Sound horeg aktivitas nyetel lagu remix dengan perangkat audio sound system supermasif yang menggelegar dan menghentak. Sejak pertama muncul sekitar tahun 2014 langsung banyak direspons.
Tapi, seiring waktu, yang awalnya jadi hiburan masyarakat, sekarang jadinya malah sering memicu konflik. Polusi suara, perkelahian antar warga, sampai debat kusir di media sosial, itu dampak negatif yang nggak bisa diabaikan. Wadah hiburan, tapi berakhir jadi kontroversi karena masalahnya rumit.
Sementara itu, di belahan Bumi lainnya ada Lollapalooza. Festival musik besar yang dari tahun 1991 terus berkembang jadi ruang aman buat party, berkreasi, bahkan aksi sosial. Sebenarnya sama-sama dentuman keras, tapi yang satu ini beda pendekatan. Sama-sama kancah hiburan yang bikin ramai, cuma yang ini berakhir damai.
Padahal, esensi keduanya mirip. Berangkat dari orang yang pengin dengar musik volume keras bareng-bareng. Bedanya, Lollapalooza dirancang ketat. Sedangkan sound horeg kesannya kayak kurang teratur atau mungkin dibiarkan sekenanya saja.
Lollapalooza punya panggung, jadwal, izin, manajemen suara, dan zona aman. Sementara sound horeg seringnya muncul tiba-tiba, di lapangan atau jalanan kampung, tanpa koordinasi jelas. Akhirnya, yang satu jadi perayaan, yang satunya lagi malah jadi masalah.
Aslinya bukan dentumannya yang jadi masalah. Tapi lebih ke cara memperlakukannya.
Sound horeg memang belum dikelola dengan layak. Selama ini pendekatannya lebih sering reaktif. Dilarang polisi atau pemda, difatwa haram oleh ulama, dibenci, atau dijadikan bahan debat.
Kayak nggak ada yang mau coba me-manage biar lebih proper. Padahal, buktinya kegiatan ini punya potensi besar buat ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Jadi, kan tinggal diarahkan?
Kenapa? Apa masalahnya ada di sound horeg itu sendiri? Pastinya bukan, kan?
Cuma butuh satu orang bernama Perry Farrell dari sekitar 2,7 juta penduduk Chicago yang inovatif menginisiasi Lollapalooza. Masa Jawa Timur yang jumlah penduduknya 40 juta lebih, dengan ratusan pelaku sound horeg, nggak bisa kayak gitu?
Memangnya Lollapalooza itu Kayak Gimana?
Inti Lollapalooza itu konsep festival musik, tapi dikemas dengan cara menata noise jadi pengalaman yang positif. Sejak 1991, festival ini dirintis oleh Perry Farrell buat tur perpisahan Jane’s Addiction. Dari pertama idenya sudah jelas, musik aneka genre di padang rumput terbuka. Merayakan kreativitas sambil eksperimen bebas, ruang alternatif yang minim tekanan komersial.
Awalnya Lollapalooza digelar tur (1991–1997). Terus sempat mandeg dua kali sebelum akhirnya jadi festival tetap di Grant Park, Chicago mulai tahun 2005. Sekarang, festival tahunan ini berdurasi empat hari, penuh musik dari 150 artis lebih, terbagi dalam delapan panggung, dengan pengunjung sampai 200.000 di setiap edisi
Di edisi terakhir, 31 Juli- 3 Agustus 2025 kemarin, ada delapan panggung yang dipisah-pisah jadi main stage, side stage, dance tent, Kidzapalooza. Dibagi berdasarkan genre, popularitas artis, dan intensitas suara. Musisi diatur berjarak biar minim sound bleed (audio bocor ke sound system lain). Sementara Kidzapalooza adalah area khusus yang spesifik ramah keluarga, suasananya lebih tenang.
Di event Lollapalooza, konsernya kayak festival biasa. Tapi selain musik, ada juga giat aktivisme sosial-politik. Dari instalasi seni, pameran non-profit, serta diskusi isu-isu seputar lingkungan dan HAM. Semua pengunjung bebas ikut, terbuka buat berbagai kalangan dan melibatkan komunitas.
Belakangan, Lollapalooza juga pakai sistem hybrid battery di panggung utama buat mengurangi emisi. Klaimnya sih, sampai 67 % dibanding waktu mereka pakai diesel standard. Inisiatif ramah lingkungan itu didukung sama program kayak Rock & Recycle dan valet sepeda gratis. Soalnya acara ini besar, jadi emisi karbonnya juga besar.
Di luar venue, pengelola festival rutin berdonasi, misalnya buat pendidikan seni di sekolah-sekolah Chicago, bantu pembangunan infrastruktur umum di Grant Park. Ada juga pelatihan kerja buat mereka yang tertarik terjun ke industri musik. Pun ngasih kesempatan buat para seniman muda pamer karya mereka pas festival berlangsung.
Solusi Sound Horeg Niru Lollapalooza
Bayangin, daripada tiba-tiba nongol iring-iringan di tengah kampung dan bikin ribut, sound horeg dikemas jadi event terjadwal. Ada venue khusus, jam operasional jelas, dan sistem izin bertingkat.
Misalnya, cuma boleh pas weekend, dari jam 15.00 sampai 22.00, dengan break setiap dua jam. Di hari kerja? Nggak ada acara. Fokus ke maintenance dan persiapan.
Venue-nya juga bisa diseleksi berdasarkan zonasi. Prioritas utamanya di area terpencil yang jauh dari pemukiman padat. Misal harus di area semi-urban, minimal 2-3 km dari sekolah atau rumah sakit, atau 1 km dari pemukiman. Bikin di wilayah urban pun masih bisa, asal indoor, pakai peredam, dan patuh ambang batas suara maksimal. Kalau perlu, sound system diatur gimana biar bisa ngerem suara, supaya nggak berlebihan.
Indonesia aslinya sudah punya aturan soal batas kebisingan. Ada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 yang menetapkan ambang batas kebisingan berdasarkan zonasi. Kalau di pemukiman/perumahan, rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah batasnya 55 desibel. Sementara di wilayah perdagangan 70dBA, perkantoran 65dBA, area terbuka hijau 50dBA, wilayah industri 70dBA, pemerintahan/fasilitas umum 60dBA, dan tempat rekreasi 70dBA.
Bukan cuma zonanya yang diatur, tapi juga durasi dan intensitas suaranya. Menurut regulasi Permenakertrans No. 13 Tahun 2011, tingkat kebisingan maksimal yang masih aman untuk paparan 8 jam adalah 85 dBA. Di atas itu, durasinya harus makin pendek. 88 Sampai 90dBA masih aman untuk durasi 2 jam. Kalau sudah di atas 95dBA, waktu maksimal yang diperbolehkan cuma 15 menit, itupun maksimal cuma sampai 100dBA.
Nah, kalau melihat laporan berbagai media, sound horeg bisa mencapai 120-135 desibel. Durasi nyetelnya juga bisa lebih dari 8 jam. Jadi, silakan disimpulkan sendiri itu melanggar aturan atau nggak.
Jadi Gimana?
Ya, nggak gimana-gimana, sih. Tapi kayaknya semua orang perlu benar-benar belajar manajemen. Persoalan sound horeg, volume kencangnya masih bisa di-manage biar nggak dampak negatifnya bisa seminimal mungkin, bahkan nol. Caranya? Ya, salah satunya bisa pendekatan ala Lollapalooza tadi.
Tapi, itu nggak mutlak. Lollapalooza cuma salah satu contoh. Dan masih banyak lagi model pendekatan lain yang mungkin lebih sempurna. Soalnya Lollapalooza juga bukan festival yang tanpa cela. Masih ada banyak masalah di balik klaim penyelenggara soal presatasi inovatif mereka. Dari sampah, kebisingan, sampai penutupan jalan yang mengganggu warga. Meski memang, sejauh ini belum ada laporan soal atap rumah rusak gara-gara gelegar volumenya.
Kalau misalnya Lollapalooza terasa terlalu ndakik, kita punya banyak contoh festival lokal yang sukses. Ada Jazz Gunung yang harmonis dengan alam, Ngayogjazz yang tumbuh dari desa, atau Synchronize Fest yang rapi, inklusif, dan minim gesekan. Lagian, bukannya ada event sound horeg yang jauh dari pemukiman? Semua contoh itu jadi bukti bahwa hiburan massal cuma butuh pengelolaan yang jelas, bukan dibiarkan liar.
Lollapalooza bisa lahir, cuma gara-gara inovasi satu dari sekitar 2,7 juta penduduk Chicago. Masa Jawa Timur yang jumlah penduduknya 40 juta lebih, nggak bisa kayak gitu?