• About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten
Friday, December 19, 2025
hipkultur.com
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
hipkultur.com
No Result
View All Result
Home Isu

Rekomendasi Tanggal Lain buat Hari Kebudayaan, Daripada Ribet & Drama

Hipmin by Hipmin
19 July 2025
in Isu
0
Menteri Kebudayaan Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon

0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Nggak suka drama? Sama. Tapi sayangnya drama penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional ini sudah terlanjur viral dan bikin netizen geleng-geleng kepala. Bukan karena idenya jelek, tapi karena timing-nya yang… ya gitu deh.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon baru bikin pengumuman soal penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Itu lewat Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2025. Tapi ya begitulah, pas ngecek kalender, ternyata tanggal itu juga hari lahir presiden yang sekarang, ke-8.

Kebetulan? Mungkin. Apa kebetulannya disengaja? Bisa nggak.

Apa pun jawabannya, yang jelas warganet sudah terlanjur ribut.

“Jadi saya sendiri belum pernah membicarakan dengan beliau. Karena memang ini enggak ada kaitannya dengan beliau gitu ya,” kata Fadli Zon waktu dikonfirmasi soal kebetulan ini pas diwawancara Liputan6.

Katanya sih murni karena 17 Oktober itu tanggal pengesahan PP Nomor 66/1951 tentang Lambang Negara yang mencantumkan Bhinneka Tunggal Ika.

Lagian kenapa sih harus ada hari kebudayaan? Lagian juga nggak sekalian jadi hari libur nasional.

Alasan Penetapan Hari Kebudayaan

Menurut Fadli Zon, “17 Oktober adalah momen penting dalam perjalanan identitas negara kita. Ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang masa depan kebudayaan Indonesia yang harus dirawat oleh seluruh anak bangsa,” kata dia waktu announcing penetapan ini.

Idenya bagus banget sebenernya. Indonesia kan punya ribuan budaya dari Sabang sampai Merauke. Cuma ya, pemilihan tanggalnya aja yang bikin orang pada bingung. Apalagi kalau sampe ada yang ngomongin “cocoklogi” segala.

Menurut penjelasan resmi, tanggal ini merujuk pada terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951. Peraturan yang menetapkan Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

“Tanggal 17 Oktober adalah momen semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian tak terpisahkan dengan lambang negara, yakni Burung Garuda. Itu puncak pengakuan terhadap keragaman budaya bangsa Indonesia,” jelas Kepala PCO (Presidential Communication Office) Hasan Nasbi.

Tapi banyak yang nanya, kenapa harus pakai PP 1951 segala? Bukannya ada momen kebudayaan yang lebih eksplisit dan bersejarah?

Penetapan Hari Kebudayaan Nasional ini sebenarnya bagian dari upaya pemerintah yang lebih besar buat “meluruskan” narasi sejarah Indonesia. Buku sejarah nasional Indonesia sudah lama nggak diperbarui. Terakhir kali pemerintah menulis ulang sejarah dilakukan 25 tahun lalu.

“Penulisan ulang sejarah bukan lagi pilihan, tapi keharusan,” tegas Fadli Zon.

Proyek ambisius ini pakai anggaran sebesar Rp9 miliar. Targetnya bisa launching menjelang 17 Agustus 2025, jadi bagian dari perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia

Yang bikin menarik, penulisan ulang sejarah bertujuan memperbarui temuan-temuan yang ada. “Jadi sejarah Indonesia itu dimulai pada abad keempat karena di situ ada tulisan. Ini para penulis kita menganggap kita dari zaman 1,8 juta tahun yang lalu, sudah ada sejarah,” jelas Fadli.

 

Kontroversi Revisi Sejarah Nasional

Tapi, ini proyek juga nggak nirdrama. Banyak sejarawan, akademisi, sampai jurnalis senior yang angkat suarai. Soalnya, agak bahaya kalau nggak dilakukan secara hati-hati. Masih ingat sama quote, “Sejarah ditulis oleh para pemenang”?

Nah, takutnya gitu.

Wartawan senior Desi Anwar pernah bilang, “Siapa yang menulis sejarah, dia yang punya kuasa.” Aktivis HAM Usman Hamid menilai ada potensi manipulasi sejarah dan penghilangan tokoh penting demi kepentingan kekuasaan. Sedangkan tim seperti Mutiara Ika Pratiwi dan Albert Rumbekwan menyebut penulisan tersebut kurang transparan, mengabaikan peristiwa HAM, perempuan, dan perspektif masyarakat Papua.

Bayangkan kalau narasi sejarah kita mulai dipelintir buat kepentingan segelintir orang.

Padahal, Indonesia ini negaranya besar, kompleks, dan kaya cerita. Nggak bisa asal hapus, tambal, atau ganti bab sejarah seenaknya demi biar sinkrong sama politik masa kini. Apalagi kalau akhirnya malah mempersempit makna “kebudayaan” jadi cuma sebatas simbol, bukan praktik hidup masyarakat.

Apalagi, alokasi anggaran buat proyek ini juga cukup besar, sekitar Rp 9 miliar buat menghasilkan 11 jilid buku. Targetnya, rampung sebelum tanggal HUT ke‑80 RI. 9 Miliar itu sebagian dipakai buat 113 penulis, 20 editor jilid, dan 3 editor umum. Mereka dari kalangan sejarawan, akademisi, arkeolog, geografi, serta humaniora lainnya.

Belum juga separuh jalan, sudah ada editor yang mundur. Harry Truman Simanjuntak, arkeolog senior dan terkemuka dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Namanya akademisi, alasannya karena keberatan di istilah “sejarah awal” yang dipakai buat gantiin “pra-sejarah”. Dia juga khawatir ada bias soal masa kepemimpinan presiden ke-7 yang masih baru. Juga independensi tim yang dia nilai kurang terjamin.

Isu terakhir yang sempat bikin heboh, ya soal adanya rencana revisi narasi kerusuhan Mei 1998. Bahkan yang direvisi khusus soal “pemerkosaan massal”, yang menurut Fadli Zon agak meragukan karena bukti belum lengkap. Padahal, Tim Gabungan Fakta sudah lama mencatat ada 85 insiden kekerasan seksual. Termasuk 52 kasus pemerkosaan dengan korban terutama perempuan Tionghoa.

Tanggal Alternatif yang Lebih Aman

Lihat ambisi besar pemerintah nulis ulang sejarah dan menetapkan hari budaya, berarti ini kan proyek yang nggak main-main. Tapi, kok, kenapa nggak sekalian pilih tanggal yang simbolnya kuat dan nggak multitafsir? Masih ada 364 tanggal lain dalam setahun yang bisa jadi alternatif, yang enggak “terkait” apa pun selain budaya itu sendiri. Itu sih kalau memang tujuannya merayakan keragaman budaya dan memperkuat identitas bangsa.

Tapi yes, oke. Kita nggak mau ikut-ikutan ribet. Sebagai warga negara yang baik, kita cuma bisa bersuara. Salah satunya ngasih masukan alternatif tanggal yang mungkin lebih “aman”, relevan, sekaligus bebas kontroversi.

5 Juli

Ini bukan tanggal random, kok. Pada tanggal 5 sampai 7 Juli 1918 dulu, kaum terpelajar boemipoetra ngumpul di Surakarta buat ngobrol serius soal kebudayaan. Awalnya memang dipaksa ‘cuma’ jadi Kongres Bahasa Jawa oleh pemerintah kolonial. Tapi praktiknya, anak-anak Boedi Oetomo malah bahas isu-isu strategis terkait pelestarian budaya Jawa dan perannya buat kebangkitan nasional.

20 Agustus

Kalau mau yang lebih nendang dan betul-betul punya akar sejarah budaya nasional, tanggal 20 Agustus 1948 layak banget dilirik. Soalnya pada tanggal inilah Kongres Kebudayaan Indonesia pertama setelah kemerdekaan digelar di Magelang. Yes, ini sudah bukan sekadar “bahas budaya lokal” ala kolonial, tapi udah full konteks Indonesia merdeka, bahas serius soal arah kebudayaan nasional.

15 Desember

Tahu nggak kalau tanggal 14 Desember itu Hari Sejarah Nasional? Nah, sejarah itu kan nggak bisa dipisahin dari kebudayaan, jadi bisa dirangkai, dong? Jadi dua peringatan sekaligus dalam satu momen. Sehari refleksi masa lalu, besoknya perayaan budaya.
Kayak drama dua babak, babak pertama penuh masalah, yang kedua bikin bersyukur.

Drama penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional ini sebenernya nggak perlu ribet-ribet amat. Yang penting, pemerintah konsisten dalam upaya melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Bukan cuma kayak yang dibilang seniman-budayawan Butet Kertarajasa ke wartawan Tempo, “Sama sekali itu tidak ada urgensinya, kecuali menjadi objek untuk sarana menjilat. Itu saja,” Senin, 14 Juli 2025 kemarin.

Tags: budayalagiramePemerintahpolitiksejarah
Previous Post

Iklan Digital yang Bikin Risih Disulap Jadi Karya Seni di Pameran “Imposter”

Next Post

Single: “Left Behind” – Sisi Lain Post-Punk dari Pillhs Castle

Next Post
PILLHS CASTLE

Single: “Left Behind” – Sisi Lain Post-Punk dari Pillhs Castle

Please login to join discussion

Daftar Putar

Recent Comments

  • Bachelor of Physics Engineering Telkom University on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • Ani on Simak Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli Berikut Ini
  • About Us
  • Beranda
  • Indeks
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Konten

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.