Kamu mungkin sudah familiar sama istilah quiet quitter. Mereka ini orang-orang yang diam-diam memutuskan buat nggak lagi ngoyo di tempat kerja. Nggak buka chat pas waktunya libur, nggak sukarela lembur, pokoknya lebih fokus jaga kesehatan mental. Gen Z, yang diprediksi bakal mengisi lebih dari 30% angkatan kerja pada 2030, banyak yang milih jalan ini.
Tapi ya tipe karyawan memang macam-macam. Ada juga kebalikannya quiet quitter. Mereka yang banyak omongnya, kelihatan paham dan jago menangani jobdesk-nya, suka sekali membanggakan diri sendiri dan rentetan pengalamannya, tapi kerjaannya.. nggak beres-beres amat. Itu namanya Loud Laborer.
Istilah Loud Laborer pertama kali dikenalkan sama André Spicer, profesor perilaku organisasi dan dekan di Bayes Business School.
Menurut Nicole Price, pelatih kepemimpinan dan pakar budaya kerja, para loud laborer ini bukan sekadar cari perhatian. Justru mereka biasanya cerdas secara politik, jago main citra, dan aktif banget di jejaring profesional.
“Mereka pakai banyak cara buat promosi diri, ngomong soal apa yang lagi mereka lakukan atau rencanakan—padahal belum tentu dikerjain juga,” kata Price.
Tanda-Tanda Loud Laborer di Kantor
Gimana cara ngenalin mereka? Simpel. Satu: kamu jarang lihat hasil kerjanya beneran selesai. Terus, mereka kebanyakan ngomongin kerjaan yang katanya lagi mereka tangani. Dibahas terus pokoknya.
Tapi ini bukan berarti mereka pemalas, seringkali dorongan di balik perilaku ini adalah rasa nggak percaya diri. Karena nggak yakin sama hasil kerjanya, mereka akhirnya kompensasi lewat cerita dan pencitraan.
Ada juga yang memang lebih termotivasi oleh pengakuan orang lain ketimbang kepuasan dari pekerjaan itu sendiri. Jadi emang bukan mengejar performa, tapi validasi dan apresiasi saja.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Dari sisi psikologi evolusi, erangan dan keluhan itu semacam sinyal buat menunjukkan kalau dia sudah berkontribusi dan mengharapkan imbalan. Kalau sekelompok orang dapat tugas, pasti akan selalu ada salah satu yang paling vokal dan terlihat sibuk.
Makin kompleks dunia kerja, makin canggih juga cara pamer kerja keras. Loud Laborer zaman now bahkan nggak cukup cuma ngeluh. Mereka jago banget bikin presentasi ciamik soal rencana masa depan, ngasih update bombastis di rapat, atau sekadar ngumbar pencapaian sebelumnya (yang sebenernya standar saja).
Sosiolog Amerika Thorstein Veblen juga pernah mengenalkan istilah “conspicuous consumption” (konsumsi mencolok). Orang kaya zaman dulu pamer kekayaan lewat barang-barang mahal. Kalau sekarang kebalikannya. Banyak yang lebih mengunggulkan “produksi mencolok”—pamer produktivitas biar diakui.
Semua ada polanya. Studi oleh kelompok ekonom tentang The Gender Gap in Self-Promotion, menunjukkan kalau sejak kecil, anak laki-laki lebih jago (dan pede) mempromosikan diri, apalagi kalau tugasnya dianggap maskulin. Sebaliknya, perempuan sering merasa serba salah. Mau pamer takut dibilang agresif, nggak pamer takut kalah bersaing.
Efek Loud Laborer
Hat-hati, terlalu sering mempromosikan diri bisa jadi bumerang. Riset dari Irene Scopelliti dan timnya di jurnal Association for Psychological Science, menemukan bahwa orang yang suka membanggakan diri mengira mereka bakal dikagumi, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Mereka malah bikin orang lain ilfeel.
Lucunya, di saat banyak orang quiet quitting, si pekerja berisik ini justru “join with pride”. Tapi cuma buat kerjaan yang bisa dipamerin. Mereka males mengerjakan hal-hal penting yang nggak kelihatan. Padahal, kerja-kerja sunyi itulah yang kadang bikin organisasi jalan. Jadi bukan suara kerasnya, tapi aksi nyata dari mereka yang nggak banyak omong.
Joe Galvin, kepala peneliti di Vistage, menyebut kehadiran si loud laborer bisa jadi racun di tempat kerja. Mereka bukan cuma mengganggu, tapi juga menurunkan produktivitas dan moral tim.
Ketika satu orang sibuk pencitraan tapi nggak ngasih output nyata, beban kerja jadi numpuk ke rekan lainnya. Ini bisa bikin burnout berjamaah dan suasana kerja makin nggak sehat.
Buat para leader, ini berarti harus benar-benar memahami kebutuhan dan motivasi tiap individu dalam tim. Apalagi dengan makin banyaknya karyawan dari Gen Z dan milenial, yang lebih termotivasi kalau mereka merasa pekerjaannya punya makna lebih besar dari sekadar menyelesaikan to-do list.
“Mereka pengen ngerti kenapa pekerjaan mereka penting, dan pengen punya suara yang didengar,” jelas Galvin. Jadi penting buat perusahaan bikin semua orang merasa punya peran penting, mulai dari anak magang sampai jajaran eksekutif.
Kekinian, visibility di tempat kerja memang jadi target banyak orang. Tapi tampil menonjol nggak harus berarti jadi loud laborer. Kamu cuma butuh strategi yang bikin kamu terlihat karena hasil kerja, bukan gimmick saja.
Lagi-lagi, budaya kerja yang sehat adalah pondasi utama. Bukan cuma soal seberapa santai dan nyamannya suasana kantor, tapi apakah tiap orang merasa dihargai, dilibatkan, dan tahu arah kerja mereka. Kalau itu sudah terbentuk, niscaya (bisa jadi) nggak ada lagi pekerja cerewet tapi minim hasil. Malah akan menambah bahan bakar buat tim yang benar-benar solid dan produktif. Amiin.