Vape muncul sebagai alternatif rokok tembakau bakar. Bahkan pernah dikira bakal menggantikan, meskipun sampai sekarang belum kejadian. Tapi alih-alih cuma jadi alat transisi buat berhenti merokok, vape malah berkembang lebih kompleks. Vaping jadi identitas, ekspresi diri, gaya hidup, sampai komunitas yang punya struktur sosial sendiri.
Hari ini, sudah lumrah terlihat orang-orang ngobrolin coil baru atau rasa liquid yang katanya “lagi hits banget”. Di Instagram, ada feed penuh foto asap tebal, device, atau unboxing mod terbaru. Di TikTok, tutorial bikin asap spiral bersaing ketat sama konten skincare dan side hustle alias kerja sampingan.
Hampir 20 tahun sejak mulai populer, vape yang awal promosinya adalah alat buat ngurangin nikotin, sekarang jadi simbol status. Ia jadi cara biar seseorang bisa terlihat “in”, jadi bagian dari sirkel tertentu, atau sesimpel mau nunjukin kalau dia nggak ketinggalan tren.
Vape Emerging
Rokok elektrik sejarahnya sudah sejak tahun ’60-an. Tapi, baru populer banget awal 2000-an. Seorang apoteker Tiongkok bernama Hon Lik ngenalin vape sebagai pengganti rokok tembakau. Setelah populer di negerinya sendiri, e-cigarette bikinannya mulai merambah ke luar negeri. Awalnya di Eropa dan Amerika, sebelum akhirnya masuk Indonesia sekitar 2010-an.
Pas pertama kali masuk Indonesia, pastinya tama cuma dipakai segelintir orang. Namun sekitar 2013-2014, penggunanya sudah mulai banyak, ditandai dengan berdirinya toko-toko khusus produk gituan. Apalagi didukung sama media sosial yang memperkenalkan vaping sebagai salah satu cara bergaya.
Itu pernah dicatat sama Eggi Alvado Da Meisa, Nur Hadi, dan Kun Sila Ananda dari Universitas Negeri Malang di studi mereka. Judulnya, Vape sebagai subkultur pemuda milenial Kota Malang (studi kasus pada komunitas vape di Kota Malang).
Seiring waktu, teknologi vape juga ikut berubah. Hadirnya pod system bikin alat ini jadi lebih simpel dan ringkas. Desainnya juga makin minimalis dan stylish. Vape nggak lagi jadi sekadar pengganti rokok tembakau, tapi punya estetika visual yang ‘butuh’ ditampilkan. Dengan aneka bentuk, warna, dan tentunya jenis rasa sesuai selera.
Dari sinilah vaping mulai masuk ke ranah ekspresi diri. Mirip sneakers atau casing HP, ada citra dan persona yang mau dibentuk lewat device dan liquid. Semakin banyak orang yang pakai, komunitasnya pun tambah besar, nular ke mana-mana, sampai jadi subkultur sendiri.
Dr. Andi Kurniawan, sosiolog dari Universitas Indonesia, menjelaskan, “Vaping telah menjadi lebih dari aktivitas konsumsi. Ia menjadi medium ekspresi diri, diferensiasi sosial, dan pembentukan identitas kolektif generasi digital native.”
Vape yang Teknis-Teknis
Sekarang, sudah banyak komunitas vape bermunculan di berbagai kota. Beberapa elemen teknis di ranah vaping sampai jadi ritual dan dikompetisikan, baik formal maupun sosial. Para pengguna atau penggemarnya pun pakai bahasa khusus buat nyebut berbagai elemen dalam vaping.
Misalnya, alat utamanya biasa disebut pod, jenis vape modern yang lebih kecil, ringan, dan gampang dipakai. Ada juga mod, device atau alat vaping yang bisa di-custom. Di dalam pod ada coil, yaitu kawat pemanas kecil yang jadi inti produksi uap.
Biar menghasilkan uap, butuh liquid, cairan aneka rasa yang juga punya kadar nikotin. Liquid ini biasanya terdiri dari campuran propilen glikol, gliserin, nikotin, dan perisa makanan.
Tiap pod atau mod juga punya cartridge atau tank, tempat nampung liquid. Sebelum dipakai, coil dan kapas harus dirakit atau diganti secara rutin, proses ini disebut wicking.
Ada juga istilah throat hit, sensasi di tenggorokan waktu mengisap uap, makin “nendang” makin mantap. Sementara untuk urusan nikotin, banyak pengguna sekarang lebih suka nic salt, bentuk nikotin yang lebih cepat terserap dan lebih smooth.
Kegiatan flavor hunting atau nyobain liquid dengan rasa aneh-nyeleneh juga jadi bagian penting dari pengalaman nge-vape. Selain nyari rasa, juga nyicipin brand yang lagi hype atau nemuin rasa unik yang belum pernah dicoba orang lain, apalagi kalau bisa meng-influence mereka. Kompetisinya pun diistilahkan cloud chasing, lomba bikin asap tebal seestetik mungkin.
Subkultur Vaping Sekarang
Buat sebagian orang, ini sudah kayak freestyle dance atau skate. Ada seninya, ada komunitasnya, dan tentu ada pengakuan sosialnya. Di luar itu, dunia vaping juga punya struktur sosial yang nggak kelihatan tapi kerasa. Ada modder legendaris yang dihormati karena karyanya susah ditiru. Atau reviewer yang jadi panutan karena jujur dan punya selera bagus. Ada juga kolektor device langka. Di sini vaping bukan lagi sekadar pengganti rokok tembakau, tapi sudah masuk ranah gaya, selera, bahkan status sosial.
Fenomena vaping yang awalnya cuma dianggap alternatif rokok, sekarang sudah menjelma jadi subkultur urban yang tersebar di banyak kota besar Indonesia. Kalau dulu pengguna vape masih bisa dihitung jari, sekarang jumlahnya sudah tembus jutaan. Menurut laporan Global State of Tobacco Harm Reduction, per tahun 2021 ada sekitar 6 juta vapers di Indonesia, atau setara 3% dari populasi dewasa. Padahal di tahun 2011, angkanya baru sekitar 500 ribuan.
Mayoritas penggunanya? Anak muda usia 18 sampai 35 tahun, yang tinggal di wilayah urban dan berasal dari kelas menengah ke atas. Mereka bukan sekadar pengguna, tapi juga bagian aktif di subkultur ini. Ikut komunitas, jadi reviewer, bikin konten, buka toko, sampai produksi liquid sendiri.
Petanya juga tersebar di berbagai daerah dengan ekosistemnya masing-masing. Pusatnya jelas Jakarta, disusul Bandung yang kreatif dengan modder dan produsen liquid. Lalu, tentu saja Surabaya, Yogyakarta yang punya banyak anak muda trendi, bahkan Malang yang lebih kecil skalanya.
Komunitas-komunitas juga bermunculan, ada yang berbasis lokasi kayak Malang Vapers Community atau Jakarta Vape Society. Ada juga yang berbasis identitas, macam komunitas @hijabvapersindonesia yang mewadahi perempuan berhijab pengguna vape.