oleh: Siti Kholifah
Pernah nggak sih kamu ketemu orang yang baru nongol aja udah kelihatan vibes-nya? Padahal ngobrol aja belum, cuma tatap-tatapan sekilas. Tapi dari gayanya aja kita bisa langsung nebak dia tipe orang yang kaya gimana. Ya, di situlah kerennya fashion, bisa ngomong tanpa suara.
Banyak orang yang nggak main-main soal penampilan. Entah itu mereka memang mampu bergaya, atau sekedar ngasih makan ego dan gengsi sampai rela kelaparan. Kalau mereka emang mampu, sih, nggak masalah. Tapi gimana kalau orang yang punya uang pas-pasan juga ngotot ingin tampil keren dan modis? Bahkan rela ngorbanin kebutuhan pokok hanya demi sebuah fashion.
Nggak masuk akal kan? Padahal makan itu prioritas utama dalam hidup. Tapi buat mereka, mungkin juga beberapa dari kita, menganggap fashion itu bukan hanya kulit luar, tapi juga cerminan jiwa. Ada temenmu yang begini nggak?
Nah, by the way, ngomongin soal rela nggak makan demi fashion, ada nih satu komunitas unik yang memang hidup dengan prinsip ini. Mereka nggak peduli dompet lagi tipis, yang penting penampilan harus tetap rapi, nyentrik, berkelas, dan pastinya modis. Komunitas ini bernama La Sape yang ada di Kongo.
Asal Usul Komunitas La Sape
La Sape adalah singkatan dari “Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes,” yang artinya masyarakat pembuat suasana dan orang elegan. Komunitas ini mayoritas berada di Kinshasa dan Brazzaville, Kongo. Anggotanya dikenal dengan gaya hidup mereka yang mengutamakan penampilan modis meskipun kondisi ekonomi mereka jauh dari ideal. Buat mereka, elegan bukan cuma soal baju mahal, tapi juga sikap, cara jalan, bahkan cara ngobrol. Pokoknya harus berkelas dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Mungkin kamu mikir, emang masyarakat Kongo dari dulu udah hobi dandan heboh kaya gitu?. Etss, nggak dong! Gaya nyentrik La Sape ini ternyata punya akar sejarah yang dalam banget dan nggak lepas dari sejarah kelam kolonialisme.
Semuanya bermula di awal abad ke-20, saat Kongo masih dijajah Belgia dan Prancis. Waktu itu, banyak masyarakat Kongo yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk orang Eropa, atau yang biasanya kita sebut sebagai buruh. Mereka sering mendapatkan pakaian bekas dari majikannya.
Tapi kerennya, di luar jam kerja, mereka mulai mengekspresikan diri dengan bebas, yaitu mereka mulai pakai jas warna-warni, sepatu kinclong, topi keren, sampai aksesoris lain yang juga nggak kalah unik.
Ternyata mereka kaya gini tuh nggak sekedar biar kelihatan modis, tapi jadi bentuk sindiran halus ke penjajah. Kayak secara nggak langsung ngomong, “Lo pikir lo doang yang bisa tampil berkelas?”
Salah satu pelopor gerakan ini adalah Andre Grenard Matsoua pada tahun 1920-an. Waktu itu, dia pulang kampung dari Paris dengan outfit ala bangsawan Eropa. Nah, gaya ini tuh nyantol banget di masyarakat Kongo dan langsung menjadi inspirasi.
Tapi ternyata, La Sape baru mulai meledak ketika masuk era 1970-an gara-gara Papa Wemba, penyanyi rumba legendaris yang berasal dari Kongo juga. Papa Wemba ini terinspirasi dari orang tuanya yang selalu tampil rapi kemana pun pada tahun 1960-an. Akhirnya dia menjadikan fashion sebagai bagian dari identitas musisinya, sekaligus sebagai simbol status sosial.
Setiap anggota La Sape punya panggilan unik, yaitu sapeurs buat cowok, dan sapeuses buat anggota cewek. Mereka bisa nabung bertahun-tahun hanya untuk beli satu setelan dari brand ternama, kayak Dior, Chanel, atau Ozwald Boateng.
Harganya? Jangan ditanya lagi, brand ternama ini jelas punya harga sekitar US$2.000 atau hampir Rp30 jutaan. Padahal uang segitu kalau dibuat makan udah kenyang banget, sih, daripada sekadar untuk beli baju buat gegayaan.
Uniknya, mereka itu anti banget barang palsu atau barang KW. Menurut mereka, kalau pakai barang KW itu malah kaya menghina seni dan makna di balik fashion itu sendiri. Menurut sapeurs dan sapeuses, fashion itu soal kehormatan. Mereka percaya kalau penampilan harus mencerminkan kualitas diri, dan barang palsu nggak punya nilai yang bisa dibanggakan. Jadi, meskipun harus nahan lapar atau hidup sederhana di balik layar, asalkan mereka bisa jalan dengan percaya diri pakai setelan ori, itu udah jadi kebahagiaan tersendiri.
Bisa dibilang, kebanggaan mereka bukan datang dari seberapa banyak uang yang dimiliki, tapi dari seberapa totalitas mereka dalam menampilkan versi terbaik diri mereka sendiri. Ini termasuk nekat apa keren sih?
Gaya Hidup La Sape vs Kondisi Negara Kongo
Di balik penampilan kece para sapeurs dan sapeuses, ada realita pahit yang nggak bisa diabaikan. Menurut data IMF (International Monetary Fund) pada tahun 2024, Republik Kongo termasuk salah satu negara termiskin di dunia. Bayangin aja, lebih dari 70% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Rata-rata pendapatan per tahun cuma sekitar 541 dolar Amerika. Itu artinya, dalam sebulan mereka hanya punya uang nggak sampai sejuta rupiah, dong.
Tapi yang bikin geleng-geleng kepala, ada yang rela beli satu setelan jas seharga 2.000 dolar, yang berarti itu tiga kali lipat dari pendapatan tahunan mereka. Ketika beberapa orang memilih makanan sebagai prioritas mereka, sapeurs dan sapeuses justru memprioritaskan fashion.
Mereka nggak mikirin dulu soal makan, tempat tinggal, bahkan kendaraan. Asalkan bisa jalan dengan setelan branded, mereka udah merasa jadi ‘seseorang’.
Nggak sedikit juga yang sampai ngutang atau motong kebutuhan pokok demi beli barang dari merk ternama. Parahnya lagi, ada juga yang sampai terjerumus ke praktik ilegal seperti jual narkoba, hanya agar gaya hidup fashionable tetap jalan terus.
Contohnya bisa dilihat dari kisah nyata seorang sapeur bernama Stervos Niarcos. Dia adalah salah satu ikon La Sape yang berasal dari Brazzaville. Dia dikenal dengan gayanya yang nyentrik dan wardrobe-nya yang isinya full desainer Eropa. Niarcos bahkan pernah bilang kalau jas lebih penting daripada makan, karena menurut dia, orang boleh kelaparan, tapi jangan sampai kelihatan menyedihkan di depan publik. Statement yang cukup ekstrem, tapi justru menggambarkan seberapa besar pengaruh fashion buat identitas diri mereka.
Tapi nggak semua segelap itu, kok. Beberapa anggota La Sape punya cara kreatif dan kompak buat tetap tampil narsis tanpa harus bangkrut. Mereka sering tukeran atau minjem baju satu sama lain. Jadi meskipun isi lemarinya terbatas, outfit mereka tetap bisa gonta-ganti dan terlihat fresh setiap saat. Bahkan ada semacam “kode etik” di antara para sapeurs dan sapeuses untuk saling menjaga dan merawat barang pinjaman sebaik mungkin karena bagi mereka, satu potong baju bisa punya nilai simbolis yang dalam.
Kriminalitas di Balik Glamor
Di balik gaya hedonnya para sapeurs dan sapeuses, ada satu sisi gelap Kongo yang nggak bisa diabaikan. Menurut data dari The Global Initiative Against Transnational Organized Crime pada tahun 2021, Republik Demokratik Kongo (DRK) termasuk negara dengan tingkat kriminalitas tertinggi di dunia. Kongo memiliki tingkat kriminalitas mencapai angka 7,75. Kejahatan yang paling sering terjadi yaitu perdagangan manusia, penyelundupan senjata, hingga ekploitasi sumber daya alam secara illegal. Ngeri banget nggak, sih?
Tapi, Kongo sendiri justru menganggap soal keamanan itu hal sepele. Kenapa begitu? Karena di wilayah sekitar Kongo juga masih banyak konflik. Contohnya seperti yang tercatat oleh PBB, yaitu konflik bersenjata yang masih marak di daerah timur (wilayah Kivu) pada bulan Januari-Februari 2025, kemiskinan yang parah, hingga penegakan hukum yang masih lemah.
Mirisnya di kota-kota besar seperti Kinshasa dan Goma sering terjadi aksi pencurian, perampokan bersenjata, hingga parahnya kekerasan seksual. Padahal Kinshasa adalah kota yang menjadi pusat aksi La Sape. Banyak wisatawan diperingatkan untuk tidak keluyuran di malam hari pada beberapa area karena risiko perampokan dan kejahatan jalanan yang sangat tinggi. Kebayang nggak, tampil elegan dan nyentrik tapi di wilayah yang serawan itu? Aku sih nggak berani, ya…
Karena acara La Sape kaya parade atau gathering yang bisa menarik banyak perhatian, hal ini justru jadi target kriminal. Karena bisa saja di tengah keramaian acara, pencopet dan pelaku kejahatan kecil sedang mengintai. Maka dari itu, gaya boleh elegan, tapi harus tetap waspada, ya!
Pandangan Dunia Tentang La Sape
Fenomena La Sape membuat orang-orang luar negeri geleng-geleng kepala, tapi bukan karena negatif, mereka justru kagum. Bayangkan saja di tengah kemiskinan dan kekacauan politik, para sapeurs dan sapeuses masih bisa tampil kayak mau fashion show tiap hari.
Dokumenter seperti The Congo Dandies juga pernah nunjukin gimana para sapeurs dan sapeuses bikin suasana jadi lebih hidup. Bagi komunitasnya, ini bukan sekadar pamer jas mahal, tapi juga simbol harapan.
“Hidup boleh susah, tapi kita tetap punya harga diri.”
Fenomena ini menimbulkan stigma yang beragam. Bagi sebagian orang, komunitas ini dianggap sebagai bentuk perlawanan yang kreatif dan penuh warna. Namun, nggak sedikit juga yang mengkritik gaya hidup mereka sebagai sesuatu yang kurang bijak, apalagi kalau dilihat dari kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Niat untuk tampil keren kadang bikin beberapa sapeurs dan sapeuses nekat ambil jalan pintas, bahkan sampai melenceng dari etika komunitas itu sendiri.
Kalau dipikir-pikir, La Sape memang bisa menjadi inspirasi yang memberi warna di tengah gelapnya hidup. Tapi di sisi lain, juga bikin mikir ulang soal prioritas. Dari komunitas La Sape ini kita jadi sadar satu fakta penting. Bahwa penampilan memang bisa nunjukin siapa kita, tapi tampil keren itu juga butuh logika. Karena kalau gaya hidup yang dijalani nggak realistis dan maksa terus-terusan, ujung-ujungnya justru jadi beban buat diri sendiri.
Kalau kamu, tim “tampil hedon dulu baru nasi” atau “yang penting kenyang dulu baru gaya belakangan”?

