Taylor Swift sudah lebih dari dua dekade malang melintang di industri musik. Jelas, ada perubahan yang kerasa banget dari dia, baik musik maupun penampilannya. Kalau dulu terkesan cupu, sekarang sudah lebih matang dan glamor. Kalau dulunya masih country, sekarang lebih pas disebut ikon popstar dunia.
Saking banyak banget perubahannya, sampai sempet bikin bertanya-tanya, “Ini orang yang sama nggak, sih?” Nggak heran, soalnya dari waktu ke waktu, style Tay-Tay berubah lebih cepat daripada mood timeline Twitter. Coba deh liat perjalanan Taylor. Setiap album = ganti era = ganti style = ganti persona. Orang lain cuma bisa melongo sambil nunggu kejutan selanjutnya.
Era Taylor Swift (2006–2008): Gadis Desa Polos
Waktu kita masih sibuk main Friendster dan kesengsem sama Rihanna, Taylor Swift muncul dengan image gadis desa yang innocent, cupu, belum terkontaminasi. Lagu-lagunya masih kental country, dengan lirik yang kebanyakan soal persahabatan, cinta, dan sekali-kali perasaan terasing
Rambutnya pirang keriting, pakai sepatu sepatu bot koboy, dan sundress. Make up-nya minimal banget, cuma eyeliner tipis sama lip gloss pink. Style-nya simpel tapi memorable, kelihatan kayak baru keluar dari cerita dongeng.
Era Fearless (2008-2010): Mulai Naik Kelas
Dari dongeng ala Wild Wild West ke Disneyland, era ini Swift berubah dari gadis desa jadi princess country-pop. Lagunya sudah crossover antara country dan pop, mengangkat tema-tema yang familiar kayak cinta dan masa remaja.
Gayanya juga berubah dari koboy ke gaun pesta, korest, warna-warna emas-perak, tapi masih setia sama sepatu bot, meski sering juga kelihatan pakai high heels.. Era ini adalah permulaan dia dikenal dengan trademark-nya yang selalu punya identitas visual kuat di setiap album.
Era Speak Now (2010-2012): Drama Dimulai
Di era ini Taylor mulai nunjukin sisi yang lebih dewasa. Album yang full ditulis sendiri dari A sampai Z ini nya tentang masa pertumbuhannya sebagai selebritas. Lirik-liriknya lebih reflektif, ngomongin peluang yang terlewat dan hubungan toxic.
Yang paling ikonik dari era ini adalah munculnya lipstik merah yang jadi signature look dia sampai sekarang. Sementara outfit-nya masih putri dongeng dengan sentuhan purple dan kilauan. Cuma, tapi sudah kelihatan lebih dewasa dan sophisticated kalau lagi jalan di red carpet.
Era Red (2012-2014): Transformasi Ikonik
Siapa yang bisa lupa sama era Red? Taylor bikin gaya pakaian ibu-ibu tahun ’50-an jadi trendy lagi. Dengan potongan bob sebahu, poni lurus yang ikonik, fedora hitam, dan celana high-waisted shorts. Palet warna merah-hitam-putih jadi dominan, dan ini jadi salah satu era paling ikonik.
Era ini juga penanda keras bahwa Swift sudah benar-benar lepas dari desa alias country dan full nge-blend dengan kultur pop. Pindah ke New York, ngikut gaya urban dan sophisticated. Musiknya juga sudah mulai rumit, terutama soal eksplorasi temanya.
Era 1989 (2014-2016): Pop Star Sejati
Lepas dari country dan embrace pop culture, sekarang dia sudah jadi pop star sejati. Gayanya jadi high-fashion Manhattan dengan bob pendek berponi samping, crop tops, rok A-line, dan warna-warna bold kayak biru kobalt sama hijau neon.
Era ini Taylor sudah fix jadi ikon pop global. Designer kayak Oscar de la Renta dan Versace sudah jadi langganannya. Setiap red carpet appearance-nya langsung jadi trending topic. Girl udah level up jadi superstar internasional yang style-nya dicontek kemana-mana. Lagunya? Juga mendominasi chart di mana-mana.
Era Reputation (2017-2018): Plot Twist
Ya, setelah bertahun-tahun jadi cewek manis-baik kesayangan semua orang, di era ini Taylor memutuskan untuk mengangkat sisi gelapnya. Semua yang tadinya cerah ala putri dongeng, berubah jadi gelap. Hoodie, bot tentara, celana kargo, camouflage, sequin hitam, motif ular, dan aksesori serpentine, seolah mau nunjukin sisi rebel-nya.
Era ini lahir dari respons atas judgemental-nya publik dan drama media yang dihadapi Taylor. Musiknya yang pop dibungkus dengan synth yang kental, jadi electropop yang catchy. Sementara liriknya yang vulnerable bikin lagu-lagunya terdengar lebih edgy.
Era Lover (2019): Kepompong Jadi Kupu-Kupu
Setelah gelap gulita Reputation, Taylor balik lagi ke warna-warni di era Lover. Synth-pop yang playful, eksplor berbagai bentuk kisah asmara, bahkan senggol-senggol politik. Yang paling penting, ini album pertama yang jadi milik dia sepenuhnya, sehabis drama kepemilikan hak master rekaman.
Style-nya juga berubah lagi, kali ini jadi pastel dan dreamy dengan busana tie-dye, aksesoris sparkly, dan nuansa permen warna-warni. Ini kayak dia berubah dari pertapaan kepompong jadi kupu-kupu pelangi. Energinya jadi happy banget, mungkin ekspresi kebebasan dari drama yang menimpa sebelumnya.
Era Folklore & Evermore (2020): Low-Key Khas Pandemi
Masuk era pandemi, Taylor Swift juga ikutan introspektif. Dua album indie-folk ini cukup mengejutkan dengan piano lembut, storytelling, dan lirik puitis tentang cerita sad-ending.
Di era ini penampilannya jadi lebih membumi alias cottagecore. Cirinya natural, low-key, dan earthy, pakai gaun panjang bahan ringan, warna-warna netral, riasan minimal dengan efek embun. Cardigan jadi ikon era ini, dengan lagu berjudul sama yang merchandise-nya sold out dalam hitungan menit.
Era Midnights (2022-2023): Berubah Total
Lepas lockdown, Taylor balik ke panggung dengan style futuristik tapi retro. Rambut panjang dengan poni kelambu (curtain bangs), gaun, jumpsuit, dan mantel bulu sintetis. Tone warna yang dipakai seputar midnight blue, lavender, dan silver.
Di era ini, Taylor memulai Eras Tour yang fenomenal itu. Konser musik yang sekaligus jadi ajang nampilin semua gaya fashion-nya dalam satu waktu. Sementara itu, musiknya balik ke synth-pop yang kerasa sentuhan ’70-annya. Tapi dengan tema-tema gelap, kayak self-hatred dan revenge di tengah malam-malam insomnia.
Era The Tortured Poets Department (2024): Matang & Berkelas
Era TTPD nunjukin sisi Taylor yang jauh lebih intelektual dan puitis. Palet warnanya cenderung monokrom (hitam, putih, abu-abu), dengan outfit yang lebih halus, gaun transparan, blazer rapi, sampai potongan busana yang memberi kesan melankolis sekaligus sophisticated. Kalau di era Speak Now teatrikalnya masih youthful dan dreamy, di sini jadi lebih dewasa, matang, dan berkelas.
Secara musikal, era ini lebih banyak sedihnya, semacam catatan pengakuan tentang fase-fase pasca putus cinta. Musiknya terdengar kalem tapi tetap menghantam emosi, apalagi dengan kolaborasinya sama Post Malone dan Florence And The Machine yang bikin lebih hidup.
Era The Life of a Showgirl (2025): Vegas Baby!
Dan di tahun 2025, waktu nge-spill The Life of a Showgirl, Taylor Swift sekaligus bikin pengumuman kalau dia sudah masuk era baru yang beda lagi. Kalau dulu dikenal sebagai cowgirl polos di awal karier, sekarang Taylor tampil total sebagai showgirl ala Las Vegas dengan palet warna oranye mencolok dan busana penuh kristal berkilau.
Album cover-nya sendiri sudah jadi gambaran berani, silver bra top rancangan AREA yang super menonjol. Sementara di lapangan, penampilannya belakangan nggak kalah mencuri perhatian. Misalnya waktu pakai minidress merah custom dari Vivienne Westwood lengkap dengan beaded garter (pita kaki). Tampilan glamor yang lebih personal.
Era showgirl ini kayak jadi yang paling puncak dari semua persona Taylor selama bertahun-tahun. Dari gadis country polos, putri pop, rebel gelap, hingga akademia, semuanya berujung di sosok showgirl Vegas yang penuh percaya diri sekaligus sensual.
Menariknya, vibe “Vegas” yang dia tampilkan bukan soal sensual atau mewah-mewahan. Ini kayaknya lebih ke eksplorasi sisi teatrikal dirinya yang dulu mungkin masih nyari bentuk, tapi sekarang sudah matang beneran. Akhirnya Taylor tahu persis siapa dia dan apa yang mau dia tunjukin.

