• About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten
Friday, December 19, 2025
hipkultur.com
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
hipkultur.com
No Result
View All Result
Home Ekspresi

Ngaku Aja Kalau Kita Memang Suka Ngurusin Urusan Orang Lain

Ovan Obing by Ovan Obing
5 October 2025
in Ekspresi
0
Ilustrasi: ssstttt, mind your own business

Ilustrasi: ssstttt, mind your own business

0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Itulah kenapa kita suka banget sama yang namanya drama. Mau Cina atau Korea, Jepang atau India, basis penggemarnya begitu rupa di sini. Sinetron juga. Drama-dramanya sangat berpengaruh pada sendi-sendi kehidupan warga, sampai ke nama-nama anak mereka.

Entah kenapa, kita kok kayak obsesif banget sama yang namanya drama. Tapi kalau menurut studi Robin Dunbar dkk dari University of Oxford yang terbit di jurnal Royal Society Open Science. Otak kita jadi bisa melepas endorfin pas nonton film drama. Endorfin itu zat kimia yang bikin kita merasa tenang, hangat, dan “nyambung” dengan orang lain.

Peneliti nemu bahwa penonton film drama terbukti punya ambang rasa sakit lebih tinggi setelah menonton. Itu berarti mereka lebih tahan terhadap sakit, efek dari hormon endorfin yang melimpah dalam tubuh mereka.

Jadi, nonton drama selain jadi hiburan emosional, juga ngasih pengalaman biologis yang nyata. Kalau ada film atau tontonan yang ceritanya emosional banget, seringnya kita merasa relate sama karakter di layar, bahkan ada ikatan khusus dengan sesama penonton. Karakter nangisan yang kalahan bikin kita tersentuh dan merasa kasihan padanya. Kalau ada karakter yang nyebelin, kita pun ikut geregetan setengah mati. Bahkan itu bisa kebawa ke dunia nyata.

Waktu nonton drama, otak sebenarnya lagi “olahraga sosial”, latihan empati dan keterikatan dengan sesama. Drama ngasih semacam pelatihan emosi, tapi kita nggak perlu terlibat langsung dalam konfliknya. Lewat nonton drama otak membangun rasa kebersamaan sosial, yang buat warga timur merupakan nilai terjunjung dalam kehidupan, bahkan jadi kebutuhan primer.

Selain Nonton, Suka Bikin Drama Juga

Tapi nggak semua drama datang dari layar. Ada juga orang yang seolah nggak bisa hidup tanpa konflik. Buat sebagian orang, kalau kata psikolog di artikel PsychCentral, drama dan keributan ngasih mereka sensasi dan pengalaman emosional yang intens, merasa lebih hidup, eksis, dan dianggap penting.

Biasanya pola ini kebentuk dari masa lalu atau lingkungan yang memang penuh drama. Pas hidupnya tenang, mereka malah merasa hampa. Cari-cari konflik buat nge-boost eksistensi di mata sosial. Caper, biar perhatian orang lain tetap tertuju ke mereka. Ini bentuknya bisa macam-macam, kalau di media sosial bisa pakai story nyindir, debat komen, atau cerita kalau jadi korban drama biar disayang netizen.

Di mata psikologi, drama sering berfungsi sebagai coping mechanism buat ngatasin rasa kosong atau cemas. Menariknya, perilaku kayak gini makin subur di masyarakat yang komunikasinya bergantung pada interaksi publik. Semakin ramai engagement, semakin terasa bermakna.

Jadi, drama itu nggak cuma bisa dilihat lewat layar, tapi juga ada betulan. Bedanya kalau film itu fiktif, satunya real, meski tokohnya bisa sama dengan yang fiktif. Selebritis, misalnya.

Dari Layar dan Untuk Layar

Sebagai penonton, otak kita juga bakal merespons dengan melepas banyak endorfin, mekanisme yang sama seperti pas nonton drakor atau sinetron tadi. Ikut tegang, marah, bahkan ambil bagian di cerita yang nggak ada hubungannya sama kita. Dan karena ini zaman banjir tontonan yang gampang diakses, “keseruan drama” bisa dinikmati secara massal tanpa batas. Mau film, realita settingan, atau orang sungguhan, semuanya menghasilkan keterhubungan sosial yang nyata.

Coba ingat peristiwa yang lagi rame banget dibahas dalam kira-kira seminggu terakhir. Berawal dari adegan ‘diving’ dan adu mulut yang direkam, tersebar, dan viral, sekarang jadi sumber endorfin warga +62 yang kayak haus koneksi sosial.

Konflik dan dramatisasi hubungan bertetangga yang kurang harmonis, meluas ke layar-layar ponsel, kanal-kanal berita, ingatan para penonton. Dalam hitungan hari, mungkin jam, nama sosok yang bertengkar dalam video mulai dikenal dan diperbincangkan. Yang unik, selain aksi diving dan adu mulut, ya respons publik yang macam-macam. Ada yang langsung ngetawain, bela habis-habisan, sampai bikin analisis dari sisi psikologi, agama, bahkan hukum.

Begitu intens media bikin berita soal drama itu, sampai rasanya jadi isu nasional yang wajib diikuti bareng-bareng. Pemirsanya larut dalam konflik merasa jadi bagian dari komunitas yang lebih besar. Sambil kepo, penasaran bakal jadi gimana kisah itu, sampai setia nunggu “episode baru”.

Sukanya Ngurusin Urusan Orang Lain

Cuma anehnya, semua yang peduli sama kasus itu, seolah lupa sama sekali bahwa itu bukan urusan mereka.

Di luar layar, konflik yang terjadi harusnya masih jadi urusan pribadi pihak-pihak yang berselisih. Bukan konten hiburan yang bisa ditonton rame-rame sambil dikomentari.

Ya memang, sih, kalau sudah di-upload otomatis jadi konsumsi publik. Tapi itu pun nggak berarti bebas dicerna dan dikeluarkan sari-sarinya dalam berbagai bentuk, apalagi yang negatif. Toh, konflik itu masih jadi aib milik pribadi para pihak terlibat, nggak mencoreng kehormatan semua orang.

Tapi di sisi lain, kultur lokal kita emang lebih bernilai sosial-komunal. “Makan nggak makan asal kumpul”, “gotong royong”, “toleransi”, “tenggang rasa”, “kekeluargaan”, benar-benar sudah jadi jati diri warga. Kita diajari falsafah itu biar hidup bersama jadi lebih hangat, nyaman, dan peduli satu sama lain.

Cuma ya gitu, gara-gara falsafah itu juga, banyak hal yang seharusnya beda jauh jadi tumpang tindih. Misalnya, mereka yang introvert sering dianggap nggak ramah, penyendiri, bahkan sombong, padahal memang lebih nyaman sendirian. Sementara ada orang yang peduli dan baik banget justru dibilang terlalu ikut campur. Lama-lama, privasi dan kepo pun nggak jelas bedanya, begitu juga empati dan penasaran.

Nah, di tengah kondisi masyarakat yang belum beres dalam memaknai interaksi sosial mereka, drama jadi objek paling sempurna buat berinteraksi. Takutnya gini, merasa peduli sama masalah orang lain, padahal diam-diam cuma mau panen endorfin buat kenyamanan diri sendiri.

Tags: psikologipsikologi sosial
Previous Post

Cerita Digi Bikin Proyeksi Seni Masa Depan Lewat Media Digital

Next Post

Single: “Cinta dan Air Mata” – Vintonic, Sebuah Keindahan dalam Keikhlasan

Next Post
Vintonic

Single: “Cinta dan Air Mata” – Vintonic, Sebuah Keindahan dalam Keikhlasan

Please login to join discussion

Daftar Putar

Recent Comments

  • Bachelor of Physics Engineering Telkom University on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • Ani on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.