Alkisah ada seorang pria yang waktu dewasa tiba-tiba kena gangguan pendengaran sampai hampir tuli. Sudah cukup lama dia mengalaminya, tapi entah kenapa nggak mau ngaku. Dia terlalu sombong, nggak mau terlihat lemah sambil terus pura-pura nggak punya masalah.
Suatu hari, dia ketemu sama seorang teman yang menabraknya di luar rumah, lalu memberi tahu kalau salah satu tetangganya yang jatuh sakit. Tetangganya yang lelaki tua ini hidup sendiri, nggak ada anggota keluarga yang merawatnya. Jadi, akan lebih baik jika si pria tuli menjenguknya, barangkali itu bisa sedikit membantu.
Entah kenapa, info tetangga sakit bisa diterima dengan baik oleh pria yang hampir tuli itu. Dia mengerti perkataaan temannya dan berjanji untuk mengunjungi tetangganya yang sakit secepatnya.
Tapi diam-diam, pria tuli bertanya-tanya sendiri tentang proses menjenguk itu nanti. Karena tetangganya sakit, dia pikir suaranya akan pelan, bahkan mungkin bicaranya bakal cuma bisik-bisik?
Maka, dia kemudian memutuskan akan sebaik mungkin membaca bibir tetangganya yang sakit, supaya mengerti benar semua perkataannya, dan bisa menanggapinya dengan tepat. Cuma, buat jaga-jaga, ia bikin skenario pertanyaan dan kemungkinan jawaban dari tetangga yang sakit itu. Dia reka-reka sendiri dialognya kayak gimana, sampai praktik sendiri di depan cermin.
Waktu bertanya, “Bagaimana perasaanmu?” tetangga yang sakit mungkin akan berkata. “Alhamdulillah, saya masih hidup.”
Kemudian dia akan berkata kepadanya, “Itu luar biasa, syukurlah!” dan melanjutkan, “Apa yang kamu makan hari ini?” Tetangga itu mungkin akan menjawab, “Saya makan sup sayuran lezat, dengan segelas serbat dingin.”
Dan dia akan menanggapinya lagi, “Selamat makan. Luar biasa!” dan bertanya, “Dokter mana yang meresepkan obat Anda?”
Setelah si tetangga mungkin akan menjawab dengan nama salah satu dokter setempat, pria tuli akan bilang, “Hebat, dia yang terbaik dalam bidang ini.”
Tuntas bikin rencana, maka pria tuli langsung berangkat dengan semangat. Ia menjenguk tetangga di sebelah rumahnya itu. Masuk, lalu duduk di samping tempat tidur lelaki tua yang terhampar di lantai itu. Kemudian, memulai pembicaraan dengan bertanya ramah, “Bagaimana keadaanmu, tetanggaku yang baik?”
“Aku sekarat!” rintih lelaki sakit itu.
“Alhamdulillah!” kata si tuli sambil tersenyum.
Lalu dia melanjutkan skenario dengan pertanyaan berikutnya, “Apa yang kamu makan tadi malam?”
“Racun!” jawab lelaki tua itu dengan nada kesal.
“Selamat makan!” pria tuli menanggapi tanpa sadar ada yang salah.
Orang sakit itu tentu semakin kesal dengan komentar terakhir. Demi menahan diri biar nggak marah-marah, dia gigit bibirnya sendiri.
Tapi namanya juga tuli, penjenguknya lalu melanjutkan pertanyaan “Dokter mana yang merawatmu?”
“Izrail, Malaikat Maut!” bentak orang sakit itu.
“Semoga dia diberkati. Kehadirannya selalu menjadi kabar baik. Siapa pun yang dikunjunginya akan disembuhkan dari semua rasa sakit dan nyerinya selamanya!” ucap pria tuli tanpa rasa berdosa.
Lalu si pria tuli meraih tangan tetangganya dan menjabatnya erat-erat sebelum pamitan. Dia sangat percaya bahwa dirinya sudah jadi tetangga yang baik, membawa banyak kebahagiaan dan kelegaan bagi tetangganya yang sakit itu.
Maksudnya Baik, Tapi Hasilnya…
Seringkali orang terlalu sibuk mikir gimana bisa kelihatan baik di mata orang lain. Sampai lupa kalau dia harusnya benar-benar mendengarkan dan memahami kebutuhan mereka.
Kayak si pria tuli di cerita tadi, dia lebih fokus ke skenario yang dia bikin sendiri, daripada bersikap rendah hati untuk jujur dan benar-benar hadir buat tetangganya yang sakit. Alhasil, niat baiknya malah berubah jadi ironi yang menyakitkan.
Kebaikan tanpa ketulusan hati dan kepekaan, bisa jadi luka buat orang lain. Cerita itu tadi mengajarkan bahwa empati sejati bukan sekadar rutinitas sosial atau basa-basi terencana. Tapi, harusnya hadir dari kerendahan hati, kejujuran diri, dan kesediaan untuk sungguh-sungguh memahami kondisi orang lain.
Cerita asli: The Deaf Man and His Sick Neighbor