Pasca pandemi covid-19, pemandangan orang kerja dari kafe atau coffeeshop sudah dianggap normal. Orang bisa duduk berjam-jam di kafe sambil ngerjain sesuatu di depan laptopnya.
Kafe sekarang bukan cuma tempat nongkrong dan santai, tapi juga jadi area produktif. Kadang ada yang ekstra hemat dengan pesan satu-dua menu yang nggak habis-habis. Ada juga yang rada aware, pesan banyak makanan-minuman, plus ajak kawan buat nemenin dan ramein kafe.
Cuma, belakangan ada kebiasaan unik dari pekerja wfc yang menurut pengelola kafe, jatuhnya kebangetan.
Bayangin kamu lagi duduk santai, atau wfc sambil ngopi, eh ada orang datang mau wfc juga di meja sebelah. Dia bawa komputer desktop, lengkap sama monitor dan printer, jauh lebih proper dari perangkat di meja kasir kafe.
Kira-kira kamu kaget, nggak? Atau merasa aneh? Asal tahu aja, di Korsel, itu kejadian beneran.
Baru-baru ini, kafe-kafe di Korea Selatan jadi kayak zona perang, antara yang mau ngopi santai versus yang mau ‘ngantor’ gratis. Fenomena yang dikenal sebagai “cagongjok” (카공족) atau “kagongjok“, yang di bahasa Indonesia bisa disebut “suku belajar di kafe” ini udah jadi pemandangan sehari-hari di Seoul dan kota-kota besar Korea lainnya.
Tempat Nongkrong yang Jadi “Kantor Kedua”
Pemandangan kafe-kafe di Korea Selatan memang beda. Di mana-mana kamu bakal ketemu sama orang-orang yang duduk sendirian di meja berempat, asyik belajar atau kerja, dengan headphone di telinga. Mereka inilah yang disebut cagongjok, gabungan kata “ka” (kafe), “gong” (belajar), dan “jok” (suku).
Sebenarnya kamu juga bisa dengan mudah nemu pemandangan serupa di Indonesia. Kafe yang awalnya jadi tempat buat ngobrol dan bersosialisasi, kini sering banget dikunjungi mahasiswa buat belajar, atau karyawan yang kerja jarak jauh.
Tapi sekarang, tren ini sudah ada di level yang bikin banyak orang geleng-geleng kepala.
“You can just go and have a cup of coffee, work there. But people are taking it a little bit to the extreme nowadays,” kata Jo Elfving-Hwang, profesor emeritus budaya Korea di Curtin University, Australia, dalam wawancara dengan Fortune.
Nyeseknya, gaya wfc yang kebangetan itu bikin beberapa pengusaha FnB kelimpungan. Sejak Agustus 2025, Starbucks Korea menggebrak dengan melarang pengunjung kafe bawa komputer desktop, printer, power strip, dan peralatan kantor besar lainnya. Itu berlaku di semua cabang Starbucks di Korea Selatan yang jumlahnya mencapai 2.050 gerai.
Keputusan itu tentunya diambil karena banyak pelanggan yang udah kebablasan. Heran memang. Ada yang bawa printer portable, monitor tambahan, bahkan pakai partisi meja biar punya ‘ruang kerja pribadi’ di tengah kafe yang ramai.
Maksud Starbucks dengan kebijakan itu, buat menjaga nuansa kafe yang komunal, di tengah tren “cagong” yang semakin menguat.

Kenapa Sampai Ada Cagongjok?
Ada beberapa alasan kenapa fenomena cagongjok bisa booming di Korea. Pertama, kondisi rumah di kota besar kayak Seoul yang nggak ideal buat kerja. Banyak pekerja wfa tinggal di rumah atau apartemen yang lingkungannya sumpek dan bising, sehingga bikin susah fokus belajar atau kerja.
Fasilitas publik yang bisa dipakai buat ‘ngantor’ juga terbatas. Kalaupun ada, tarifnya mahal, nggak sebanding sama pendapatan mereka. Perpustakaan sering penuh atau beroperasi di jam-jam yang terbatas. Sementara kafe menawarkan WiFi gratis, AC, musik latar yang enak, dan akses mudah ke makanan-minuman.
Selain itu, kultur Korea dikenal punya tingkat kompetisi yang tinggi. Tekanan besar di ranah pendidikan dan kerjaan bikin orang nyari lingkungan yang bisa dukung produktivitas, termasuk kafe yang ngasih “kebebasan” tapi tetap terstruktur.
Cagongjok: Pisau Bermata Dua
Kalau dilihat positifnya, cagongjok jadi sumber pendapatan utama, apalagi di jam-jam kafe yang sepi. Mereka ngisi kafe waktu orang lain lagi kerja atau kuliah. Plus, mereka juga sering beli ulang makan-minum pas stay berjam-jam di sana. Beberapa kafe bahkan udah adaptasi dengan sedia kursi khusus, meja laptop, dan fasilitas lain yang menarik cagongjok.
Tapi negatifnya, sampai ada yang disebut “cafe villains“. Mereka adalah sebagian cagongjok yang perilakunya udah keterlaluan. Mereka bawa peralatan berlebihan, ninggalin meja kosong dalam waktu lama, ninggal tas biar nggak ada yang nempatin, atau malah nuntut keheningan dari pelanggan lain yang lagi ngobrol. Ada juga yang dicap “maling listrik”, seenaknya nge-charge berbagai gadget, malah pernah ada yang nge-charge skuter listrik.
Waktu break-even rata-rata buat kafe adalah 1 jam 42 menit per pelanggan, dan idealnya kurang dari 90 menit biar tetap dapat margin keuntungan yang sehat. Nah, kalau ada cagongjok yang duduk 4-5 jam cuma beli satu minuman, ya jelas bermasalah buat bisnis.
Makanya, seiring kontroversi yang nambah terus, banyak kafe mulai terapin aturan baru, kayak Starbucks tadi. Beberapa kafe ngasih batas waktu maksimal, atau minta pengunjung beli lagi setelah nongkrong 2-3jam. Ada juga yang bikin konsep study cafe, yang memang didesain buat kerja dan belajar dengan tarif per jam.
Di media sosial, diskusi soal cagongjok juga rame banget. Ada yang dukung kafe ramah-cagong, ada yang komplain soal perilaku kebablasan mereka, dan ada yang nyari solusi win-win buat semua pihak.
Tapi yang jelas, fenomena ini jadi refleksi dinamika budaya Korea Selatan yang kombinasi antara tekanan produktivitas tinggi dengan kebutuhan ruang pribadi yang belum bisa terakomodasi dengan baik. Meski ngasih keuntungan buat industri kafe, dia juga jadi tantangan ekonomi dan sosial.

