in

Ryuichi Sakamoto: Hidup Bersama Musik, Berkarya sampai Penghujung Usia

Ryuichi Sakamoto.(Alessandra Benedetti/Corbis via Getty Images)
Ryuichi Sakamoto.(Alessandra Benedetti/Corbis via Getty Images)

Kalau ditanya apa tujuan hidupmu yang sebenarnya, kamu akan jawab apa?

Mungkin nggak semua sudah tahu jawabannya. Ada juga, yang memang sudah tahu, dan berpegang teguh mencapai tujuan itu sampai akhir hayat.

Penggambarannya sedikit banyak ada di sosok mendiang Ryuichi Sakamoto.

Kalau kamu belum pernah dengar namanya, dia adalah komposer asal Jepang yang punya pengaruh besar di sejarah musik modern. Banyak juga yang menyebutnya sebagai pelopor genre musik elektronik.

Sakamoto memakai musik sebagai medium untuk memperjuangkan kelestarian alam dan menggugah kesadaran terhadap isu-isu sosial.

Sejak terjun ke dunia musik, Sakamoto memang tertarik dengan macam-macam genre, dari klasik hingga avant-garde.

Bersama Yellow Magic Orchestra (YMO), karyanya mulai mempengaruhi banyak musisi di seluruh dunia.

Kamu pasti familiar jika mendengar karya solonya yang terkenal begitu indah juga emosional: Merry Christmas, Mr. Lawrence dan The Last Emperor.

Sakamoto nggak cukup puas jadi musisi. Ia juga dikenal sebagai aktivis lingkungan, terutama setelah bencana nuklir Fukushima tahun 2011.

Dia selalu gigih mengkampanyekan pentingnya energi terbarukan dan mengajak banyak orang lebih peduli terhadap kondisi bumi. Contohnya lewat proyek-proyek seperti Kizuna World dan Forest Symphony.

Sifat rebel Sakamoto mulai muncul sejak kecil. Di sebuah wawancara dengan Financial Times (2018), Sakamoto cerita kalau dia punya jawaban berbeda saat diminta nulis cita-cita. “Saya yakin, saya nggak mau tergabung dalam sesuatu. Saya cuma ingin jadi individu,” kurang lebih itu yang selalu dia sebutkan.

Lahir di Tokyo, 17 Januari 1952, Sakamoto dibesarkan di lingkungan yang kental akan pemahaman budaya dan politik radikal.

Mulai usia (sekitar) tiga tahun, Sakamoto sudah belajar main piano. Menuju remaja, Ibunya sering membawanya ke konser-konser komposer John Cage dan Karlheinz Stockhausen.

Selera musiknya semakin berkembang. Sakamoto kuliah di Tokyo University of the Arts dan lulus tahun 1976 dengan gelar master komposisi musik.

Pertengahan tahun 70-an, Sakamoto mulai dapat job main keyboard dan arranger. Dia juga aktif di kancah jazz bebas Tokyo.

Tahun 1976, publik mulai mengenal Sakamoto lewat performnya dengan Synthesizer (waktu itu Synthesizer belum dikenal secara mainstream).

Tahun itu juga, Sakamoto kolaborasi dengan pemain perkusi Toshiyuki Tsuchitori merilis album studio pertamanya, “Disappointment-Hateruma”. Di album itu, kelihatan sekali kecenderungan musik eksperimentalnya.

Dua tahun kemudian, 1978, Sakamoto diajak koleganya, Haruomi Hosono, membentuk Yellow Magic Orchestra (YMO). Proyek pertama mereka mengaransemen Firecracker Martin Denny menjadi disko elektrik chunky pakai synthesizer. Hanya butuh waktu beberapa bulan, album pertama mereka “Paraiso”, langsung meledak.

Yellow Magic Orchestra. (KYODO via The Japan Times)

Di tahun itu juga, Sakamoto punya kesempatan merilis debut album solo pertamanya, “Thousand Knives of Ryuichi Sakamoto.”

Nama Sakamoto dan YMO semakin mendulang sukses di Jepang. Tahun 1980, YMO sudah merilis tiga album. Tapi, Sakamoto—yang tidak bisa diam ini—merasa dirinya perlu mencari gebrakan lain. Dia lalu terbang ke Inggris dan rekaman album elektronik surealis “B-2 Unit”.

Kolab sama pemain bass dub-reggae dan produser Dennis Bovell, Sakamoto menciptakan lagu berjudul Riot in Lagos. Dia juga mengajak Andy Partridge dari XTC—yang waktu itu lagi menduduki puncak tangga lagu Inggris.

Lagu-lagu di “B-2 Unit” ini kedengaran sangat modern. Mungkin kalau sekarang kamu dengarkan lagi, rasanya sulit dipercaya kalau album itu dibuat 44 tahun yang lalu.

Layar Kaca – Layar Lebar

Tahu 1982, Sakamoto menikah dengan pianis virtuoso dan penulis lagu Akiko Yano. Saat itu mereka jadi pasangan selebritis yang disorot publik internasional. Sakamoto juga mulai dapat job iklan televisi.

Tahun 1983, Sakamoto dapat tawaran menjadi aktor dan komposer di film “Merry Christmas, Mr. Lawrence,”. Tentu saja dia nggak mau menyia-nyiakannya.

Sakamoto dapat peran sebagai Kapten Yonoi, komandan Jepang yang ditugasi mengawasi tahanan perang Inggris yang diperankan oleh David Bowie.

David Bowie dan Ryuichi Sakamoto di Merry Christmas Mr. Lawrence. (Criterion Collection)

Sutradara film itu, Nagisa Ōshima, membebaskan Sakamoto menuliskan sountrack-nya. Insting beliau sangat tepat, lagu Merry Christmas, Mr. Lawrence karya Sakamoto jadi karya paling dikenal di sepanjang karirnya. Setara dengan Hey Jude­-nya The Beatles atau Landslide-nya Fleetwood Mac.

YMO bubar tahun 1984. Tapi Sakamoto sudah siap menjadi jet-setter internasional. Kolaborasi dengan banyak tokoh di Hollywood, termasuk Bernardo Bertolucci, Charlie Brooker, dan Alejandro González Iñárritu.

Fotografer Elizabeth Lennard membuatkan film dokumenter berdurasi satu jam tentang Sakamoto berjudul “Tokyo Melody,” yang ditayangkan di TV nasional Prancis. Dengan riasan mata metalik dan setelan jas, di film itu Sakamoto berbicara tentang bagaimana waktu yang tidak lagi linear bagi para komposer. Juga dominasi Jepang di antara negara-negara kapitalis.

Dunia makin melirik Sakamoto setelah dia ikut berakting dan menuliskan sountrack The Last Emperor (1987). Sakamoto membawa pulang Grammy, Golden Globe, dan Academy Award Atas karyanya itu.

*pencet next