Seni kontemporer terus berkembang seiring dengan tumbuhnya teknologi yang semakin canggih. Salah satu seni digital yang sekarang mulai menarik perhatian di berbagai belahan dunia adalah video mapping atau projection mapping, teknik menampilkan gambar/video ke permukaan tiga dimensi.
Generasi muda Kota Malang nggak mau ketinggalan untuk ikut unjuk gigi berkarya dalam media art dan digital installation. Di antara mereka, ada nama Digi Arafah, pelaku seni muda yang sekarang dikenal serius mengembangkan karya di bidang motion graphic, animasi, dan video mapping.
Pemuda lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini sudah akrab dengan dunia film, fotografi, dan videografi sejak duduk di bangku SMK. Dari situlah ketertarikannya terhadap seni digital mulai tumbuh.
“Awal tertarik di seni digital mungkin dari film dan desain. Di SMK saya sudah belajar perfilman dan pembuatan poster film. Waktu kuliah pun masih di bidang yang sama,” cerita Digi.
Sekitar tahun 2021, Digi mulai beralih menekuni dunia motion graphic. Ia ingin mencari bentuk ekspresi baru yang lebih menantang dan bisa diapresiasi khalayak lebih luas.
“Saya orangnya nggak gampang puas. Waktu itu merasa apresiasi terhadap pelaku film masih kurang, jadi saya mencoba hal baru,” ujar pemuda kelahiran Lawang, Kabupaten Malang ini.
Membangun Karana dan Swarnaloka
Ketertarikan Digi terhadap motion graphic membawanya bertemu dengan medium video mapping, yang kemudian mengubah arah karier seninya.
“Pertama tertarik di dunia motion graphic, oh lumayan seru ya karena yang dipelajari banyak. Terus bertemu dengan video mapping, ternyata akhirnya bisa berjalan bersama,” kenangnya.
Langkahnya dimulai waktu Digi mengikuti kompetisi Projection Mapping TERANG 2023 di Malaysia lewat karya berjudul Guardian of Heritage: Rusa Pemberani. Kolaborasi bersama Rizki Adha itu berhasil meraih Juara 2 kategori profesional.
Dari situ, Digi mulai berpikir untuk membentuk tim. Ia mengajak beberapa rekannya dan mendirikan studio animasi, motion graphic dan video mapping bernama Karana.
Mereka kemudian mendapat kesempatan diundang tampil dalam pameran kolektif Video Mapping George Town Festival Malaysia di tahun 2023, yang sekaligus menjadi ajang debut nama Karana. Tak lama setelahnya, mereka kembali dipercaya tampil dalam pameran Kinarya Immersiva Indonesia 2023.
Karana terus berjalan dan mengumpulkan prestasi. Mereka meraih Best Use of Technology di SOULFEST Mapping Competition Malaysia 2024, dan 3rd Prize Winner di LUNAR Festival of Lights Bulgaria 2024.

Tahun yang sama, Karana kembali diundang dalam ajang TERANG: WARISAN Projection Mapping Showcase Malaysia 2024.
Perlahan, nama Karana mulai dikenal di dunia seni digital Asia Tenggara. Di Malang sendiri, mereka aktif mengadakan pameran video mapping kecil di kafe dan gigs musik lokal. Pameran yang memadukan visual, cahaya, dan audio ini rupanya menarik banyak perhatian audiens muda.
Dari semangat memperkenalkan video mapping itulah lahir kolektif seni Swarnaloka, yang menggagas Malang Light Arts Movement. Gerakan ini fokus untuk memperkenalkan seni cahaya dan new media art kepada masyarakat Kota Malang.

Digi selalu membawa unsur nusantara dan teknologi dalam setiap karya yang ia buat. Menurutnya, dua hal itu bisa melahirkan cara pandang baru terhadap budaya dan kehidupan masyarakat.
“Yang saya prioritaskan adalah bagaimana unsur nusantara bisa digabungkan dengan teknologi untuk menciptakan perspektif baru bagi penonton,” katanya.
Dalam proses kreatifnya, Digi memulai dari riset dan pengembangan konsep, lalu membuat sketsa dan sistem kerja sebelum melibatkan tim produksi untuk tahap akhir.
“Biasanya mikir konsepnya dulu, lalu bikin sketsa dan sistemnya. Setelah itu baru saya lempar ke tim untuk finishing,” jelasnya.
A Global Gaze from Gochang
Salah satu kesempatan besar baginya baru-baru ini adalah saat Swarnaloka diundang untuk berkolaborasi dengan Galleryamidi dalam pameran “A Global Gaze from Gochang” di Korea Selatan, sebagai bagian dari 2025 World Heritage Festival di Museum Dolmen Gochang.
Mewakili Asia Tenggara, Swarnaloka mengumpulkan berbagai seniman berbakat untuk turut serta dalam pameran yang digelar mulai 2-22 Oktober 2025 di Museum Dolmen Gochang.

Tema pameran itu mengangkat hubungan antara manusia dan alam, melalui simbol Dolmen dan Tidal Flats yang merupakan warisan budaya UNESCO di Gochang. Para seniman dari Asia Tenggara menampilkan karya media art yang menghubungkan warisan budaya Korea dengan tradisi daerah masing-masing.
“Tujuannya membangun dialog lintas budaya antara Korea dan Asia Tenggara, serta menyoroti perubahan ekologi dan ingatan leluhur. Tantangannya bagaimana menyatukan konteks lokal dan global secara autentik,” ujar Digi.
Ada delapan seniman pendatang baru dan mapan yang menampilkan karyanya dalam pameran ini. Mereka adalah MXC Creative Studio dari Vietnam, Keboyotan dari Malaysia, dan Lee Yoon Su dari tuan rumah Korea Selatan.
Sedangkan dari Indonesia, ada The Fox-The Folks (seniman multimedia asal Bandung), Khaery Chandra (motion designer asal Jawa Tengah), Fearmos (tim video mapping asal Surabaya), Rainerius Raka & Adani Zata (seniman desain grafis dan motion design), serta Malik I (Seniman 3D asal Bandung).
Masing-masing akan menerapkan berbagai medium seni media. Mulai dari animasi, motion graphic, video mapping, hingga instalasi interaktif untuk merespons tema Dolmen dan Tidal Flats. Bahkan nantinya setelah periode festival berakhir, instalasi tersebut akan tetap dipamerkan sebagai koleksi jangka panjang Museum Dolmen Gochang.
Terus Berkarya Tanpa Ragu
Sebagai bagian dari generasi muda yang tumbuh akrab dengan teknologi, Digi optimistis terhadap perkembangan seni digital di Indonesia.
Menurutnya, semakin banyak seniman muda yang berani bereksperimen dengan medium baru seperti video mapping, instalasi interaktif, sampai ruang imersif.
“Saya melihat masa depan seni digital di Indonesia sangat cerah. Banyak seniman muda yang mulai eksplorasi teknologi sebagai medium ekspresi,” ujarnya yakin.

Setelah pameran di Korea nanti, Digi belum banyak membocorkan proyek baru yang sedang dikerjakan. Ia hanya mengajak teman-teman untuk terus mengikuti aktivitas Story of Karana dan Swarnaloka Journey lewat akun media sosial mereka.
Bagi para seniman muda yang masih ragu berkarya, Digi titip pesan singkat agar lebih berani menyalurkan segala bentuk ekspresi.
Digi berharap karya-karyanya nggak berhenti di hiburan visual saja, tetapi juga bisa menumbuhkan apresiasi terhadap budaya Nusantara.
“Nggak usah banyak mikir untuk berkarya, lakukan aja apa yang kalian ingin lakukan,” tandasnya mantap.

