• About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten
Friday, December 19, 2025
hipkultur.com
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
hipkultur.com
No Result
View All Result
Home Fit & Zen

5 Stages of Grief, Panduan Ringan Memahami Kehilangan

Lionita Nidia by Lionita Nidia
11 July 2025
in Fit & Zen
0
5 Stages of grief.

5 Stages of grief.

0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Duka itu bagian dari hidup. Mau sekuat apa pun seseorang, cepat atau lambat pasti pernah merasa kehilangan. Bisa karena kematian, putus cinta, kena layoff, atau perubahan hidup yang memaksamu mengubur cita-cita.

Duka itu bukan proses yang lurus, rapi, dan teratur. Nggak ada garis waktu yang bisa diprediksi. Kadang kita merasa baik-baik saja pagi ini, lalu hancur sore nanti. Kadang tangis bisa datang tanpa aba-aba, marah muncul tiba-tiba, atau hati rasanya kosong dan mati rasa.

Meski tiap orang punya cara masing-masing dalam menghadapi duka, psikiater asal Swiss, Elisabeth Kübler-Ross pernah mengenalkan sebuah kerangka tahap duka yang dikenal dengan 5 stages of grief. Beliau menyusunnya berdasarkan wawancara langsung dengan pasien-pasien yang sedang menghadapi kematian di AS pada tahun 1958.

Awalnya, Kübler-Ross prihatin dengan dunia medis yang terasa terlalu teknis dan minim empati terhadap pasien sekarat. Ia lalu membuat seminar di Universitas Colorado, dan mendengarkan langsung cerita para pasien tentang rasa takut, harapan, dan penerimaan mereka terhadap kematian.

Elisabeth Kübler-Ross mewawancarai seorang wanita penderita leukemia di Chicago pada tahun 1969, dengan peserta seminar di balik cermin satu arah
Elisabeth Kübler-Ross mewawancarai seorang wanita penderita leukemia di Chicago pada tahun 1969, dengan peserta seminar di balik cermin satu arah.(LIFE/Getty Images)

Dari situlah, lahir bukunya On Death and Dying (1969), yang memperkenalkan kita pada: Penolakan (Denial), Marah (Anger), Tawar-menawar (Bargaining), Depresi, Penerimaan (Acceptance).

Dalam bukunya, Kübler-Ross sendiri sebenarnya menggambarkan lebih banyak tahap, mulai dari syok, duka persiapan, sampai harapan. Kelima tahap tadi memang dijadikan semacam bab utama, tapi bukan berarti setiap orang akan melewatinya satu per satu, atau bahkan semuanya.

Kira-kira, begini bentuk 5 stages of grief yang dikenalkan Kübler-Ross:

Penyangkalan (Denial)

Tahap ini adalah respons spontan saat seseorang belum siap menerima kenyataan. Rasanya seperti hidup di dunia yang nggak nyata. Pikiran kita mencoba melindungi diri dari guncangan besar dengan menolak fakta yang ada.

Ini adalah cara alamiah kita untuk kasih jeda. Otak seakan bilang, “Belum siap. Tunggu sebentar.”

Menurut Kübler-Ross, denial ini bisa bantu seseorang bertahan sementara waktu hingga cukup kuat menghadapi kenyataan.

Menurut Dr. Robin Hornstein, Ph.D., psikolog di Narberth, Pennsylvania ini adalah mekanisme pertahanan untuk mencegah emosi langsung meledak karena overload emosi.

Kemarahan (Anger)

Kemarahan muncul sebagai bentuk pelampiasan emosi yang sulit diungkapkan. Orang bisa marah ke siapa pun. Ke diri sendiri, orang terdekat, bahkan Tuhan. Meskipun kemarahan tidak selalu muncul di semua kasus, psikolog menyarankan untuk membiarkan diri merasakannya alih-alih ditekan.

Soalnya kemarahan bisa jadi jembatan untuk mengatasi emosi lain yang lebih dalam. Tapi hati-hati, jangan sampai kemarahan ini melukai orang lain atau diri sendiri.

Marah itu bukan tanda kamu orang jahat. Itu adalah tanda bahwa kamu sedang mencari pegangan di tengah kekacauan.

Tawar-menawar (Bargaining)

Di tahap ini, seseorang seringkali mencoba ‘bernegosiasi’ dengan keadaan atau kekuatan yang lebih tinggi.

Bentuknya bisa verbal maupun dalam hati. Seperti berjanji akan berubah atau berbuat lebih baik kalau saja keadaan bisa diputar ulang. Ini adalah upaya terakhir untuk mencari kontrol di tengah situasi yang serba tak pasti.

Depresi (Depression)

Setelah menyadari kenyataan kehilangan, seseorang bisa merasa sangat sedih, kosong, atau bahkan putus harapan.

Dr. Hornstein menyebut ini sebagai respons realistis terhadap kehilangan yang akhirnya benar-benar dirasakan.

Gejala bisa berupa kelelahan, kehilangan semangat, bahkan muncul pikiran untuk menyerah. Tapi perasaan ini bisa dikelola lewat dukungan sosial, perhatian penuh terhadap diri, sampai terapi profesional seperti CBT.

Penelitian dalam jurnal Psychiatric Clinics of North America (Shear, 2015) menyebut bahwa kesedihan mendalam setelah kehilangan adalah bentuk normal dari grief, bukan otomatis tanda gangguan mental, selama tidak berkepanjangan dan mengganggu fungsi hidup secara total.

Penerimaan (Acceptance)

Penerimaan bukan berarti berhenti merasa sedih, tapi lebih pada kesiapan untuk hidup berdampingan dengan kehilangan. Emosi mulai stabil, rutinitas baru terbentuk, dan seseorang bisa melihat masa depan dengan perspektif yang baru.

Menurut konselor profesional di Raleigh-Durham, Carolina Utara, Holland-Kornegay, tahap ini juga ditandai dengan tumbuhnya kedamaian batin dan penerimaan terhadap perubahan hidup.

Kamu masih bisa sedih, bisa rindu, tapi kamu nggak lagi berusaha melawan rasa itu.
Kamu mulai membangun hidup baru, dengan tetap menyimpan kenangan di kantongmu, bukan di pundakmu.

George Bonanno, profesor psikologi klinis dari Universitas Columbia yang juga mengepalai laboratorium tentang kehilangan dan trauma, menyebut 5 stages of grief sebagai peta jalan.

Menurutnya, model itu memberi semacam pegangan bagi orang yang sedang terluka: berapa lama rasa ini akan bertahan? Apa yang akan terjadi padaku?

Penggambaran 5 stages of grief di scene Avengers: Endgame.
Penggambaran 5 stages of grief di scene Avengers: Endgame.

Tapi Bonanno juga mengingatkan, banyak orang merasa mereka harus berduka dengan cara yang benar, padahal duka bukan ujian yang harus dilewati sesuai panduan.

Kalau kamu nggak merasa marah, atau malah bisa tertawa di tengah kehilangan, bukan berarti kamu salah. Tapi stigma sosial dan ekspektasi orang sekitar sering bikin kita merasa seperti itu.

Penelitian besar soal tahap-tahap duka pernah dilakukan tahun 2007 lewat wawancara dengan orang-orang yang baru saja kehilangan orang terdekat.

Ternyata tahap yang paling umum dirasakan adalah penerimaan. Sementara denial justru jarang muncul. Dan emosi terkuat kedua yang banyak dirasakan bukan kemarahan atau depresi, tapi kerinduan —yang bahkan nggak ada di lima tahap klasik itu.

Tapi, studi itu juga bukan tanpa kritik. Metode pengambilan sampelnya dianggap kurang mewakili, dan hasilnya dinilai terlalu disederhanakan.

Dan menurut David Kessler, seorang pakar duka yang juga menulis buku bareng Kübler-Ross, ada satu tahap tambahan yang penting banget: 6. Finding Meaning (Menemukan Makna).

Tahap ini muncul waktu seseorang sudah bisa berdamai, lalu mulai mencari arti dari kehilangan yang ia alami.

Radharani / Shutterstock
Radharani/Shutterstock

Dengan mengenang momen baik, membuat karya, melakukan hal baik atas nama orang yang sudah nggak ada lagi di hidupnya, atau menemukan alasan kenapa ia dia tetap hidup meski tanpa sosok yang dulu mengisi hari-harinya.

Kessler juga bilang, teori ini bukan rumus kaku, tapi lebih ke alat bantu supaya orang-orang yang sedang berduka bisa merasa lebih normal.

Karena, banyak orang yang merasa “kenapa ya aku kayak gini?” dan ternyata saat tahu bahwa itu bagian dari proses kesedihan, mereka bisa sedikit lebih tenang. Mereka jadi sadar kalau perasaan itu valid.

Tahap menemukan makna ini juga sangat membantu terutama bagi mereka yang kehilangan secara tiba-tiba—seperti kehilangan anak atau pasangan secara mendadak.

Menurut Dr. Hornstein, makna inilah yang jadi jembatan menuju ketenangan. Bukan berarti rasa sakitnya hilang, tapi ada ruang di hati untuk tetap mencintai tanpa merasa ditinggalkan sepenuhnya.

Tentu saja, perjalanan ini nggak mudah. Tapi, ada beberapa hal yang bisa bikin langkahmu kerasa lebih ringan:

  1. Beri waktu buat dirimu sendiri.
  2. Jangan paksa diri untuk “baik-baik saja” terlalu cepat.
  3. Lakukan perawatan diri: tidur cukup, makan sehat, olahraga, atau sekadar meditasi.
  4. Dan yang paling penting: nggak usah jalanin ini sendirian. Temui teman yang bisa mendengarkan, keluarga yang suportif, atau profesional yang paham bagaimana cara menemani kesedihanmu.

Karena pada akhirnya, seperti yang kata Dr. Hornstein, “Kesedihan memang menyakitkan, tapi ia tidak harus menghentikan hidup atau kebahagiaan kita.”

Intinya, proses berduka itu sangat personal. Ada yang marah dulu, ada yang langsung lemas, ada yang malah baru merasa sedih setelah berbulan-bulan. Dan semuanya sah.

Alih-alih terjebak di teori lima tahap, mungkin yang kita butuhkan adalah ruang yang aman untuk merasakan semuanya. Tanpa urutan. Tanpa target waktu. Tanpa harus menjelaskan ke siapa pun kenapa masih terasa sakit.

Yang penting bukan bagaimana cara kamu berduka, tapi bagaimana kamu tetap bertahan. Semangat, sayang.

Tags: kesehatan mentalpsikiaterpsikologitekanan mental
Previous Post

Ilmuwan Saraf Bilang, Hidup Itu Jangan Kebanyakan Target

Next Post

Orang Jahat vs Orang Bodoh, Kira-kira Mana yang Lebih Bahaya?

Next Post
Ilustrasi: orang jahat mengontrol orang bodoh

Orang Jahat vs Orang Bodoh, Kira-kira Mana yang Lebih Bahaya?

Please login to join discussion

Daftar Putar

Recent Comments

  • Bachelor of Physics Engineering Telkom University on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • Ani on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.