Pernah suatu hari, dalam sebuah majelis ilmu, dua orang imam besar, yakni Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi’i, terlibat obrolan soal rezeki. Seperti diketahui, Imam Malik bin Anas (711–795 M) adalah seorang ahli hukum sekaligus pendiri Mazhab Maliki, salah satu dari empat mazhab utama dalam fikih Sunni. Sementara Imam Syafi’i (767–820 M) adalah muridnya, yang juga ulama besar Islam dan pendiri Mazhab Syafi’i.
Dengan gaya yang tenang, Imam Malik menyampaikan pandangannya bahwa rezeki itu bisa datang tanpa kita duga. Yang terpenting kita bertawakal sepenuh hati kepada Allah, maka rezeki akan menghampiri.
“Lakukan apa yang menjadi tugasmu, selebihnya serahkan kepada Allah,” ucap Sang Guru dengan bijaksana.
Pendapat ini beliau dasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sejati, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Pagi hari burung itu pergi dengan perut kosong, lalu pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Malik dikutip oleh Imam Az-Zarqani, Syarah al-Muwarha’, [Kairo: Maktabah ats-Tsaqafah, 2003], jilid IV, halaman 394).
Namun, Imam Syafi’i punya sudut pandang berbeda. Baginya, rezeki nggak mampir begitu saja. Ia percaya bahwa usaha dan kerja keras adalah kunci untuk mendapatkannya.
Imam Syafi’i yang dikenal kritis namun penuh adab, bertanya lebih dalam kepada gurunya, “Ya Syeikh, kalau burung itu hanya diam di dalam sangkar dan tak bergerak, bagaimana mungkin rezeki akan datang kepadanya?”
Namun perbincangan guru dan murid yang dari ilmunya menurunkan dua mazhab besar Islam itu, berakhir dengan keduanya sama-sama kukuh dengan pendapat masing-masing.
Sampai suatu hari, saat sedang jalan-jalan, Imam Syafi’i melihat sekelompok orang memanen anggur. Tanpa ragu, ia turun tangan membantu. Usai bekerja, ia diberi beberapa ikat anggur sebagai tanda terima kasih.
Imam Syafi’i pulang dengan hati gembira, bukan karena anggurnya, melainkan karena ia merasa menemukan bukti bahwa pendapatnya benar. Maka, bergegaslah ia menemui Imam Malik dan menaruh anggur di hadapannya sambil bercerita.
“Syeikh, kalau saya tidak keluar dan membantu, anggur ini takkan sampai ke tangan saya. Ini bukti bahwa usaha itu penting,” katanya yakin.
Imam Malik mendengarkan dengan sabar. Ia mengambil sebutir anggur, mencicipinya, lalu menjawab lembut.
“Hari ini aku tak pergi ke mana pun. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai guru, sambil berpikir betapa segarnya makan anggur di hari yang panas ini. Lalu kamu datang membawakan anggur untukku. Bukankah ini juga rezeki yang tiba tanpa aku cari? Cukup bertawakal dengan benar, Allah akan mengatur sisanya,” ungkapnya.
Mendengar jawaban itu, Imam Syafi’i tertawa lepas. Guru dan murid itu pun akhirnya tertawa bersama, menikmati momen mereka. Dari satu hadis yang sama, keduanya mengambil pelajaran yang berbeda, tanpa perdebatan sengit atau saling menyalahkan satu sama lain.
Rezeki Datang Bukan karena Usaha atau Tawakkal, Tapi dari Allah Semata
Kisah ini nggak cuma menghibur, tetapi juga kaya pelajaran. Pertama, ada keseimbangan antara tawakal dan usaha. Imam Malik mengajarkan ketenangan dalam memercayai rencana Allah, selaras dengan apa yang disampaikan Imam Ahmad bin Hanbal. “Tawakal bukan berarti berdiam diri, tetapi keyakinan bahwa hasil akhir ada di tangan Allah setelah kita berusaha.”
Sementara Imam Syafi’i mengingatkan pentingnya bergerak dan berikhtiar. Ini juga sesuai dengan pendapat Imam Ghazali yang bilang bahwa usaha adalah wujud syukur atas karunia kemampuan.
Kata Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin, “Allah memberikan akal dan tenaga agar kita bergerak. Burung pun terbang mencari makan, itu bagian dari sunnah Allah di alam.”
Dua pendapat berbeda itu jatuhnya malah saling melengkapi. Masing-masing bisa dijadikan panduan, tergantung pada konteks kehidupan.
Pelajaran kedua, perbedaan pendapat nggak harus berujung konflik. Guru dan murid ini menunjukkan bagaimana diskusi bisa berjalan dengan penuh keakraban dan rasa saling hormat.
Sementara yang ketiga, rezeki datang dengan cara yang nggak terduga. Bisa lewat usaha langsung, seperti Imam Syafi’i, atau melalui ketenangan tawakal seperti Imam Malik. Allah selalu punya rencana indah untuk hamba-Nya.
Terakhir, nikmati setiap prosesnya. Tawa dua imam besar sambil berbagi anggur mengingatkan kita untuk mensyukuri apa yang ada, sambil terus menjalani hidup dengan ringan dan penuh harapan.
Jadi, apakah kalian lebih condong pada ketenangan tawakal atau semangat berusaha?
Kisah anggur ini mengajak kita untuk mengambil yang terbaik dari keduanya. Lakukan bagianmu dengan sungguh-sungguh, lalu percayakan sisanya kepada Allah. Siapa tahu, rezekimu sudah menanti di tikungan berikutnya, mungkin bentuknya anggur segar atau berupa kejutan lainnya.
Penulis: Berril Labiq