Sunday, September 28, 2025
Kirim tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
  • Login
  • Register
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
Ilustrasi loud laborer di tengah banyak task.

Loud Laborer, Si Paling Banyak Omongnya Sedikit Kerjanya

by Lionita Nidia
24 July 2025
in Kultur Pop
A A
0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan di WABagikan di TelegramBagi ke FBBagi ke X

Kamu mungkin sudah familiar sama istilah quiet quitter. Mereka ini orang-orang yang diam-diam memutuskan buat nggak lagi ngoyo di tempat kerja. Nggak buka chat pas waktunya libur, nggak sukarela lembur, pokoknya lebih fokus jaga kesehatan mental. Gen Z, yang diprediksi bakal mengisi lebih dari 30% angkatan kerja pada 2030, banyak yang milih jalan ini.

Tapi ya tipe karyawan memang macam-macam. Ada juga kebalikannya quiet quitter. Mereka yang banyak omongnya, kelihatan paham dan jago menangani jobdesk-nya, suka sekali membanggakan diri sendiri dan rentetan pengalamannya, tapi kerjaannya.. nggak beres-beres amat. Itu namanya Loud Laborer.

Istilah Loud Laborer pertama kali dikenalkan sama André Spicer, profesor perilaku organisasi dan dekan di Bayes Business School.

ADVERTISEMENT

Menurut Nicole Price, pelatih kepemimpinan dan pakar budaya kerja, para loud laborer ini bukan sekadar cari perhatian. Justru mereka biasanya cerdas secara politik, jago main citra, dan aktif banget di jejaring profesional.

“Mereka pakai banyak cara buat promosi diri, ngomong soal apa yang lagi mereka lakukan atau rencanakan—padahal belum tentu dikerjain juga,” kata Price.

Tanda-Tanda Loud Laborer di Kantor

Photo: A Conscious Rethink

Gimana cara ngenalin mereka? Simpel. Satu: kamu jarang lihat hasil kerjanya beneran selesai. Terus, mereka kebanyakan ngomongin kerjaan yang katanya lagi mereka tangani. Dibahas terus pokoknya.

Tapi ini bukan berarti mereka pemalas, seringkali dorongan di balik perilaku ini adalah rasa nggak percaya diri. Karena nggak yakin sama hasil kerjanya, mereka akhirnya kompensasi lewat cerita dan pencitraan.

Ada juga yang memang lebih termotivasi oleh pengakuan orang lain ketimbang kepuasan dari pekerjaan itu sendiri. Jadi emang bukan mengejar performa, tapi validasi dan apresiasi saja.

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Dari sisi psikologi evolusi, erangan dan keluhan itu semacam sinyal buat menunjukkan kalau dia sudah berkontribusi dan mengharapkan imbalan. Kalau sekelompok orang dapat tugas, pasti akan selalu ada salah satu yang paling vokal dan terlihat sibuk.

Makin kompleks dunia kerja, makin canggih juga cara pamer kerja keras. Loud Laborer zaman now bahkan nggak cukup cuma ngeluh. Mereka jago banget bikin presentasi ciamik soal rencana masa depan, ngasih update bombastis di rapat, atau sekadar ngumbar pencapaian sebelumnya (yang sebenernya standar saja).

Sosiolog Amerika Thorstein Veblen juga pernah mengenalkan istilah “conspicuous consumption” (konsumsi mencolok). Orang kaya zaman dulu pamer kekayaan lewat barang-barang mahal. Kalau sekarang kebalikannya. Banyak yang lebih mengunggulkan “produksi mencolok”—pamer produktivitas biar diakui.

Semua ada polanya. Studi oleh kelompok ekonom tentang The Gender Gap in Self-Promotion, menunjukkan kalau sejak kecil, anak laki-laki lebih jago (dan pede) mempromosikan diri, apalagi kalau tugasnya dianggap maskulin. Sebaliknya, perempuan sering merasa serba salah. Mau pamer takut dibilang agresif, nggak pamer takut kalah bersaing.

Efek Loud Laborer

Hat-hati, terlalu sering mempromosikan diri bisa jadi bumerang. Riset dari Irene Scopelliti dan timnya di jurnal Association for Psychological Science, menemukan bahwa orang yang suka membanggakan diri mengira mereka bakal dikagumi, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Mereka malah bikin orang lain ilfeel.

Lucunya, di saat banyak orang quiet quitting, si pekerja berisik ini justru “join with pride”. Tapi cuma buat kerjaan yang bisa dipamerin. Mereka males mengerjakan hal-hal penting yang nggak kelihatan. Padahal, kerja-kerja sunyi itulah yang kadang bikin organisasi jalan. Jadi bukan suara kerasnya, tapi aksi nyata dari mereka yang nggak banyak omong.

Joe Galvin, kepala peneliti di Vistage, menyebut kehadiran si loud laborer bisa jadi racun di tempat kerja. Mereka bukan cuma mengganggu, tapi juga menurunkan produktivitas dan moral tim.

Photo: hcamag.com

Ketika satu orang sibuk pencitraan tapi nggak ngasih output nyata, beban kerja jadi numpuk ke rekan lainnya. Ini bisa bikin burnout berjamaah dan suasana kerja makin nggak sehat.

Buat para leader, ini berarti harus benar-benar memahami kebutuhan dan motivasi tiap individu dalam tim. Apalagi dengan makin banyaknya karyawan dari Gen Z dan milenial, yang lebih termotivasi kalau mereka merasa pekerjaannya punya makna lebih besar dari sekadar menyelesaikan to-do list.

“Mereka pengen ngerti kenapa pekerjaan mereka penting, dan pengen punya suara yang didengar,” jelas Galvin. Jadi penting buat perusahaan bikin semua orang merasa punya peran penting, mulai dari anak magang sampai jajaran eksekutif.

ADVERTISEMENT

Kekinian, visibility di tempat kerja memang jadi target banyak orang. Tapi tampil menonjol nggak harus berarti jadi loud laborer. Kamu cuma butuh strategi yang bikin kamu terlihat karena hasil kerja, bukan gimmick saja.

Lagi-lagi, budaya kerja yang sehat adalah pondasi utama. Bukan cuma soal seberapa santai dan nyamannya suasana kantor, tapi apakah tiap orang merasa dihargai, dilibatkan, dan tahu arah kerja mereka. Kalau itu sudah terbentuk, niscaya (bisa jadi) nggak ada lagi pekerja cerewet tapi minim hasil. Malah akan menambah bahan bakar buat tim yang benar-benar solid dan produktif. Amiin.

SendShareShareTweet

Tulisan Lainnya

Kultur Pop

Line-up Pestapora 2025 Jadi Porakporanda, Gini Ceritanya..

6 September 2025
Kultur Pop

MetamorfoSwift, Perubahan Ikonik Taylor Swift dari Masa ke Masa

23 August 2025
Kultur Pop

Siapkan Mental Buat Nobar Film Merah Putih: One For All

11 August 2025
Kultur Pop

Vape yang Pengganti Rokok Tembakau Tapi Sekarang Jadi Subkultur

1 August 2025
Next Post

Single: “Parasit” - Yaqin, Narasi Tentang Luka Lama dan Penerimaan Diri

Emang Harus Banget Ada MPLS Pas Adik-Adik Baru Masuk Sekolah?

Ikutan Olahraga Hits Tapi Bikin Kantong Tipis

Album: Passage of Time dari Firstrate, Gelisahnya Alternative Rock

Please login to join discussion

© 2025 hipKultur.com

Opsi Lainnya

  • About Us
  • Let’s Connect

Ikuti

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Sign Up
Kirim Tulisan
  • Beranda
  • Kultur Pop
  • Isu
  • Trivia
  • Profil
  • Fit & Zen
  • Cuan
  • Pelesir
  • Ekspresi
No Result
View All Result

© 2025 hipKultur.com

Exit mobile version