Di sebuah kampung, ada seorang salik bernama Baqir yang sangat ingin mimpi ketemu Nabi Muhammad SAW. Suatu hari, ia mendatangi seorang ulama dan mengungkap keinginannya itu. Ulama diam sebentar, berpikir, lalu memberi saran yang agak unik.
“Pulanglah, Baqir. Malam ini, makanlah ikan asin sebanyak-banyaknya. Tambahkan garam ekstra, tapi ingat, jangan minum air sama sekali sampai besok pagi,” kata ulama itu.
Baqir langsung bersemangat. Ia bergegas ke pasar, beli ikan asin paling gurih yang ia temukan, dan menyiapkan makan malam. Waktu mulai menyantap, rasa asin menusuk lidahnya. Tenggorokannya terasa kering, dan ia sangat ingin meneguk air. Tapi ia menahan diri, mengingat pesan ulama tadi.
Sepanjang sisa hari itu, Baqir menderita karena haus. Pikirannya cuma tertuju pada segelas air dingin yang segar. Malamnya, ia gelisah di tempat tidur, cuma bisa guling-guling karena sangat kehausan.
Akhirnya, ia ketiduran juga. Dalam mimpi, Baqir melihat dirinya lagi berdiri di bawah air terjun yang indah. Air mengalir deras, membasahi tubuhnya, ia menadahkan telapak tangannya untuk menampung dan minum air yang segar itu.
Besok paginya, Baqir terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia buru-buru kembali ke ulama dan melapor, “Ya Syekh, saya sudah ikut saran Anda, tapi saya cuma bermimpi tentang air sepanjang malam! Mana Nabi SAW-nya?”
Sang ulama tersenyum bijak, lalu menjawab, “Baqir, apa yang memenuhi pikiran dan tindakanmu sepanjang hari akan muncul dalam mimpimu. Kemarin, kamu sibuk memikirkan air karena haus. Kalau kamu isi hari-harimu dengan belajar tentang Nabi SAW dan mengamalkan sunnahnya, itulah yang akan kamu lihat dalam mimpi.”
Apa yang Kita Isi, Itu yang Kita Dapat
Dari kisah Baqir ini, ada dua pelajaran simpel tapi dalam, yang bisa kita petik.
Apa yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan setiap hari nggak cuma masuk ke mimpi kita, tapi juga membentuk siapa kita.
Banyak yang bilang, “Hati menentukan perbuatan.” Itu ada benarnya. Tapi hati itu gampang berkarat kalau nggak diasah, seperti kata Rasulullah SAW, “Segala sesuatu ada semirnya, dan semir hati adalah mengingat Allah.”
Imam Al-Ghazali, ulama besar ahli tasawuf pernah bilang,“Hati itu seperti cermin, jika kau biarkan berdebu, ia tak akan memantulkan cahaya”
Kadang kita nunggu hati “klik” dulu baru mau berbuat baik. Padahal, berbuat baik juga bisa melatih hati jadi lebih tulus. Jangan berhenti berbuat kebaikan cuma karena belum ngeh sama hasilnya. Gampangnya kalau pengin hati yang hidup, ya harus rajin berdoa, baca, belajar, dan merenung, jadi nggak bisa secara instan.
Usaha Itu Penting
Hikmah kedua. Seringkali kita punya mimpi besar, tapi malas berusaha. Padahal, orang-orang hebat dalam sejarah, baik yang sukses secara materi atau spiritual, biasanya melewati perjuangan berat bertahun-tahun. Mereka nggak nyerah, meski logika bilang “udah, stop aja.”
Mau berhasil? Butuh waktu dan kerja keras.
Kita sering minta sama Allah SWT supaya dimudahkan, tapi kita juga harus gerak. Kayak cerita Anas bin Malik.
Ada orang tanya ke Rasulullah SAW, “Ya Rasul, aku ikat untaku trus tawakal, atau lepas aja sambil tawakal?”
Jawab Rasulullah, “Ikat dulu, baru tawakal.” Jadi, usaha sama tawakal harus bareng.
Makanya, kisah Baqir ini jadi pengingat hukum tabur tuai. Apa yang kita tanam dalam hidup, itu yang kita tuai di dunia, di mimpi, dan di hati.
Penulis: Berril Labiq