Di sebuah dermaga kecil di tepi laut, sebuah perahu terlihat sedang merapat pelan-pelan. Di dalamnya, seorang nelayan sudah siap membawa pulang beberapa ekor tuna sirip kuning yang besar dan segar.
Sementara itu, nggak jauh dari dermaga, seorang bankir sedang nongkrong rileks di sebuah warung. Tempat mangkal para nelayan dan siapa saja yang aktivitasnya di sekitar pelabuhan. Termasuk si nelayan setelah memasang sauh dan membereskan ikan-ikannya.
Kedua tokoh itu akhirnya bertemu di warung.
Si bankir yang dari tadi memperhatikan si nelayan, membuka obrolan. Ia langsung muji-muji hasil tangkapan nelayan. “Ikan-ikan Anda luar biasa! Berapa lama Anda melaut sehingga berhasil menangkapnya?” tanyanya.
“Cuma sebentar,” jawab nelayan itu santai.
Dahi si bankir mengerut, “Kenapa sebentar? Kenapa Anda nggak melaut lebih lama, biar bisa menangkap lebih banyak ikan?”
Si nelayan menjawab lagi, kali ini dengan tersenyum. “Oh, iya. Soalnya segini saja sudah lebih dari cukup buat menghidupi keluargaku.”
Bankir masih belum puas. “Lalu, setelah melaut ini, berati Anda lebih banyak menganggur? Gimana sehari-harinya?”
“Aku bangun siang, melaut sebentar, main sama anak-anak, tidur siang bersama istriku, jalan-jalan ke desa, dan menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman-temanku. Hidupku sudah penuh dan sibuk dengan hal-hal yang kusukai,” si nelayan menjelaskan.
Mendengar jawaban itu, bankir tertawa kecil, lalu berkata, “Saya lulusan Harvard MBA jurusan ekonomi. Kalau Anda tahu, itu adalah kampus ekonomi terbaik di dunia.”
“Wah, benarkah? Anda sangat terpelajar,” celetuk si nelayan yang kagum.
Lanjut nelayan, “Saya bisa bantu Anda! Anda harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk menangkap ikan, agar hasilnya lebih banyak, bisa dijual juga. Nanti, keuntungan penjualan bisa dipakai beli kapal lebih besar.”
“Iya, juga ya,” nelayan mengangguk-angguk.
Semakin menggebu-gebu, bankir menambahkan lagi penjelasannya. “Dengan kapal besar, Anda bisa menangkap lebih banyak ikan. Begitu terus, lalu bisa beli lebih banyak kapal. Akhirnya, Anda akan punya armada sendiri. Alih-alih menjual ikan ke perantara, Anda bisa langsung menjualnya ke pabrik pengolahan, atau bahkan mendirikan pabrik pengolahan sendiri. Kalau sudah begitu, Anda akan menguasai seluruh rantai bisnis, dari produksi sampai distribusi.” Lalu meneguk minumannya.
Si nelayan menjawab sambil mengangguk lagi, “Ooh, jadi begitu ya. Benar juga. Lalu, butuh berapa lama proses semua itu?”
“Sekitar 15 sampai 20 tahun,” jawab bankir dengan yakin.
“Terus, setelah itu?” tanya nelayan lagi.
Masih bersemangat, sambil tersenyum lebar, si bankir bilang, “Itulah bagian terbaiknya! Setelah bisnis Anda sukses dan besar, Anda bisa menjual saham perusahaan, jadi sangat kaya, dan menghasilkan uang miliaran, bahkan triliunan!”
Sang nelayan mengangkat alis. “Miliaran, triliunan….Lalu, setelah itu aku harus ngapain lagi?”
Setelah menjelaskan bagian pamungkas favoritnya, si bankir tertawa puas. “Ya, setelah itu kau bisa pensiun. Pindah ke desa kecil di tepi pantai, bangun siang, melaut sebentar, bermain dengan anak-anak, tidur siang dengan istrimu, berjalan-jalan ke desa, dan menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-temanmu,” katanya.
Suasana hening sejenak. Obrolan itu pun berakhir.
Tanpa mengakhiri obrolan, si nelayan pun langsung pamit, “Sudah waktunya pulang, pak, saya pamit dulu.”
Waktu berjalan keluar warung dan lewat dekat si bankir, ia menepuk pelan bahu si bankir, sambil bilang, “Terima kasih sarannya, Pak. Anda bikin saya semakin yakin kalau saya cuma perlu berbuat yang seperti biasanya saja.”
Si nelayan melangkah pergi dengan santai. Si bankir terdiam, lalu meneguk lagi minumannya yang hampir dingin.
Pesan & Kesan
Si bankir menganggap kesuksesan itu ekspansi bisnis dan pendapatan fantastis, dengan output yang bahkan sudah diperoleh si nelayan meski dengan usaha segitu-segitu saja. Ini berarti ukuran sukses tiap orang beda-beda, tergantung referensi dan pengalaman masing-masing.
Gambaran sukses itu juga bikin si bankir lupa bahwa si nelayan selama ini sudah mendapatkan kebahagiaan yang sama. Ambisius dan ribet, soalnya si nelayan sebenarnya sudah hidup rileks seperti yang ditawarkan, tanpa perlu lewat jalan panjang penuh perjuangan.
Lagian, kunci kebahagiaan sering kali bukan di seberapa banyak milik kita, tetapi gimana kita bisa merasa cukup. Si nelayan paham betul bahwa hidup bahagia bukan soal punya lebih banyak, tapi tahu kapan harus bilang cukup.
Jadi, sebelum buru-buru mengejar sesuatu yang lebih besar, mungkin bisa ditanyakan ke diri sendiri, “Apa benar-benar butuh? Atau jangan-jangan sebenarnya kita sudah punya?”
Cerita asli: The Fisherman | Islamcan.org