Siapa pernah ngalamin situasi awkward ini? Ketemu orang di suatu kesempatan, terus langsung kenal, “Eh, kamu kan yang kemarin…” Tapi pas ditanya namanya? Blank total. Mukanya familiar, tapi namanya? Hilang entah ke mana.
Kayaknya banyak orang pernah begitu. Fenomena “ingat wajah tapi lupa nama” ini ternyata universal banget. Bukan cuma kamu yang pelupa atau males ingat-ingat nama orang. Ternyata ada sains di baliknya, dan ternyata otak kita emang dirancang begitu.
Penjelasannya simpel tapi mind-blowing. Otak manusia punya area khusus buat memproses wajah yang namanya fusiform face area. Ini kayak prosesor khusus yang sudah evolusi selama jutaan tahun karena itu menguntungkan. Bayangin aja, sebelum ada bahasa verbal, dulu nenek moyang kita harus bisa bedain mana teman, mana musuh, cuma dari tampangnya. Kalau si nenek moyang lambat mikir, bisa-bisa mati duluan.
Sementara itu, nama? Nggak ada prosesor khususnya. Nama orang nggak ngasih petunjuk visual sama sekali. Coba, apa hubungan antara nama “Bambang” dengan fisik orangnya? Nggak ada. Makanya, gambaran kasarnya otak kita jadi agak males urusin nama.
Belum lagi nama itu kompleks. Ada nama depan, nama belakang, kadang ada nama tengah segala. Terus nama orang jarang banget muncul di obrolan sehari-hari. Kecuali kamu kerja di customer service atau sales asuransi, kapan coba kamu nyebut nama orang lain berkali-kali? (Pas ngegosip)
Bedanya dengan wajah, dia bisa ngasih petunjuk banyak banget. Dari wajah, kita bisa tahu gender, usia, mood, bahkan kelas ekonomi. Sementara nama? Cuma rangkaian huruf abstrak yang nggak ada artinya. Makanya memori visual kita jauh lebih kuat.
Tapi Aslinya, Ternyata Nama Lebih Mudah Diingat
Nah, ini yang bikin menarik. Ada riset dari University of York tahun 2018 buat nyoba “tes pengenalan” yang adil antara wajah dan nama. Hasilnya malah agak terbalik dari fenomena yang kita kenal. Orang lebih baik mengingat nama (83-85%) dibandingkan wajah (64-73%) buat orang yang nggak dikenal.
Lho kok bisa?
Riset itu memang cuma buat ngetes orang-orang yang bener-bener asing, unfamiliar faces. Bukan teman lama, bukan kolega kantor, bukan tetangga yang udah bertahun-tahun kamu kenal.
Ini perbedaan yang krusial banget. Soalnya cara otak memproses wajah familiar dan nggak familiar itu beda total. Wajah familiar bisa diingat lebih lama karena ada asosiasi emosional atau pengalaman bersama. Sementara kalau wajah asing, jatuhnya ya cuma paparan visual mentah yang nggak ada artinya.
Bahkan pengenalan wajah unfamiliar bisa terganggu banget meski cuma gara-gara variasi tampilan. Misalnya sudut lihat dan lighting-nya sudah beda, atau mode penampilan yang dipakai, misal make up atau gaya rambutnya berubah.
Jadi, dari hasil penelitian itu, ternyata kesimpulannya begini, yang bikin kita merasa “selalu lupa nama tapi ingat wajah” adalah karena prosesnya berurutan. Kita lihat muka dulu, baru sadar kalau lupa namanya. Pas prosesnya dibalik, denger atau baca nama dulu, kita jarang mikir lebih lanjut. Nama bisa lebih mudah diingat kalau kondisinya khusus dan spesifik, nggak berlaku di situasi kita sehari-hari.
Itu biasanya terjadi, misalnya di orang yang punya kondisi prosopagnosia atau “face blindness“. Sekitar 1 dari 33 orang (3.08%) dari populasi mungkin mengalaminya. Otak mereka nggak bisa mengenali wajah, padahal penglihatannya normal. Tapi biar kenal, mereka lebih sering pakai strategi lain, misalnya suara, gaya rambut, atau postur tubuh.
Kedua, dalam konteks tertentu. Misalnya operator telepon, penyiar radio, atau customer service yang lebih banyak interaksi suara. Mereka bisa hafal nama-nama klien tapi nggak pernah lihat mukanya. Ketiga, faktor genetik, jadi memang berbakat ingat nama duluan daripada wajah sejak lahir.
Semakin Lama Semakin Lupa
Meski riset bilang nama orang asing lebih mudah diingat, pengalaman sehari-hari kita tetap sebaliknya. Beberapa alasannya, pertama karena melibatkan orang semi-familiar, teman lama, teman baru, kolega, tetangga. Bukan stranger total kayak di riset University of York.
Kedua, ada yang namanya proses sekuensial. Kita liat muka dulu, terus sadar lupa nama. Ketiga, informasi nama biasanya kurang melekat karena nggak bisa di-relate-relate-kan sama informasi lain. Soalnya, nama itu unik buat individu. Kita nggak bisa buat sinonim atau asosiasi semantik kayak kata-kata biasa. Makanya sampai ada julukan atau panggilan yang fungsinya buat asosiasi itu, biar lebih gampang ingat.
Cuma memang, kalau udah jarang ketemu lagi, makin parahlah lupanya. Riset tentang pengenalan wajah nunjukin kalau pembusukan memori terjadi cepat banget, terutama dalam 24 jam pertama. Representasi wajah di otak kita nge-drop signifikan, dari level 0.75 jadi 0.62, terus stabil sampai seminggu di level 0.60.
Itulah kenapa asosiasi wajah-nama butuh penguatan terus-menerus. Kalau jarang ketemu, ya tambah lemah. Makanya teman baru yang cuma ketemu di acara tertentu, meski beberapa kali, biasanya gampang dilupakan namanya. Mukanya sih nggak asing, tapi karena intensitas relasinya kurang sering, jadi namanya udah kabur.
Kalau nggak mau malu gegara awkward ketemu orang familiar tapi lupa namanya, pakai aja teknik asosiasi visual. Jadi, pas kenalan, usahakan langsung bikin asosiasi visual dengan namanya. Misal nama “Rudi” kamu kaitkan sama kumisnya yang tebal, atau “Sari” dengan senyumnya yang manis kayak sari buah.
Kedengerannya memang receh, tapi ya begitulah cara otak bekerja. Visual itu kuat, nama itu abstrak. Kalau kamu bisa bikin jembatan antara keduanya, kemungkinan besar bakalan lebih gampang ingat.
Riset lain juga nunjukin kalau asosiasi wajah-nama bisa diperkuat lewat reaktivasi selama tidur. Jadi kalau habis kenalan sama orang baru, coba diingat lagi sebelum bobo. Siapa tahu besok-besok ketemu lagi di coffee shop, kamu bisa manggil nama dengan pedenya.

