Menjelang wafatnya, seorang mistikus sufi besar bernama Hassan, diberikan satu pertanyaan. “Siapa gurumu?”
Hassan menghela napas, “Terlambat untuk bertanya, aku sedang sekarat. Guruku banyak, tidak mungkin menyebutkan semuanya dalam waktu singkat,” jawabnya.
Si penanya berusaha meyakinkan Hassan, “Tidak apa-apa, Anda cukup sebutkan satu nama. Selagi masih hidup dan bernapas.”
“Mustahil, jumlahnya ribuan. Tapi karena kau bersikeras, baiklah. Aku akan ceritakan tiga saja,” katanya.
Guru I: Seorang Pencuri
Suatu malam, Hassan tersesat di padang pasir. Ia baru tiba di sebuah desa saat malam sudah larut, rumah-rumah dan semua toko tutup, tak ada satu pun penginapan yang buka. Jalanan sepi. Dalam kebingungannya, ia malah bertemu dengan seseorang yang sedang mencoba membobol dinding rumah.
“Di mana aku bisa menginap?” tanya Hassan.
Lelaki itu menoleh. “Aku pencuri, dan kau tampaknya seorang sufi. Jika kau tidak keberatan tinggal dengan seorang pencuri, ikutlah denganku.”
Hassan ragu sejenak, lalu berpikir: Jika pencuri tak takut pada seorang sufi, mengapa sufi harus takut pada pencuri? Maka ia pun mengikuti lelaki itu dan tinggal selama sebulan.
Setiap malam dalam sebulan itu, pencuri selalu berkata, “Aku akan ‘bekerja’. Kau istirahat, berdoa, lakukan apa pun yang kau mau.”
Dan setiap malam ia kembali dengan tangan kosong. Namun, yang mengejutkan Hassan, tak pernah sekalipun pencuri itu mengeluh.
“Malam ini belum beruntung,” katanya, “tapi besok aku akan coba lagi. Doakan aku, setidaknya katakan pada Tuhan, ‘Tolong bantu orang miskin ini.’”
Hassan menyaksikan keteguhan hati itu selama sebulan penuh. Ketika bertahun-tahun kemudian ia merasa putus asa dalam meditasi, hampir menyerah pada jalan spiritualnya, ia ingat-ingat lagi si pencuri. Jika pencuri itu bisa berharap setiap malam, mengapa ia tidak bisa bertahan satu hari lagi? Dan akhirnya, ‘esok’ yang ia tunggu benar-benar tiba.
Guru II: Seekor Anjing
Suatu ketika, Hassan sedang haus. Ia berjalan menuju sungai dan melihat seekor anjing juga mendekati air. Anjing itu melihat bayangannya sendiri di permukaan sungai dan mengira itu anjing lain. Ia menggonggong, mundur ketakutan. Tapi rasa hausnya terlalu kuat. Beberapa kali ia ragu, lalu akhirnya melompat ke dalam air. Bayangan itu lenyap, dan ia minum sepuasnya.
Hassan mengamati dan tiba-tiba merasa seperti mendapat pesan dari semesta. Ketakutan hanya bayangan, dan satu-satunya cara mengatasinya adalah melompat. Bertahun-tahun kemudian, saat ia harus mengambil lompatan besar ke arah yang tidak dikenal, ia teringat pada anjing itu. Jika anjing bisa mengalahkan ketakutannya, mengapa manusia tidak? Ia pun melompat ke dalam ketidaktahuan, dan hilang—menjadi satu dengan semesta.
Guru III: Anak Kecil
Dalam perjalanan ke sebuah kota, Hassan melihat seorang bocah membawa lilin menyala menuju masjid. Dengan iseng, ia bertanya, “Kau yang menyalakan lilin itu?”
“Ya, tuan,” jawab bocah itu.
“Dari mana cahaya itu berasal? Sebelumnya lilin ini gelap, lalu tiba-tiba menyala. Bisa kau tunjukkan dari mana cahaya itu datang?”
Bocah itu tersenyum, lalu meniup lilinnya. “Sekarang kau melihat cahaya itu pergi, ke mana perginya? Tuan, bisakah kau memberitahuku?”
Dalam sekejap, ego dan pengetahuan Hassan runtuh. Ia merasa bodoh. Sejak saat itu, ia melepaskan tidak mau lagi merasa tahu segalanya.
Sari-sari Kisah Hassan
Setelah bercerita, rasanya kurang lengkap kalau nggak ada pesan dan kesannya. Dan dari tiga cerita di atas, berarti sekurangnya ada tiga juga pelajaran yang bisa diambil.
Pertama, gimana pantang menyerah adalah salah satu kunci kesuksesan. Dari pencuri, Hassan—dan mungkin kita—bisa belajar bahwa kegagalan bukan akhir segalanya. Gagal artinya memang nggak berhasil, tapi bukan berarti nggak ada kesempatan berikutnya. Kalau bulan ini kamu proyekmu gagal, ditolak klien, atau target nggak terkejar, intinya adalah usaha yang lebih baik di bulan depan, bukan kehilangan semangat.
Kedua, gimana sebenarnya ketakutan itu nggak penting-penting amat. Malah kalau belajar dari Hassan yang melihat tingkah anjing tadi, ketakutan itu sebenarnya cuma bayangan kita sendiri. Waktu si anjing berhasil mengatasi ketakutannya, nyebur, derita hausnya seketika musnah. Jadi, kalau kamu punya ketakutan tertentu, langkah pertama untuk melampauinya adalah dengan nekat lompat, nyebur sekalian.
Ketiga, belajar terus menerus dari siapa saja tanpa pandang bulu. Di tengah perburuan ilmu itu, jangan sekali-kali merasa sok tahu. Soalnya, di atas langit masih ada langit. Kamu yang merasa paling pintar, cuma menunggu waktu sebelum ketemu orang lain yang strata intelektualnya ada di atasmu. Orang bijak adalah yang berani mengaku bahwa dia tidak tahu. Jadi, di mana pun, kapan pun, siapa pun bisa jadi guru kita, asal kita terbuka dan rendah hati untuk selalu belajar.
Cerita asli: The Three Masters