• About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten
Friday, December 19, 2025
hipkultur.com
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
hipkultur.com
No Result
View All Result
Home Fit & Zen

Kecanduan AI Bisa Bikin Otak “Rusak”, Psikosis, Sampai Nggak Waras

Hipmin by Hipmin
22 July 2025
in Fit & Zen, Isu
0
Ilustrasi: koneksi manusia & AI bikin delusi

Ilustrasi: koneksi manusia & AI bikin delusi

0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Wapresmu lagi sering kampanye mendorong penggunaan Artificial Intelligence (AI) di berbagai lini, dari birokrasi sampai pendidikan. Sementara kamu sendiri sudah agak familiar sama teknologi baru ini, bahkan ngobrol intens sama dia, curhat, cari solusi masalah sehari-hari.

AI, yang awal munculnya dipuji karena banyak membantu, sekarang juga lagi diwanti-wanti. Soalnya, ternyata kehadirannya juga membawa masalah baru, dari PHK sampai ketakutan bahwa dunia bakal dikendalikan sama teknologi itu.

Tapi di tengah-tengah pro-kontra, manusia belum banyak yang sadar. Di balik praktis dan canggihnya AI, para peneliti dari MIT dan Stanford nemu fenomena yang bikin merinding. Pengguna mengalami “AI psychosis”, itu  dari obsesif, paranoid, bahkan sampai halusinasi.

Otak Jadi “Malas” Kebanyakan ChatGPT

Penelitian dari MIT yang dipublikasikan tahun 2025 ini ngasih temuan mengejutkan. Tim peneliti pimpinan Dr. Mrinmaya Sachan mengamati aktivitas otak 54 orang dewasa yang diminta nulis esai selama empat bulan. Hasilnya? Subjek yang pakai ChatGPT punya “keterlibatan otak paling rendah” dan “secara konsisten berkinerja buruk di level neural, linguistik, dan perilaku.”

Seremnya lagi, peneliti nemuin konsep “cognitive debt” atau hutang kognitif. Maksudnya, otak kita jadi terlalu bergantung sama AI sampai kehilangan kemampuan berpikir kritis. Peneliti MIT bilang kalau penggunaan ChatGPT buat nulis esai bisa nyebabkan “cognitive debt” dan “kemungkinan penurunan kemampuan belajar”.

Dr. Sarah Chen, neurosaintis dari University of California terlibat dalam penelitian serupa. Dia menjelaskan dalam wawancara dengan Nature Magazine bulan Juni lalu.

“Waktu otak nggak terlatih buat memproses informasi secara mendalam, neural pathway (jalan penghubung satu bagian otak dengan lainnya) yang bertanggung jawab untuk berpikir kritis akan melemah. Seperti otot yang nggak pernah dilatih,” katanya.

Ilustrasi: bikin video pakai prompt dengan AI
Ilustrasi: bikin video pakai prompt dengan AI

Masalah Kedua, Chatbot jadi Teman Beneran

Ternyata, masalah nggak stop di otak yang “malas”. Chatbot AI, terutama yang punya fitur suara, jadi semakin mirip manusia. Penggunanya lebih banyak orang-orang yang cari dukungan emosional dan pertemanan dari mereka.

Hasil kolaborasi penelitian OpenAI dan MIT Media Lab yang dirilis Maret 2025 nunjukin fenomena mengkhawatirkan. Penelitian Investigating Affective Use and Emotional Well-being on ChatGPT itu fokus ke penggunaan Advanced Voice Mode. Buat mengeksplorasi dampak emosional dari interaksi dengan ChatGPT.

Studi ini menganalisis 3 juta percakapan lebih buat mendeteksi tanda-tanda bahasa verbal dan nonverbal emosional. Juga melibatkan lebih dari 4.000 responden yang cerita perasaan mereka sehabis interaksi sama ChatGPT.

Hasilnya, ada pengguna yang sampai merasa ‘klik’ alias punya hubungan emosional sama chatbot bersuara. Ini kayak yang dibilang Profesor Kate Devlin dari King’s College London. Meski nggak terlibat dalam proyek itu, dia bilang ke MIT Technology Review.

“Meski ChatGPT nggak dipasarkan sebagai aplikasi AI companion seperti Replika atau Character.AI, tetap aja ada sebagian kecil pengguna yang terlibat emosional dengan ChatGPT.”

Dan kalau dipikir lebih lanjut, artinya percakapan yang asyik sama AI juga bisa mengatasi kesepian, untuk sementara. Masalahnya, kalau user-nya sejak awal punya gangguan psikologis. Bukan cuma karena itu tergolong hubungan parasosial. Tapi, kalau orang-orang sudah mulai mikir bahwa ngobrol sama chatbot bisa gantiin interaksi sosial asli. Orang yang rentan dan merasa terisolasi justru bisa makin parah.

Ketiga, “ChatGPT Psychosis”, Bikin Orang Delusi

Bagian paling ngeri dari fenomena ini. Banyak pengguna ChatGPT yang mengembangkan obsesi yang menghabiskan seluruh hidup mereka dengan chatbot. Terus berkembang jadi krisis kesehatan mental parah yang ditandai paranoia, delusi, bahkan putus dari realitas. Kayak di film “Her”.

Kasus-kasus mulai bermunculan. Meetali Jain, seorang pengacara yang menangani kasus-kasus terkait AI, dalam wawancara dengan Bloomberg bulan lalu cerita.

“Saya sudah menangani beberapa kasus di mana interaksi dengan chatbot berkontribusi pada gangguan psikosis dan kondisi mental yang memburuk, termasuk kasus tragis yang melibatkan remaja.”

Yang paling buruk, AI pernah bikin hubungan hancur, pekerjaan hilang, dan gangguan mental. Beberapa orang pakai ChatGPT buat “memahami hidup atau peristiwa hidup mereka,” kata Erin Westgate, psikolog dan peneliti di University of Florida, kepada Rolling Stone.

Bahkan, penelitian terbaru dari Stanford yang dilaporkan The Independent bikin geger dunia kesehatan mental. Studi itu nemu kalau ChatGPT bisa memperburuk psikosis dan ideasi bunuh diri. Psikosis itu kondisi orang yang hilang kontak dengan kenyataan. Dia bisa lihat, dengar, atau percaya hal-hal yang nggak nyata.

AI ini bisa bikin orang yang mentalnya bermasalah bisa teratasi dengan ngobrol sama chatbot. Padahal, seharusnya dibantu oleh tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater. Dan kalau penggunaan chatbot malah mendorong orang menyembunyikan atau meremehkan masalahnya, itu bisa sangat berbahaya.

Kalau penggunanya sedang krisis mental serius, misal punya kecenderungan bunuh diri, halu atau delusi, dan skizofrenia. Alih-alih membantu, respon chatbot bisa memperburuk keadaan. Misalnya pas user curhat serius, AI menjawab dengan terlalu santai atau netral, nggak ngasih saran rujukan untuk bantuan profesional, bahkan ada kasus AI yang memvalidasi pikiran yang salah (seperti delusi).

Dr. Michael Chen dari Stanford Psychology Department yang mimpin penelitian ini bilang, “AI nggak punya kemampuan empati sejati atau pemahaman konteks emosional yang kompleks. Saat seseorang dalam krisis mental cari bantuan, respons AI yang nggak pas bisa memperparah kondisi mereka.”

Ilustrasi kondisi spiritual
Ilustrasi kondisi spiritual

Kenapa Bisa Terjadi & Gimana Caranya?

Ada beberapa faktor yang bikin AI bahaya buat kesehatan mental. Pertama, sifat percakapan ChatGPT yang mampu niru dan memantulkan emosi pengguna bisa nambah kuat kondisi psikologis user. Yang kondisinya sudah bagus ya makin bagus, dan sebaliknya.

Studi OpenAI bersama MIT Media Lab nunjukin kalau orang pakai ChatGPT terlalu intens, apalagi buat ngobrol. Itu bisa bikin kita ketergantungan emosional, kesepian, dan penurunan interaksi sosial. Dan selain psikosis, penggunaan kompulsif ChatGPT juga ada hubungannya sama anxiety, burnout, juga gangguan tidur.

LIhat fenomena yang agak mengkhawatirkan itu, para ahli mulai mendesak agar ada regulasi yang lebih ketat. Dr. Rachel Thompson dari American Psychological Association dalam statement resminya bulan lalu bilang, “Kita butuh guidelines yang jelas tentang batasan penggunaan AI untuk keperluan kesehatan mental. Teknologi ini powerful, tapi bukan pengganti interaksi manusia yang sesungguhnya.”

Studi nunjukin bahwa pekerja profesional yang pakai ChatGPT buat bertugas, punya kemungkinan bisa kehilangan kemampuan mikir kritis dan motivasi. Meskipun ChatGPT bantu banget bikin kita lebih produktif, interaksi yang berlebihan, apalagi emosional bisa menimbulkan dampak psikologis serius, termasuk risiko psikosis pada individu tertentu.

Jadi waktu Wapresmu terus kampanye pakai AI buat dorong efisiensi, pendidikan, dan produktivitas, kayaknya kita perlu nanya balik. “Efisien buat siapa, produktif di sisi mana, dan apa kabar kesehatan mental kita?”

AI bisa bantu kamu ngerjain tugas secepat kilat, bahkan nemenin ngobrol. Tapi kalau kita terlalu sering tergantung ke dia buat mikir, merasa, bahkan nyari kenyamanan emosional, jangan-jangan kita justru lagi dikendalikan sama dia. Mas Wapres tahu nggak soal ini? Apa pentingnya jadi lebih produktif kalau pelan-pelan kita jadi ‘nggak waras’?

Tags: aikecerdasan buatankesehatan mentalpsikologiTeknologitrivia
Previous Post

Dikira Family Mart Ramah Buat Keluarga, Ternyata Nggak

Next Post

Ozzy Osbourne & Black Sabbath, Legenda Abadi Heavy Metal

Next Post
Kliping Black Sabbath (dok; blacksabbath.com)

Ozzy Osbourne & Black Sabbath, Legenda Abadi Heavy Metal

Please login to join discussion

Daftar Putar

Recent Comments

  • Bachelor of Physics Engineering Telkom University on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • Ani on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.