Haji, pada dasarnya itu salah satu jenis ibadah yang dikerjakan oleh muslim sejati. Ibadah ini dilakukan dengan cara datang ke Tanah Suci, yakni Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi. Lalu di sana, jemaah melakukan sejumlah ritual wajib. Di antaranya ber-Ihram, Wukuf, Thawaf, Sa’i, dan Tahallul yang disebut dengan rukun haji, atau aktivitas wajib sekaligus syarat sah berhaji.
Ber-Ihram artinya niat ibadah haji, lewat verbal dan pakai ihram, yaitu sehelai kain panjang tanpa jahitan, dililitkan buat menutup aurat (bagian tubuh yang haram diperlihatkan). Juga dengan nggak pakai tutup kepala (laki-laki) atau tutup wajah (perempuan), cukur rambut/bulu, potong kuku, pakai parfum/wewangian, membunuh binatang, akad nikah, berhubungan intim, dan mesra-mesraan, apalagi dengan syahwat. (nu.or.id)
Selain Ihram, orang Islam yang berhaji wajib patuh pada rukun-rukun yang lain. Seperti Wukuf di Arafah (berdiam di Padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah) dan Thawaf (berkeliling Kakbah 7x). Lalu Sa’i (jalan bolak-balik antara Bukit Safa-Marwah 7x), dan Tahallul (cukur/potong sebagian rambut kepala pas semua ritual tuntas).
Karena harus dikerjakan di lokasi tertentu, yaitu Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi, maka ibadah haji hukumnya wajib, tapi khusus bagi yang mampu saja. Kalau orang Indonesia mau berhaji, tentunya butuh biaya nggak sedikit. Jadi ibadah ini cuma buat orang-orang dengan kemampuan finansial tertentu. Tapi, kalau ada orang yang sebelumnya nggak mampu, terus dapat rezeki yang cukup buat berhaji, yang awalnya dua nggak wajib ya jadi wajib.
Dan meskipun finansialnya mampu, orang-orang pun nggak lantas bisa pergi ke Masjidil Haram seenak udelnya. Selain memang ada musim-musim tertentu, Pemda Arab setempat menetapkan batasan kuota jemaah haji tahunan buat setiap negara, berdasarkan jumlah penduduk muslimnya. Ini maksudnya biar adil dan bisa ter-manage dengan oke.
Indonesia yang punya penduduk muslim terbesar di dunia dapat kuota banyak, tapi nggak sebanding juga dengan jumlah pendaftar setiap tahunnya. Alhasil, pemerintah pakai sistem antrean, yang faktanya bisa makan waktu bertahun-tahun. Jadi, selain butuh biaya besar, berhaji buat muslim Indonesia juga sangat menguji kesabaran. Makanya, nggak heran juga kalau banyak umat Islam yakin bahwa orang bisa berhaji, soalnya sudah ‘dipanggil’ oleh Allah.
Haji, Bukan Sembarang Ibadah
Dalam Islam, ibadah haji adalah rukun kelima. Pamungkas sekaligus penyempurna ibadah seorang muslim. Tapi, orang yang sudah berhaji bukan berarti bebas meninggalkan ibadah lainnya, justru harus lebih commit lagi.
Haji disebut pamungkas karena butuh pengorbanan besar, baik fisik, mental, maupun finansial. Berangkat ke Tanah Suci bukan cuma perjalanan geografis, tetapi juga spiritual. Ada banyak cerita orang yang pergi haji diuji kesabaran, keikhlasan, dan ketundukannya kepada Allah. Itu kenapa, mereka yang berhasil menunaikannya mendapat tempat tersendiri di masyarakat.
Orang Indonesia yang bergelar ‘Haji’—atau ‘Hajjah’ bagi perempuan—biasanya diharapkan jadi teladan berperilaku, beribadah, dan bersosial. Sejarawan Nahdlatul Ulama (NU), H Abdul Mun’im DZ pernah bilang bahwa gelar haji juga sebagai tanda syukur sekaligus penjaga moral. Menyandang gelar haji bisa jadi pengingat agar pemiliknya senantiasa berlaku baik. “Jangan berbuat keburukan, kemaksiatan. Tujuannya peringatan itu,” katanya. (nu.or.id)
Menurut Ajengan Wawan, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, ada yang lebih penting ketimbang gelar ‘Haji’, yaitu mabrur-nya. Mabrur maksudnya tanda sukses dan sempurnanya perjalanan spiritual ibadah haji. Selain mendapatkan ridha Allah, disempurnakan dengan perilaku, ibadah, dan hubungan sosial yang lebih baik lagi sepulang pergi haji.
Ada hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebut soal ciri-ciri haji mabrur yang kasat mata. Bunyinya: “Rasulullah ﷺ telah bersabda, haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali Surga.” Mereka (para sahabat bertanya), Ya Rasullah ﷺ apa kebaikan dari haji mabrur? yaitu memberi makan dan menyebarkan salam.” (HR: Ahmad, 14482).
Menurut Ajengan Wawan, maksud memberi makan di sini nggak cuma secara harfiah, tapi juga simbol dermawan dan peduli pada sesama. Sementara menyebarkan salam maksudnya bersikap ramah serta selalu menjaga hubungan sosial tetap damai dan harmonis.
Gelar Haji Cuma Ada di Indonesia
Alquran juga memberi anjuran buat orang-orang yang sudah berhaji.
فَاِذَا قَضَيْتُمْ مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَذِكْرِكُمْ اٰبَاۤءَكُمْ اَوْ اَشَدَّ ذِكْرً
Apabila kamu telah menyelesaikan manasik (rangkaian ibadah) haji, berzikirlah kepada Allah sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu. …. (Al-Baqarah: 200).
Kalau anjurannya saja sudah selengkap itu, berarti memang haji itu bukan sekadar ibadah, apalagi cuma urusan gelar. Perjalanan spiritual penuh pengorbanan itu akan lebih sempurna kalau hasilnya tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Nah, tapi sebenarnya, gelar haji sendiri nggak ada dalam tradisi Islam, kecuali di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan. Intinya, di daerah-daerah yang banyak dihuni muslim Melayu.
Di zaman Rasulullah, orang yang sudah pulang berhaji nggak disebut haji. Sementara di daerah lain, posisi haji cuma sebagai sebutan atau panggilan, bukan gelar kebesaran. Contohnya di Bosnia, kalau ada orang yang nama belakangnya Hadžiosmanović, berarti dia anak turun dari Haji Usman. Soalnya hadži sama dengan haji dan osmanović maksudnya Bani Usman, jadi Hadžiosmanović maksudnya Bani Haji Usman. (madaninews.id)
Sudah sejak zaman agak dulu-dulu, muslim Indonesia dan sekitarnya yang pulang berhaji, pasti akan dapat gelar Haji atau Hajjah tersemat di nama depannya. Menurut Staf Ahli Kementerian Agama, filolog bernama Oman Fathurahman, tradisi macam itu sah-sah saja. Salah satunya karena perjalanan ke Tanah Suci bagi orang Nusantara adalah perjuangan berat tersendiri.
Sebelum ada pesawat Boeing kayak sekarang, muslim Nusantara zaman dulu harus melalui perjalanan berbulan-bulan. Mereka harus transit beberapa lama di sejumlah lokasi, sebelum sampai ke Tanah Suci. Perjalanan cuma bisa lewat lautan, Samudera Hindia yang bisa sewaktu-waktu badai.
Singgah di banyak tempat, juga beli tiket kapal laut, tentu saja butuh uang saku yang cukup. Belum lagi tantangan fisik dan mental yang dihadapi jemaah, mulai dari laut, gurun pasir di Tanah Arab, sampai risiko kejahatan yang bisa terjadi di mana-mana. Alhasil, bukan cuma berkorban harta, orang Nusantara yang mau berhaji harus sudah rela kehilangan nyawa. Maka nggak heran kalau muslim Melayu yang sukses berhaji dikasih penghargaan spesial berupa gelar ‘Haji’ atau ‘Hajjah’ di depan namanya.
Ternyata, Gelar Haji Punya Sejarah Politis
Selain sebagai penghargaan khusus, di Indonesia, asal usul gelar haji juga punya senggolan dengan politik. Balik ke masa-masa kolonialisme, pemerintah Belanda-lah yang menerapkannya pertama kali, diketahui sejak tahun 1916.
Waktu itu, Islam merupakan salah satu kekuatan besar yang mengancam kolonialisme di Indonesia. Kalau ada muslim yang baru pulang dari Tanah Suci, sosoknya dianggap unggul oleh masyarakat awam. Ya, karena memang zaman dulu nggak sembarang orang bisa berangkat naik haji. Jadi, muslim yang bisa berangkat dan pulang dengan selamat dari menunaikan ibadah haji, berarti punya banyak kelebihan dibandingkan rakyat kebanyakan. Baik itu soal finansial, kemampuan fisik dan spiritual, maupun ilmu pengetahuan.
Di Tanah Air, tokoh-tokoh itu dapat tempat terhormat, berpengaruh, pendapatnya diikuti banyak orang. Gagasan untuk bebas dari kolonialisme sebarannya semakin luas, seiring banyaknya tokoh-tokoh cendekiawan yang pulang menimba ilmu sekaligus berhaji di Makkah. Menurut sejarawan penulis buku Atlas Wali Songo, almarhum Agus Sunyoto, kalau terjadi pemberontakan, pelopornya kalau bukan guru tarikat, ulama, ya haji dari pesantren.
Contoh tokoh-tokoh yang jadi sorotan waktu itu, kayak Kyai Haji Ahmad Dahlan, Haji Samanhudi, Kyai Haji Hasyim Asyari, dan HOS Cokroaminoto. Seperti semua tahu, mereka adalah pionir pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sepulang naik haji, masing-masing mendirikan organisasi bernuansa Islam, di antaranya Muhammadiyah, Sarekat Dagang Islam, Nahdlatul Ulama, dan Sarekat Islam.
Belanda nemu pola bahwa cikal bakal gerakan perlawanan dimulai sejak ada muslim yang pulang haji. Makanya, biar lebih mudah mengawasi, muslim yang pulang naik haji diwajibkan menyandang gelar Haji atau Hajjah. Kewajiban itu sampai diundang-undangkan secara resmi lewat Ordonansi Haji dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad. Jadi begitu ceritanya.