14 Tahun lalu, sebuah band kecil lahir di Jogja dengan ambisi besar, namanya Kultivasi. Terbentuknya dimaksudkan jadi sebuah eksperimen musikal yang ingin membongkar pakem, mengguncang batas, dan menembus festival avant-garde dengan setelan nyeleneh. Mereka membayangkan diri mereka dielu-elukan kritikus musik yang gemar memakai istilah seperti “sonic deconstruction” dan “cacophony of brilliance“.
Cuma ya gitu, kenyataannya nggak sesuai ekspektasi.
Real-nya, alih-alih jadi pionir free jazz dan musik eksperimental, mereka malah kembali ke rock, sesuatu yang justru ingin mereka tinggalkan. Tergoda oleh distorsi, power chord, dan pukulan snare 4/4.
“Eksperimen gagal, bro,” aku mereka. Dan daripada terus memaksakan sesuatu nggak bisa jalan, mereka memutuskan jujur, bikin album rock dengan segala kelugasan dan kegetirannya.
Maka lahirlah Cilik Tur Nggaya, album yang dirilis 15 Januari 2025. Rilisan yang kayaknya bakal jadi yang terakhir dari Kultivasi, atau mereka sendiri menyebutnya sebagai “Sebuah epilog bagi band yang tak pernah besar, tapi selalu merasa perlu berpose seperti rockstar.”
Dalam bahasa Jawa, Cilik Tur Nggaya berarti “kecil tapi kebanyakan gaya”. Judul ini sedikit banyak mewakili dan cocok menggambarkan perjalanan Kultivasi. Temanya unik, narasi kehidupan pria lajang dengan dating app. Yang memunculkan cerita-cerita penuh harap, kesialan, ilusi superioritas, sampai momen kesadaran akan kenyataan hidup yang terus berjalan meski match tak pernah berlanjut ke obrolan.
Cilik Tur Nggaya
Album ini berisi tujuh lagu, di antaranya “Rock In Love” yang digambarkan sebagai anthem bucin yang berisik.
“Kita buka dengan “Rock in Love”, sebuah anthem bucin yang tetap berisik—perpaduan energi rock klasik dengan keresahan anak muda yang masih percaya cinta. Ini adalah momen optimisme palsu, ketika kita yakin bahwa dunia penuh kemungkinan dan cinta bisa ditemukan hanya dengan satu swipe ke kanan,” tulis Kultivasi dalam keterangan resminya.
Lagu kedua dan ketiga, “Loreta” dan “Putri Duyung Tomboy” yang keduanya sama-sama bertema absurditas. Kalau “Loreta” tentang ilusi keindahan dunia maya yang absurd di kehidupan nyata. Maka “Putri Duyung Tomboy” mengungkap figur nyata atau fiksi yang unik, menarik, tapi sulit dijangkau.
“Cynthia” dan “Deborah” melanjutkan petualangan Cilik Tur Nggaya. Menceritakan tentang figur-figur yang masuk di hidup seseorang dengan harapan, tapi akhirnya menghilang dan hanya jadi kenangan. Diikuti lagu terakhir berjudul “Sambath”.
“Lalu, ada “Sambath”—satu-satunya lagu yang, menurut Kultivasi, benar-benar menerima realitas. Apakah ini fase berdamai dengan hidup? Atau justru titik balik menuju delusi berikutnya?” terang mereka.
Nomor pamungkas, “Kerja Lagi” mengungkap kenyataan yang tak bisa dihindari. Nggak peduli berapa kali swipe, pesan terkirim tanpa balasan, atau seberapa keras kita meyakinkan diri bahwa hari ini akan berbeda—pada akhirnya, Senin tetap datang.
“Pekerjaan tetap menunggu, hidup tetap harus berjalan, dan realita tetap lebih kejam dari ekspektasi,” jelas mereka.
Epilog
Demikian mereka mengakhiri perjalanan Kultivasi lewat album berkonten unik ini. Perjalanan musik yang menurut mereka sama dengan film indie murahan gagal laku keras, tapi tetap diputar terus di kepala sendiri. Pernah punya mimpi, pernah mencoba jadi lebih besar, tapi akhirnya kembali ke titik awal—cilik, kecil, minimal.
“Kami tentu tetap punya mimpi, untuk membuat sebuah genre baru. Setidaknya, kami pernah bermimpi jadi pelopor, tapi malah tertinggal. Tapi begini juga nggak apa-apa. Karena kalau ada satu hal yang bisa kami banggakan setelah 14 tahun, itu adalah konsistensi.”
Kini, perjalanan Kultivasi mungkin berakhir, atau justru baru dimulai sebagai legenda kecil yang akan diceritakan di tongkrongan warung kopi. “Band yang nyaris jadi revolusi, tapi nyatanya malah gagal menang ICEMA.”
“Terima kasih buat yang sudah ikut menyaksikan perjalanan kami dari tidak terkenal ke tetap tidak terkenal.” tutup Kultivasi.