Kalau sekarang kamu lihat di mana-mana banyak cewek berjilbab, fenomena itu terbilang baru. Dulu, sekitar 40 tahun lalu, jumlah perempuan Indonesia yang berjilbab bisa diitung pakai jari.
Bahkan ada masa-masa ketika berjilbab dianggap pelanggaran. Kalau sekarang banyak sekolah negeri yang mewajibkan siswinya pakai jilbab, dulu justru kebalikannya, dia bisa dikeluarkan. Tapi zaman sudah banyak berubah, orang sekarang lebih ramah ke jilbab. Bahkan cewek-cewek berjilbab sampai punya beberapa kelompok sosial sendiri yang spesifik, baik yang diungkap secara internal maupun eksternal.
Memang, meski sudah lama dicap sebagai negara pemeluk Islam terbesar dunia, Indonesia dulunya nggak begitu familiar sama jilbab. Muslimah generasi pra ’80-an lebih banyak pakai kain buat nutupin rambut alias kerudung, yang merupakan perluasan fungsi dari selendang.
Contohnya, mengutip referensi Muhammad Ridha Basri dari Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia bilang bahwa di masa-masa itu, muslimah yang pakai penutup kepala itu identik sama mereka yang sudah naik haji alias para hajjah.
Mas Ridha nemu foto Nyai Walidah Dahlan dan Nyai Wahid Hasyim Asyari dalam foto Kongres organisasi pemuda Islam, Jong Islamieten Bond (JIB) tahun 1926, dari Majalah Tempo edisi 12-18 Agustus 2013. Di foto itu, dua aktivis Islam tersebut terlihat memakai penutup kepala. Lanjut ke Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928, wakil dari Aisyiyah (organisasi yang didirikan Nyai Walidah Dahlan) juga tampak berkerudung.
Sampai tahun ’50-an, masih jarang muslimah Indonesia yang pakai tutup kepala. Jadi, mereka yang pakai kerudung adalah kalangan santri yang terkait sama partai Islam, kayak Masyumi atau Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Clifford Geertz, golongan ini beda dengan para priyayi dan kaum abangan yang nggak pakai kerudung.

Fenomena Jilbab di Indonesia 40 Tahun Lalu
Dekade berikutnya, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN), cikal bakal Universitas Islam Negeri (UIN), mulai banyak yang pakai baju kurung lengkap sama kerudung. Tapi tetap saja, bukan jilbab dan mereka masih tergolong minoritas.
Aktris senior Ida Royani bilang ke Historia, bahwa dia sempat mengalami masa-masa dipandang ‘aneh’ gara-gara pakai jilbab di tempat umum. Dia pernah ngerasa ganjil pas belanja di pasar, pun waktu ‘nekat’ pakai jilbab di acara kondangan.
“Tahun 1978 itu aku pergi ke pesta kawin. Nggak ada satu pun orang pakai jilbab, cuma aku sendiri. Orang ya pada aneh ngelihatin,” katanya.
Secara umum, hijab atau jilbab memang baru mulai ngetren akhir ’70-an. Salah satu pemicunya adalah Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang melawan hegemoni Barat. Menangnya Ayatollah Khameini bikin orang Islam waktu itu naik solidaritasnya. Bikin mereka lebih semangat nunjukin simbol dan identitas, salah satunya lewat jilbab dan cadar.
Tapi secara internal, suasananya nggak gampang ferguso. Pemerintah Orde Baru waktu itu masih alergi pada simbol politik Islam. Ada trauma lama soal pemberontakan bersenjata yang mengatasnamakan Islam. Jadi, hal-hal yang kelihatan “terlalu Islami” sering dicurigai sebagai bibit radikalisme.
Tahun 1982, keluar Surat Keputusan No. 052/C/Kep/D.82 dari Kementerian Pendidikan. Isinya soal aturan seragam sekolah, yang sama sekolah-sekolah dijadikan landasan buat melarang siswi pakai jilbab, khususnya di sekolah negeri. Salah satu alasannya biar seragamnya sama, siswa-siswi punya semangat kesetaraan, dan nggak gampang terpecah belah.

Melawan = Dikeluarkan
Aturan itu ketat banget. Siswi yang ngotot bakal dapat sanksi tegas, dari peringatan, dipaksa ngelepas, sampai kena drop-out. Salah satu kasus terkenal adalah Triwulandari dari SMAN 1 Jember, yang dikeluarkan tahun 1982 karena menolak melepas jilbabnya.
Menurut Surya Maya dalam tesisnya, Simbolisme Islam di Ranah Publik: tinjauan Antropologi Hukum Islam Hijab Paramedis di Rumah Sakit (2020), banyak laporan media tentang jumlah siswi dikeluarkan atau pindah sekolah gegara pakai jilbab. Bahkan, sekolah di Bandung sudah bersih dari jilbab pada tahun 1984.
Meskipun gitu, larangan dan hukuman ternyata nggak bikin jilbab ditinggalkan, bahkan sebaliknya, makin populer. Salah satu bentuknya datang dari dunia sastra. Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun nulis puisi “Lautan Jilbab” yang pertama kali dibacakan di Kampus UGM pada 1987. Lalu dipentaskan dalam bentuk teater dan tur dari Yogyakarta ke Madiun, Surabaya, Malang, sampai Ujung Pandang.
Seni jadi media protes sekaligus pemicu kesadaran sosial. Sementara itu, banyak muslimah juga ikut berani melawan kebijakan ini, tetap pakai jilbab meski di bawah tekanan negara.
Sampai puncaknya, pada 16 Februari 1991 Pemerintah akhirnya mencabut larangan jilbab lewat Instruksi Mendagri Nomor 8 Tahun 1991. Siswi sekolah negeri boleh pakai pakaian sesuai keyakinan agama.
Begitu Reformasi 1998, user jilbab malah makin meledak. Kalau sebelumnya di kota-kota besar jilbab jadi simbol “oposisi”, pelan-pelan berubah jadi bagian dari identitas Muslim modern. Tren fashion pun ikut berkembang. Dari jilbab segi empat, pashmina, sampai model syar’i yang panjang, berkembang jadi gaya hidup.
Sekarang Semua Sudah Berubah
Sekarang semua sudah berubah. Jilbab sudah jadi pemandangan lumrah. Di jurnal Review of Religious Research, ada survey yang nunjukin kalau jilbab sekarang justru jadi mayoritas.
Di sekolah-sekolah negeri di Jawa, hampir semua siswi Muslim pakai jilbab, entah karena peraturan daerah, norma sosial, atau tekanan lingkungan. Beberapa kabupaten di provinsi malah bikin peraturan yang bertolak belakang banget sama kebijakan 30-40 tahun lalu, yakni mewajibkan siswi sekolah negeri pakai jilbab.
Cuma anehnya, aturan itu nggak pandang bulu, alias diterapkan juga ke siswi non-muslim. Contoh yang paling baru, ada siswi di Klaten yang gagal masuk tim aubade gegara nggak pakai jilbab, soalnya dia Hindu.
Lebih aneh lagi kasus di Padang, Sumatera Barat tahun 2021. Keluhan keluarga Kristen atas aturan wajib berjilbab di sekolah malah berbuntut teror dan intimidasi. Bahkan, meskipun akhirnya boleh lepas jilbab, keluarga mereka dikucilkan, ditinggal pelanggan bisnis, sampai harus pindah tempat tinggal.
Tapi, di tengah kontroversi pemaksaan, industri hijab di Indonesia berkembang pesat. Data World Economic Forum (WEF) tahun 2022 nunjukin kalau rata-rata penduduk Indonesia habis $6.09 buat beli 1.02 triliun lebih hijab tiap tahun. Pemerintah sendiri pernah mimpi buat menjadikan Indonesia Kiblat Fashion Muslim di Dunia.
Sementara itu, muncul fenomena “Hijabers” yang bikin jilbab naik kelas, bahkan eksklusif. Jilbab nggak lagi dianggap kuno, tapi modis, trendy, Instagrammable.
Dari situ lahir influencer hijabers, brand-brand hijab pun tumbuh subur kayak jamur. Dan dari tren hijab juga, muncul istilah “Jilboobs,” cewek berhijab yang pakai baju ketat dan nonjolin lekuk tubuh.

Terakhir, baru 1-2 mingguan yang lalu, jilbab kembali jadi simbol perlawanan.
Ada seorang emak-emak berhijab yang berani ikut demonstrasi, bahkan orasi di depan polisi. Warna hijabnya yang merah muda, dipilih jadi salah satu simbol perlawanan rakyat. Brave pink, sebutannya.
Meski kemudian ada yang bilang kalau si emak punya gangguan mental dan simbolnya dikerdilkan, seenggaknya posisi jilbab balik lagi ke tempat yang mulia.

