Rosen menunjukkan banyak manfaat yang dapat diperoleh anak-anak dan keluarga dari waktu yang dihabiskan di alam. “Kita tahu dari ribuan tahun pengalaman dalam berbagai budaya bahwa keluarga yang lebih terhubung dengan alam cenderung lebih bahagia dan sehat.”
“Berada di luar di udara segar, berlarian dan menjelajahi lingkungan mendorong tidur yang baik,” pungkas Rosen.
Tapi ingat, pendapat-pendapat mendukung yang cherry-picking semacam ini sebaiknya tidak dijadikan sebagai dasar mutlak. Bahkan sebagai pembenaran keputusan kalian mengajak anak, khususnya balita untuk naik gunung.
Tentu saja faktor utama yang perlu diperhatikan adalah keamanan dan keselamatan si kecil, seperti halnya yang berlaku pada semua pendaki gunung. Lantas adakah cara, atau setidaknya kiat-kiat yang bisa dilakukan untuk menjamin keamanan dan keselamatan si kecil selama berpetualang naik gunung?
Untuk menjawab pertanyaan itu, lagi-lagi Hip cuma bisa mengutip. Tapi kutipan ini tidak sembarangan. Kami pilihkan yang paling relevan dan sesuai kadarnya.
Saran-saran buat Ortu yang Mau Ajak Balita Naik Gunung
AspenNannies adalah sebuah perusahaan layanan pengasuh bayi yang berbasis di Colorado, Amerika Serikat. Menurut mereka, bayi akan memiliki toleransi ketinggian yang sama seperti orang tuanya.
Para orang tua boleh saja mengajak balitanya naik gunung, asalkan si anak tidak memiliki masalah kesehatan khusus dan telah berusia di atas tiga bulan.
Mengapa tiga bulan? Karena paru-paru bayi di bawah tiga bulan belum cukup matang untuk mengatasi perubahan tekanan udara yang signifikan di ketinggian.
Pernyataan ini dikonfirmasi juga oleh Suzanne Dixon, seorang dokter anak. Pendapatnya perna dilansir di situs Baby Center.
Balita dari sebuah keluarga yang tinggal di kawasan dengan ketinggian minimal 1.500 mdpl, akan lebih mudah beradaptasi dengan kadar oksigen lebih rendah. Namun jika si balita punya masalah jantung atau lahir prematur, maka kemungkinannya ia bertahan di tempat yang lebih tinggi akan semakin kecil.
Berikut ini beberapa gejala gangguan yang berkaitan dengan ketinggian menurut MayoClinic.
- Accute Mountain Sickness (AMS), meski mengandung istilah “akut”, AMS sebenarnya merupakan gejala paling umum dan tergolong ringan. Saat berada di lingkungan bertekanan udara dan kadar oksigen rendah, individu bisa mengalami pusing, susah tidur, kelelahan, sakit kepala, sesak napas, nafsu makan hilang, mual atua muntah, dan detak jantung lebih cepat.
- High-Altitude Pulmonary Edema (HAPE), kondisi yang lebih serius dari sebelumnya. Sesak napas bisa terjadi meski dalam kondisi istirahat, disertai batuk-batuk, bahkan bisa mengeluarkan cairan berbusa berwarna merah muda akibat cairan di paru-paru.
- High-Altitude Cerebral Edema (HACE), lebih parah lagi. Gejalanya, meliputi kelelahan hebat, kesulitan berjalan, dan kehilangan fokus.

