada insiden simpel yang jadi pemicu kecelakaan besar sekitar tahun 1914. Lensa warna merah di salah satu lampu lepas, jadi cuma kelihatan warna aslinya yang putih.
Hasilnya? Perombakan. Hijau akhirnya dipilih untuk kode jalan, karena orang gampang membedakan, sekaligus sulit menyalahartikan.
Lampu Lalu Lintas di Jalan Raya
Di Inggris pertengahan abad ke-19, sudah mulai muncul kesadaran pemda setempat buat ngatur lalu lintas. Seorang insinyur bernama John Peake Knight meminjam konsep lampu kereta api tadi buat lalu lintas di jalan raya.
Meski teknisnya masih manual-dilakukan seorang polisi yang pakai lengan mekanis-Knight pakai warna merah (berhenti) dan hijau (jalan). Awalnya sistem ini sukses besar, tapi cuma jalan sebulan.
Ada insiden akibat kebocoran gas buat daya lampu lalu lintas, bikin petugas kena luka bakar parah. Jadi, meski sukses awalnya, proyek ini akhirnya mandek di Inggris.
Sementara itu di Amerika Serikat, juga sedang ada pengembangan yang sama soal sistem pengaturan lalu lintas. Tanggung jawab itu diserahkan ke polisi. Polisi bikin menara pengawas di setiap perempatan, diisi satu petugas yang diberi bekal lampu merah kuning hijau.
Baru tahun 1920, seorang polisi bernama William Potts bikin inovasi yang jadi titik balik lampu lalu lintas. Ia mengembangkan lampu lalu lintas tiga warna buat empat jalur, modelnya seperti yang kamu kenal sekarang.