Komunikasi asalnya dari kata ‘communis’ dari bahasa Latin. Artinya, membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Communis ini, kalau di bahasa kita bisa bikin salah paham, karena konotasinya agak rawan sensor.
Menurut Everett M Rogers dan Lawrence Kincaid dalam buku Communication Network: Toward a New Paradigm for Research (1981). Komunikasi adalah proses pertukaran suatu informasi antar individu atau kelompok dengan adanya makna atau tujuan yang ingin disampaikan, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian mendalam.
Sementara kalau menurut Bernard Berelson dan Gary A. Steiner dalam buku Human Behavior: An Inventory of Scientific Finding (1964). Komunikasi merupakan proses transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan lain-lain melalui penggunaan kata, angka, simbol, gambar, dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut pendapat Onong Uchjana Effendy dalam Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (1984). Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (langsung) maupun nggak langsung (lewat media).
Kalau baca pengertian-pengertian tersebut, bisa disimpulkan bahwa komunikasi bukan cuma soal ngomong dan mendengarkan. Komunikasi terjadi karena ada unsur pesan, pengirim dan penerima, serta interpretasi. Bentuk komunikasi pun macam-macam. Zaman sekarang, salah satunya bisa lewat pesan instan, ini sudah jadi bagian nggak terpisahkan dalam hidup banyak orang.
Tapi, meski sudah pakai teknologi maju, komunikasi masih berlangsung dengan proses dan unsur-unsur yang sama. Kalau pesan yang dikirim ternyata diinterpretasikan beda sama si penerima, berarti jadinya miskomunikasi alias miskom.
Miskomunikasi adalah kegagalan komunikasi, salah paham. Kondisi ketika pesan yang dikirim nggak diterima atau dipahami seperti yang dimaksudkan oleh si pengirim. Bisa karena kurang jelas, perbedaan persepsi, gangguan dalam saluran komunikasi, bisa juga karena ada asumsi atau stereotip
Texting Rawan Miskom
Nah, dari sekian banyak metode komunikasi yang ada sekarang, texting atau komunikasi lewat pesan teks pendek berteknologi internet, jadi salah satu yang paling rawan miskom. Kok bisa gitu?
Semua tahu kalau texting sudah jadi bagian hidup sehari-hari, bahkan jadi profesi. Mengutip Forbes, sumber Techjury bilang bahwa tahun 2021, jumlah kiriman pesan teks di dunia sekitar 270 ribu per detik. Dan mengingat pengguna aplikasi texting semakin naik sampai 2025 ini, angka 270 ribu itu kemungkinan besar juga nambah.
Sementara itu, kalau nurutin pendapat Profesor Albert Mehrabian dari University of California Los Angeles (UCLA), komunikasi itu nggak melulu soal apa yang diucapkan, tapi juga gimana cara kita mengucapkannya.
Di bukunya, Silent Messages (1971) Dr. Mehrabian bikin rumus yang disebut “7-38-55 Rule”. Maksudnya, misal dua orang ngobrol dengan lancar tanpa kendala. Komunikasi verbal itu bisa lancar, nggak cuma karena masing-masing mengucap kalimat yang jelas dan mudah dipahami. Malah, kalau menurut Dr. Mehrabian, kalimat atau kata-kata cuma nyumbang 7% pemahaman, sementara 93% sisanya bukan karena faktor kata-kata.
Lalu apa?
Sisanya, 38% dari nada suara dan 55% dari ekspresi wajah plus bahasa tubuh. Jadi, gampangnya, kalau cuma modal kata-kata, dengan intonasi datar dan tanpa ekspresi, kemungkinan besar pesan nggak akan tersampaikan dengan baik.
Dalam texting atau chatting, di mana kita mengandalkan kata-kata —kadang juga emoticon— berarti efektivitas penyaluran pesan cuma 7%. Sisanya? Menguap. Soalnya, teks jelas tanpa nada, juga nggak ada ekspresi wajah, apalagi bahasa tubuh yang bantu jelasin maksud sebenarnya. Makanya, wajar kalau orang-orang sering salah paham pas texting.
Faktor Pendukung
Nggak cukup sampai di situ, ada faktor lain yang juga bikin miskom waktu kita lagi asyik berkirim pesan teks. Misal, teks “Oke” bakal terasa datar dan cuek buat si penerima, bahkan bisa dikira nirempati sampai bikin tersinggung. Padahal si pengirim mungkin cuma lagi fokus sesuatu atau sibuk, sehingga dia cuma bisa ngetik singkat.
Salah paham terjadi karena nggak ada penjelasan kenapa si pengirim ngetiknya cuma “Oke.”
Mustahil juga ngetik banyak. Misalnya “Oke. —dengan penjelasan— (Maaf aku balesnya singkat karena lagi sibuk, nih)”, soalnya, kan lagi sibuk.
Belum lagi kalau balas pesannya lama, tertunda-tunda. Nggak real-time, karena sinyalnya nggak stabil. Kadang juga karena lagi sibuk. Jadi cuma baca tapi belum sempat jawab. Akhirnya si pengirim pesan cenderung mengisi kekosongan dengan asumsi mereka sendiri. Sampai overthinking, mikir jelek, merasa dicuekin atau nggak dianggap. Padahal, yang dikirimi lagi sibuk sampai nggak tahu kalau ada pesan masuk.
Sementara itu, setiap orang punya gaya komunikasi teks yang beda-beda, dari cara nulis sampai respons-nya. Ada yang memang singkat-singkat, ada yang rela ngetik panjang lebar, lengkap dengan emojinya. Ada yang responsif dan gercep, ada juga yang nunggu bisa mencerna dulu baru ngirim balesan.
Nah, gaya komunikasi yang beda-beda ini—buat sebagian orang—juga bisa bikin bingung. Apalagi kalau mereka nggak paham maksud dan makna dari teks atau simbol yang dipakai.
Apa Benar Cewek Lebih Rentan Salah Paham pas Texting?
Nggak bermaksud bias gender. Tapi, fenomena ini sering mengemuka di mana-mana. Apa benar cewek lebih rentan salah paham dalam komunikasi via pesan instan?
Soal ini, Hipmin merujuk tulisan peneliti Poltek Negeri Virginia, AS, Lindsay McCarthy dan Eric McCollum berjudul What does this Mean?”: Understanding how Women make Meaning of Text Messages while Developing an Intimate Relationship.
Penelitian mereka mengeksplor gimana perempuan muda memaknai pesan teks dari crush pas PDKT. Di situ, dibilang bahwa para peserta yang ditanyai pengalaman mereka, cenderung kurang nyaman dengan komunikasi via texting. Salah satunya karena texting rawan manipulasi akibat nggak ada nada dan ekspresi.
Ketika dapat pesan teks dari calon pasangannya, para perempuan suka baca berulang-ulang, karena takut salah paham. Kadang mereka nebak-nebak sendiri, sampai konsultasi ke bestie-nya dengan cara berbagi capture-an, maksudnya biar dapat perspektif lain.
Dari penelitian juga disimpulkan kalau cewek-cewek akhirnya menentukan indikator cowok red flag berdasarkan cara texting. Misalnya, pesan terlalu singkat, cuma bisa texting di waktu-waktu tertentu (misal cuma malam hari di atas jam 10), nggak pernah nge-chat duluan, terlalu cepat nembak atau nunjukin ketertarikan, serta tata bahasa atau ejaan yang jelek.
Kalau indikator itu terpenuhi, baik salah satu-dua maupun semuanya, maka para cewek akan membuat interpretasinya sendiri-sendiri. Ada yang menganggap dirinya nggak penting buat si cowok yang ditaksir, nggak dihargai, cuma jadi cadangan atau pelarian, dan lain sebagainya. Interpretasi ini sangat personal, seringnya akibat ekspektasi ketinggian atau trauma masa lalu.
Cuma, ya nggak semua cewek kayak gitu, cowok pun demikian.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Miskom dalam texting sebenarnya terjadi karena kalau dilihat dari gendernya, cowok dan cewek punya gaya ngetik yang beda. Cewek berkomunikasi buat mengekspresikan perasaan dan membangun koneksi emosional. Kalau lagi ada masalah, mereka nggak ragu untuk sharing, mengutarakan yang dia rasakan, dan nyari dukungan emosional. Tujuannya, biar si lawan bicara paham sekaligus berempati, meski nggak bisa ngasih solusi.
Sementara itu, cowok agak kebalikannya. Mereka cenderung fokus mecahin masalah dan ngasih solusi tindakan konkret. Cowok lebih suka komunikasi yang to the point, efektif, dan fungsional. Kadang juga nggak nyaman dengan obrolan emosional yang terlalu dalam.
Makanya, kadang ada cewek yang ngerasa perasaannya kurang divalidasi waktu curhat ke pasangannya, karena si cowok langsung ngasih solusi masalah. Sebaliknya, si cowok kebingungan karena sudah ngasih solusi, tapi masih dianggap nggak empati oleh si cewek. Jadinya, nggak klik.
Mungkin Hipmin mau ngasih sedikit saran. Bahwa praktisnya texting perlu diiringi dengan kehati-hatian. Mending baca ulang sebelum kirim, kasih konteks kalau perlu, dan jangan langsung berasumsi.
Kalau ragu, tanya. Kalau penting, telepon saja. Soalnya nggak semua hal bisa dijelaskan lewat chat. Dan, kadang yang bikin salah paham bukan pesannya, tapi pikiran kita yang keburu mikir macam-macam.