Pernahkah terbayangkan olehmu, kalau situs sejarah seperti struktur batu kuno berusia ribuan tahun bisa terkoneksi dengan teknologi media art kekinian? Itu yang bakal diwujudkan delapan seniman dari Asia Tenggara dan Korea Selatan lewat pameran “A Global Gaze from Gochang”, 2-22 Oktober 2025 di Museum Dolmen Gochang, Korea Selatan, sebagai bagian dari World Heritage Festival 2025.
Ini adalah pameran kolaboratif antara Swarnaloka (Asia Tenggara) dan Galleryamidi (Korea Selatan) yang akan mejeng di media wall lantai 1 dan Dolmen Media Garden, Museum Dolmen Gochang.
Swarnaloka merupakan kolektif seni yang berfokus pada media art dan pertukaran budaya kreatif Asia Tenggara. Sementara itu, Galleryamidi adalah kolektif seni kontemporer Korea Selatan yang sudah aktif lebih dari tujuh tahun.
Lokasi pameran, Gochang, bukan kota biasa. Berada di Provinsi Jeolla Utara, kota ini punya situs dolmen yang sudah jadi Warisan Dunia UNESCO sejak 2013. Kota ini juga punya ekosistem cagar biosfer dan lanskap yang unik, dianugerahi hamparan Tidal Flats.
Kalau kamu asing dengan istilah itu, dolmen adalah peninggalan Megalitikum berwujud meja batu besar yang dulunya dipakai dalam ritual pemujaan leluhur. Kadang jadi tempat sesaji, kursi ketua suku untuk memohon berkah, atau tempat meletakkan jenazah supaya aman dari binatang buas. Satu lempeng batu datar besar di atas, ditopang batu-batu lebih kecil sebagai kakinya.

Tidal flats adalah hamparan pantai berlumpur yang tercipta dari pasang surut laut. Dataran ini biasanya terbuka tanpa vegetasi, tapi berperan penting sebagai ekosistem, yaitu untuk memurnikan air sekaligus jadi habitat burung migran dan ikan.
Kontras antara dolmen yang statis dan tidal flats yang terus berubah inilah yang menginspirasi seniman untuk menyatukan pemahaman lintas budaya.
“Warisan budaya bukan sesuatu yang membeku dalam waktu, melainkan dialog hidup yang terus berkembang,” kata Kurator dari Swarnaloka, Digi Arafah.
Dalam proyek ini, cahaya, suara, dan interaksi digital jadi medium utama. Delapan seniman dengan latar belakang berbeda akan menghadirkan karya yang menghubungkan Gochang dengan pengalaman budaya di daerah asal mereka masing-masing.
Para seniman yang terlibat ada:
- The Fox, The Folks (Indonesia), tim multimedia asal Bandung, spesialis animasi 2D, motion graphic, dan projection mapping. Karya mereka Porta Petra menampilkan dolmen sebagai saksi asal mula kehidupan.
- MXC Creative Studio (Vietnam), studio digital art dari Ho Chi Minh City yang fokus pada visual 3D. Karya mereka mengajak penonton “bepergian ke dalam diri” lewat tafsir ulang ingatan dan waktu.
- Keboyotan (Malaysia), motion artist Aliff Firdaus menghadirkan Dua Bumi, menghubungkan dolmen Gochang dengan batu megalitik Sarawak sebagai portal lintas ruang dan waktu.
- Fearmos (Indonesia), tim muda asal Surabaya yang baru mulai main di video mapping. Mereka menampilkan dolmen sebagai jembatan reflektif antara bumi dan kosmos.
- Khaery Chandra (Indonesia), motion designer asal Jawa Tengah dengan karya Infinite Convergence, eksplorasi pertemuan sakral jiwa dengan alam semesta.
- Malik I (Indonesia), seniman 3D asal Bandung. Karyanya terinspirasi kartu tarot Wheel of Fortune, menampilkan dolmen sebagai pilar mistis di tengah perubahan dunia.
- Adani Zata & Rainerius Raka (Indonesia), duo yang menggabungkan desain grafis dan motion design. Lewat karya LAKU, mereka menarasikan perjalanan simbolis dari Merapi ke Laut Selatan.
- Lee Yoon Su (Korea Selatan), seniman tuan rumah yang menghubungkan tradisi dolmen dengan kehidupan kontemporer masyarakat Korea.
Menariknya, karya-karya ini nggak hanya akan tampil selama festival. Setelah acara selesai, instalasi para seniman tetap dipamerkan secara permanen di Dolmen Media Garden dan Media Wall Museum Dolmen Gochang. Jadi, siapa pun yang berkunjung ke sana masih bisa merasakan pengalaman lintas waktu itu.
Lewat karya visual dan berbasis suara, para seniman juga menceritakan kisah tentang Korea, sekaligus menghubungkannya dengan lanskap dan tradisi dari daerah mereka sendiri, mulai dari hutan bakau, mitos leluhur, sampai lingkungan Asia Tenggara yang terus berubah.

Bagi Swarnaloka, proyek ini jadi kesempatan emas buat mempertemukan seniman Asia Tenggara dengan audiens global. Sedangkan Galleryamidi melihatnya sebagai bukti pertumbuhan berkelanjutan jaringan kreatif, sekaligus ruang solidaritas lintas disiplin.
Pameran “A Global Gaze from Gochang” jadi rangkaian 2025 World Heritage Festival yang diselenggarakan di Gochang, Korea Selatan. Festival tahunan ini digelar untuk mengapresiasi nilai-nilai Situs Warisan Dunia UNESCO, mulai dari situs budaya, alam, tradisi, kuliner, sampai kesenian lokal.

