Rapunzel nggak boleh keluar sama orang tua angkatnya yang nenek sihir. Dia dikurung di menara, meskipun memang sering dikunjungi. Tapi, itupun sambil nahan perih. Karena satu-satunya cara si nenek naik ke Menara adalah dengan manjat pakai rambut Rapunzel. Entah gimana cara Rapunzel keramas, yang jelas rambutnya memang panjang banget.
Di akhir cerita, Rapunzel baru bisa bebas lewat pertolongan seorang pangeran. Setelah ada masalah lain lagi, ujungnya mereka berdua hidup bersama dan bahagia selamanya. Ya, cerita happy ending khas dongeng anak-anak.
Sementara itu, di dunia nyata yang tanpa penyihir jahat, Rapunzel-Rapunzel baru bermunculan. Mereka nggak dipaksa, tapi sengaja milih untuk mengurung diri di ruang hidupnya. Cuma keluar rumah kalau butuh banget, misalnya belanja. Bahkan ada yang ekstrem, nggak keluar sama sekali, soalnya segala kebutuhan pokok bisa terpenuhi dengan memanfaatkan layanan pesan antar.
Kamu tahu China, kan? Orang sana dikenal gigih, ulet, dan pekerja keras. Anehnya, kebiasaan jarang keluar rumah itu justru ngetren di kalangan anak muda sana. Iya kalau di rumah bisa produktif, WFH misalnya. Ini, nggak.
Anak-anak muda ini punya gaya hidup yang sangat kebalikan dari produktif. Kalau orang produktif normalnya bangun subuh, terus beraktivitas sampai sore atau malam, lalu tidur. Ini, nggak. Mereka cuma di kamar, rebahan sampai ketiduran, makan, ngemil, nonton atau scroll-scroll sampai tidur lagi, setiap hari. Jarang keluar, apalagi sosialisasi, bahkan konon nggak jelas apa tujuan hidupnya. Esensi slow living nggak ada apa-apanya dibanding gaya hidup mereka yang super lambat ini.
Rat People atau Manusia Tikus
Februari 2025, warganet ramai merespons video unggahan @jiawensishi di Douyin. Di videonya, dia menampilkan a day in my life versi dirinya yang oleh media China dibilang “sangat lesu”.
Mungkin nggak salah, soalnya dia bangun tidur nggak langsung beranjak dari kasur, tapi masih rebahan. Sampai 3 jam kemudian, baru berdiri dan cuci muka. Setelah itu balik ke kasur dan tidur lagi kira-kira lima jam.
Cewek yang katanya dari daerah Zhejiang ini merapel sarapannya dengan makan malam. Hari itu, dia pertama kali masukin makanan ke mulut, sehabis dibangunkan orang tuanya di malam hari. Singkat cerita, pas sudah tengah malam, barulah dia mulai beraktivitas bongkar muat jatah mingguan, terus mandi jam 2 dini hari.
Orang-orang kayak @jiawensishi ini ngasih sebutan buat mereka sendiri, dengan istilah Rat People atau manusia tikus. Tikus suka sembunyi kalau ketemu spesies lain, termasuk manusia. Tapi kalau ketemu sesama tikus, mereka malah bakal lebih sosial. Nah, khusus soal sembunyi-sembunyian, rat people ini mirip banget sama tikus beneran. Mereka mengkarantina-mengisolasi-mengurung diri dari interaksi dengan lingkungan, kecuali dunia maya.
Memang nggak semua lemes-males kayak @jiawensishi. Di video-video lain, di akun dan platform yang juga lain, ada juga yang aktivitasnya sehari-hari kayak rumah tangga biasa. Bangun pagi, tertib mandi, masak dan cuci-cuci, normal saja. Tapi, sehari-hari mereka benar-benar cuma dihabiskan di dalam rumah. Belanja pun tinggal pakai aplikasi, terus diantar sampai depan pagar atau pintu rumah.
Ada juga yang kerjanya dari rumah, aktivitasnya kayak biasa orang-orang WFH gitu. Ya kerja, ngurusin domestik, nggak komunikasi sama teman kantor kecuali urgent, pesan makan lewat ojol, benar-benar di rumah saja. Weekend-nya libur, tapi juga nggak ada niatan cari udara segar di luar.
Kalian Kenapa Sih Guys?
Manusia tikus ini, hidup mereka pas-pasan, tapi juga efisien, minimalis, nggak berlebihan. Kalau ditanya kenapa sampai begini, jawabannya nggak sesimpel “males” atau “enak”. Ada latar belakang serius yang bikin mereka milih jadi manusia tikus, sengaja hidup kayak Rapunzel.
Pertama, ada yang namanya budaya kerja “996”. Kerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam, 12 jam per hari, enam kali seminggu. Budaya kayak gitu sudah nggak relevan buat generasi masa kini. Jatuhnya nggak imbang antara kerja keras sama nikmatin hasilnya, malah berisiko burnout parah.
Sistem kerja brutal ini dulu dipopulerkan sama Jack Ma, bos Alibaba. Katanya demi kemajuan karier dan ekonomi China. Tapi sekarang, anak-anak muda sudah muak sama ekspektasi kerja nggak masuk akal kayak gitu. Mereka udah capek jadi ‘robot’ pekerja yang hidupnya habis buat cari duit.
Belum lagi soal ekonomi yang lagi nggak beres. Data April 2025 nunjukin tingkat pengangguran anak muda China naik jadi 15,8%, padahal tahun sebelumnya masih 14,7%. Tahun ini saja, ada 12,22 juta lulusan universitas yang mau masuk dunia kerja. Jadi kompetisinya ketat banget, tapi lapangan kerja terbatas.
Sedangkan yang sudah kerja, gaji mereka stabil—lebih tepatnya stagnan, di tengah biaya hidup yang makin tinggi. Ujung-ujungnya anak muda merasa terjebak dalam “rat race” yang nggak ada habisnya. Makanya mereka milih keluar dari balapan itu dengan cara paling ekstrem, nggak ikut main sama sekali.
Tren manusia tikus ini sendiri sebenarnya adalah evolusi dari gerakan “Tang Ping” (berbaring datar) yang populer tahun 2021. Kalau Tang Ping masih soal nolak budaya kerja berlebihan sambil tetap hidup normal, rat people lebih ekstrem lagi. Mereka benar-benar meminimalkan aktivitas luar ruangan dan interaksi sosial.

Muda-Mudi Capek Semua
Fenomena ini cukup mengglobal. Di Jepang ada hikikomori, di Amerika dan Eropa ada gaya hidup NEET (Not in Employment, Education, or Training). Bahkan mahasiswa China di luar negeri, misalnya Pu Yiqin yang kuliah di King’s College London pun ikut jadi manusia tikus.
Tren ini makin populer gara-gara media sosial. Di platform kayak Weibo, Xiaohongshu, dan Douyin, postingan tentang manusia tikus udah ditonton lebih dari 2 miliar kali. Sampai ada karakter kartun “Big Rat” yang dibuat oleh ilustrator Sugar Xianbei, jadi maskot nggak resmi mereka. Produk dengan logo ini bahkan sudah laku lebih dari 1 juta yuan sampai April 2025.
Komentar-komentar di media sosial juga nunjukin betapa relate-nya anak muda sama gaya hidup ini. Ada yang bilang, “Kita udah lelah sama gaya hidup yang cepat, maju, dan efisien yang dipaksakan ke kita. Kita cuma mau kebebasan buat rebahan kapan dan di mana aja.”
Pu Yiqin, yang sering posting rutinitas pasifnya di Xiaohongshu. Dia bangga bisa tidur “cepat” jam setengah dua pagi dan cahaya remang-remang. Buat dia, hidup nggak perlu energik atau ambisius. Yang penting nyaman.
Kalau faktanya kayak gitu, berarti fenomena manusia tikus ini memang kompleks banget. Mungkin para pelakunya memang malas atau ikut tren. Tapi kalau dipikir-pikir, misal mereka memang beneran merespons tekanan ekonomi, budaya kerja yang toxic, dan ekspektasi sosial yang berlebihan, itu juga valid.
Bayangin, susah-susah lulus kuliah dengan IPK tinggi, perusahaan carinya karyawan berpengalaman. Ada kerjaan gajinya nggak sesuai ekspektasi, sambil dituntut pengabdian tingkat tinggi. Sementara, lingkungan sosial nuntut soal status nikah dan jabatan. Belum lagi di pergaulan, dari pilihan politik sampai skincare andalan. Bahkan update info terbaru saja sekarang jadi ajang kompetisi sosial. Gimana nggak capek?
Makanya, nggak heran kalau banyak yang lebih milih jadi manusia tikus. Melawan semua tekanan dengan nggak ikut main. Cukup jadi tikus yang rebahan di pojokan. Lagian, susah-susah menangin kompetisi sosial, toh ujungnya tetap capek juga.

