Lagi rame soal royalti musik. Kalau sebelumnya konflik antara pencipta lagu dan musisi, sekarang ada tambahan kontestan. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang ngurusi royalti musik di Indonesia, bikin isu ini semakin rame.
Gimana nggak, mereka mau negakin aturan dengan nuntut ruang-ruang komersil untuk menuhin kewajiban bayar royalti, yang otomatis bikin pemilik usaha mencak-mencak.
Awalnya rame gara-gara kasus pelanggaran hak cipta yang nyasar Mie Gacoan cabang Bali. Manajemen mereka dituntut bayar royalti karena suka muter musik di resto. Sudah bertahun-tahun nggak tahu menahu soal itu, tagihannya jadi bengkak sampai miliaran.
Kasus yang sudah muncul sejak tahun 2022 itu pun heboh, bikin petinggi Gacoan Bali jadi tersangka. Regulasi yang sebenarnya sudah ada dari dulu tanpa sosialisasi yang mumpuni, akhirnya makan korban juga.
Soal royalti lagu ini diatur di Undang Undang (UU) Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021. Di aturan tersebut, pihak yang mau pakai lagu buat kebutuhan komersial harusnya memang minta izin dulu ke pencipta atau pemilik hak cipta.
Nah, Gacoan muter lagu biar pengunjung lebih vibing dengan suasana resto. Artinya, lagu yang disetel di situ sifatnya layanan yang dukung aktivitas komersial, jadi wajib bayar royalti. Kalau bisnisnya kayak Mie Gacoan, biayanya Rp120 ribu per kursi setahun. Dari Rp120 ribu itu dibagi dua, separuh buat pencipta, setengahnya lagi buat pemilik hak terkait.
Sedangkan Mie Gacoan Bali ini sudah dituntut bayar sejak 2022. Kalau di Bali ada 20 resto Gacoan dan masing-masing punya 100 kursi, kamu bisa bayangin tagihannya berapa dalam jangka waktu 3 tahun.
Efeknya Nyebar
Kasus itu sendiri berakhir damai, Gacoan rela keluar duit Rp2,2 miliar buat menuhin kewajiban mereka. Tapi, warga Indonesia terlanjur kesulut. Banyak pemilik usaha, terutama kuliner yang besar-besar, kuatir ikut kena pelanggaran hak cipta, akhirnya stop muter musik di gerai mereka.
View this post on Instagram
Ada yang milih nyetel white noise, suara kicau burung, bahkan belajar Suno buat bikin lagu sendiri, biar aman dari tagihan LMKN. Ya, nggak ada pengusaha yang mau rugi lah. Tiba-tiba harus bayar pengeluaran non-esensial yang jumlahnya bisa tinggi nggak karuan.
Sementara itu, warganet juga ikut gerah, bikin dunia maya makin berisik dengan komen-komen mereka. Banyak yang ambil sikap pro dan kontra, nggak sedikit juga yang berusaha ngasih solusi. Kalau Ahmad Dhani ngasih solusi dengan gratisin lagu Dewa19 feat. Virzha & Ello buat resto yang punya banyak cabang, solusi dari netizen agak membagongkan.
Khas warga +62 yang kreatif, gabut, sekaligus iseng. Alih-alih ikut pusing mikirin regulasi, banyak netizen justru melontarkan ide-ide absurd sebagai solusi buat pemilik usaha.
Absurd, Tapi Masih Mungkin Dilakukan
Tapi meskipun absurd, masih ada kok yang masuk akal, masih bisa dilakukan meskipun nyeleneh. Contohnya:
“Pergi ke air terjun… rekam sendiri… puter sendiri… lebih syahdu.”
Ini absurd, tapi teknisnya memungkinkan. Cuma, masalahnya nggak semua brand konsepnya alami dan natural. Juga nggak semua pengunjung mau, misalnya makan penyetan ayam pedas, sambil ditemani suara debit air deras.
“Pakai headset aja masing-masing, aman.”
Kayak warung internet alias warnet yang populer tahun 2000-an.
“Nyanyikan lagu wajib aja, nggak kena royalti.”
Benar sekali. Lagu wajib kayak “Indonesia Raya” termasuk domain publik, nggak ada hak ciptanya. Tapi, kalau suara air terjun dan kicau burung saja nggak cocok buat semua bisnis, apalagi lagu “Maju Tak Gentar”.
“Putar suara gemericik air atau kran kamar mandi dikasih mic.”
Ini alternatif yang lebih praktis daripada ngerekam suara air terjun. Nggak perlu repot pergi jauh-jauh ke kabupaten. Cuma, bisa bikin pelanggan bisa salah paham, ngira kamar mandinya bermasalah.
“Gunakan lagu AI dari YouTube, belum ada undang-undangnya.”
Untuk sekarang, memang belum ada regulasi spesifik yang ngatur lagu AI. Tapi, belum tentu begitu seterusnya.
Serius, Padahal Gagal Paham
Kalau yang itu tadi absurd, ini malah lebih nyeleneh lagi. Sudah sok serius, ternyata salah sasaran.
“Ayo semua gak usah lagi denger musik di konser, biar semua penyanyi dan pencipta lagu modiar semua… cari musik bebas copyright aja.”
Datang ke konser butuhnya memang buat nonton dan denger musisi main musik di panggung, kok nggak boleh didengerin? Jadi, maksudnya cuma nonton aja, sambil pakai earplug? Pasti nggak gitu, kan?
Kalaupun mau boikot konser atau musisi gegara royalti, apa mereka nggak berhak dapat kompensasi dari hasil karyanya? Pasti nggak gitu juga, kan? Jangan-jangan komentator ini gagal paham. Dikira masalah royalti ini karena musisi rewel, padahal lebih ke mekanisme pemungutan oleh LMKN.
“Nanti biar penciptanya sendiri yang nyanyi, nanti kalau udah sepi yang pakai lagunya rugi sendiri.”
Kayaknya nggak ada musisi yang maksa tempat bisnis buat nyetel lagu mereka diputar, kecuali kenal baik sama pemiliknya. Royalti juga bukan buat promosi lagu biar terkenal, tapi melindungi hak komersial. Lagian, lagi-lagi yang mungut royalti bukan musisinya, tapi LMKN.
“Suruh pencipta lagu bikin channel YouTube dan albumnya di situ, biar UMKM mutar dari sana.”
Salah kaprah. YouTube nggak pernah ngasih izin penggunaan buat bisnis offline, orang sini aja yang terlanjur kebiasaan. Kalaupun di-upload di situ, pencipta lagu tetap berhak dapat royalti kalau nyetelnya di ruang komersial.
“Pencipta lagu sudah menikmati hak komersialnya saat terkenal, masa mau seumur hidup apalagi jadi warisan, tidak logis.”
UU Hak Cipta ngasih perlindungan seumur hidup, kurang lebih 70 tahun setelah pencipta wafat. Tujuannya melindungi ahli waris dan investasi kreator, bukan urusan rakus.
“Pencipta lagu/penyanyi harusnya memberi ke cafe karena mereka justru mempromosikan lagu-lagu itu.”
Logikanya kebalik, kafe nyetel lagu buat narik pelanggan, jadi wajar kalau disuruh bayar. Lagian, memangnya ada kafe yang mau muter lagu musisi nggak terkenal? Khayal!

