The Jems, band hardcore asal Tangerang yang meledak dari tempat paling nggak terduga: sebuah warung kecil di gang sempit, yang biasa disebut anak-anak sekitar sebagai Warung Basmen. Dari tempat sederhana itu, lahirlah energi cadas penuh emosi dan keresahan masa muda.
The Jems bermula dari persahabatan Afrizal Aji Bayu (bass) dan Dito Raharjo (vokal) selepas lulus SMA. Di tengah riuhnya transisi menuju dewasa, keduanya sepakat membentuk band sebagai wadah meluapkan kejenuhan dan tekanan hidup sehari-hari.
Tak lama, Kesid Mukti (gitar) dan Anugrah Fikriansyah (drum) ikut menyusul dan dibaptis sebagai bagian dari formasi awal. Lahir sudah sekelompok pemuda pemarah dan sok tahu ini dalam satu nama: The Jems.
Bagi mereka, The Jems sudah seperti buku binder tempat menulis cerita hidup masing-masing personel, berbagi pengalaman unik layaknya tukar-menukar stiker Digimon langka saat kecil. Dari semangat itulah, album debut mereka, “Buy One Get War”, lahir. Membawa catatan keras kehidupan anak-anak 20-an yang sedang berusaha menang, meski dunia rasanya terus-menerus ingin menjatuhkan.
Alih-alih membawa narasi hardcore konvensional seperti politik atau kekerasan jalanan, “Buy One Get War” justru hadir dengan semangat melawan kekalahan. Album ini adalah perlawanan penuh gaya terhadap gengsi, pamor, lapar, sampai tuntutan jadi “dewasa” secara tiba-tiba. Di balik dentuman drum dan teriakan distorsi, ada pesan penuh optimisme bahwa kita semua bisa menang, bahkan saat hidup rasanya mengajak ribut setiap hari.
Secara musikal, The Jems tampil sok tahu—dalam artian terbaik. Mereka menjajal banyak referensi, dari Thirteen Songs-nya Fugazi hingga Champion yang membakar semangat. Semua itu dibungkus dalam aransemen yang eksplosif, nyeleneh, tapi tetap terasa dekat dan membumi.
Berikut potret kisah dalam tiap lagunya:
1. Fucked Up Got Zipped
Lagu pembuka ini jadi curahan hati Dito, vokalis, tentang rasa muak pada ilmu yang dikemas terlalu sempit dalam bangku kuliah. Ia lebih memilih menjelajah dunia selebar lima juta kilometer ketimbang menunduk membaca 300 halaman tentang satu topik. Dunia terlalu luas untuk dibatasi silabus.
2. Go Back To The Krü
Giliran Kesid, sang gitaris, yang bersuara. Lagu ini adalah selebrasi dari kebebasan usai kuliah. Di sini, Kesid merasa akhirnya bisa melakukan apapun tanpa perlu dasar teori atau tesis—dan ia menikmatinya sepenuh hati.
3. Sinatra Versi Plastik
Kembali ke Dito, yang kali ini menumpahkan kejenuhannya terhadap “abang-abangan” dengan cerita klise dan nasihat basi. Liriknya tajam, sok tahu, dan sinis: “kau yang terlalu mid-century, untuk kami yang sudah cyberpunk. Kau yang masih saja akustik, untuk kami yang sudah modular.”
4. Sial Besok Senin
Afrizal, sang bassist, menjadi pusat cerita. Lagu ini menceritakan rasa frustasinya karena tuduhan ngawur dari orang tua soal narkoba, hanya karena matanya sayu setelah semalaman mengerjakan tugas kuliah.
5. Buy One Get War
Judul track ini jadi semacam manifesto. Tentang laki-laki tanggung yang belum siap jadi pria, tapi dipaksa keadaan untuk jadi ksatria. Kayak kamikaze: pilihan cuma dua—berjuang sampai akhir, atau mati memalukan.
6. Mental Health
Dito mengisahkan masa kelam yang bahkan dirinya sendiri tak menyangka bakal dilewati. Dari mukul kepala pakai mic sampai meninju diri sendiri di panggung, semua jadi bagian dari fase itu. Tapi seperti lagu-lagu lainnya, ending-nya tetap: mereka menang.
7. Negative Conversation
Lagu ini adalah bentuk protes terhadap pengaruh lirik-lirik Ian Curtis (Joy Division) yang sempat bikin cara pikir Dito jadi kelam. The Jems melawan dengan versi mereka sendiri.
8. Panduan Hidup Tuan Mckaye
Track penutup ini adalah semacam pembersihan. Tentang usaha lepas dari belenggu ego, idealisme basi, dan ketergantungan yang mengikat. The Jems menggaungkan satu kalimat kunci: “Kami menang telak.”
Lewat “Buy One Get War”, The Jems ingin menyebar semangat menang. Menang atas depresi, kalah, dan keputusasaan. Setiap track adalah peluru optimisme. Setiap dentuman adalah pengingat bahwa hidup memang keras, tapi kamu nggak sendirian.

