Kebiasaan hoarding diterjemahkan sebagai ‘menimbun’, sementara disorder adalah ‘ketidakteraturan’. Di ranah kesehatan mental, hoarding disorder adalah gangguan penimbunan. (NHS.uk, program layanan kesehatan masyarakat di Britania Raya)
Artinya, orang yang punya kondisi suka mengumpulkan, menumpuk, atau menimbun barang dalam jumlah berlebihan, tapi disimpan secara nggak rapi, sehingga bisa menimbulkan kekacauan yang nggak terkendali. Orang-orang ini menyimpan barang yang nggak bermanfaat, bahkan nggak ada gunanya sama sekali.
Kebiasaan macam ini bukannya jarang dilakukan, dan memang nggak selalu jadi gangguan. Awalnya cuma sekadar, “Kayaknya sayang kalau barang-barang itu dibuang.” Karena ada pikiran bahwa suatu saat nanti, barang itu pasti akan ada gunanya.
Tapi tanpa sadar, dia terus mengumpulkan barang-barang tersebut. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit, ruangannya pun jadi sempit. Sampai beberapa waktu, masih belum jelas manfaat dari timbunan barang itu. Sampai suatu ketika, cuma menghasilkan tumpukan barang yang berserakan, nggak berguna, bahkan mengganggu kenyamanan hidup.
Pada Dasarnya Manusia Suka Menimbun
Nenek moyang manusia hidup sebagai komunitas pemburu-pengumpul (hunter-gatherer). Jadi secara alami manusia memang suka menimbun. Pada masyarakat prasejarah, mereka mengumpulkan sumber daya, seperti makanan, peralatan, atau benda-benda penting lain.
Semua benda yang dikumpulkan itu maksudnya ditujukan buat bertahan hidup, soalnya lingkungannya dulu masih keras. Memastikan kecukupan bahan makanan adalah wajib, buat menghadapi musim-musim paceklik buruan. Punya persediaan senjata penting, kalau-kalau mendadak kawanan sabertooth menyerang pemukiman.
Sampai sekarang, manusia modern masih mewarisi perilaku semacam itu. Ya, karena memang nalurinya ingin bertahan hidup. Meskipun situasi sekarang nggak sekeras zaman dulu, manusia masih menghadapi ketidakpastian yang sama, seperti nenek moyangnya. Contoh, menimbun uang dengan dalih menabung untuk financial freedom, demi masa pensiun yang nyaman, aman dan terkendali, meski hidup sendiri.
Cuma yang jadi masalah adalah, timbunan barang yang nggak berguna. Sumber daya memang penting buat keberlangsungan hidup, demikian pula uang tabungan. Tapi kalau benda-benda, seperti kantong belanja, buku bekas, pakaian sempit, atau seember paku bengkok dan mur-baut karatan, masih ditimbun dan disimpan, kayaknya itu sudah nggak relevan dengan perilaku hunter-gatherer ala nenek moyang.
Di masa lalu, sumber daya terbatas, sehingga perilaku menyimpan dimaksudkan buat efisiensi. Sementara pada era sekarang, barang melimpah dan akses mudah bikin perilaku menimbun jadi nggak terkontrol, bahkan ujungnya bisa kacau. Maka, hoarding disorder bisa jadi adalah cerminan dari warisan sifat manusia purba yang berlebihan.
Kapan Suka Menimbun Jadi Masalah?
Awalnya, kebiasaan menimbun dianggap wajar, apalagi kalau barangnya bernilai sentimental atau fungsional. Tapi, akan jadi masalah kalau perilaku itu mulai mengganggu kualitas hidup, baik secara fisik maupun emosional.
Ada bedanya antara penimbun biasa dengan pemilik hoarding disorder. Tanda-tandanya bisa dicek di beberapa uraian berikut:
Barang yang Dikumpulkan Nggak Bernilai
Orang dengan hoarding disorder cenderung menyimpan barang-barang yang nilainya sentimental. Tapi secara teknis barang-barang itu nggak ada gunanya, nggak bisa dijual atau fungsional. Saking sentimentalnya, nggak jarang orang lain dilarang menyentuh, meminjam, apalagi membuang barang-barang tersebut.
Nggak Terorganisir
Tumpukan barang yang nggak punya kategori jadi ciri khas identik dari hoarding disorder. Selain nggak ada kategori khusus, penyimpanannya pun nggak terorganisir. Barang-barang Cuma memenuhi ruang yang harusnya dipakai buat aktivitas sehari-hari, misalnya di kamar tidur, ruang tamu, atau dapur.
Sulit Memutuskan
Orang dengan hoarding disorder sering sulit memilih, antara menyimpan atau membuang suatu barang. Ada kecemasan tertentu yang muncul, sehingga lebih mungkin mereka menunda ambil keputusan. Atau memutuskan memilih menyimpan semuanya dengan alasan, “Siapa tahu nanti berguna.”
Aktivitas Mulai Terganggu
Ya, namanya ruangan penuh sesak, apalagi oleh barang-barang nggak berguna, pasti lama-lama akan mengganggu aktivitas. Aktivitas bersih-bersih pun akan susah dilakukan. Lingkungan yang nggak teratur juga bisa meningkatkan risiko kecelakaan, misalnya jatuh karena kesandung barang berserakan.
Hubungan Sosial Ikut Terdampak
Hoarding disorder nggak jarang juga memengaruhi hubungan dengan keluarga atau teman. Rumah penuh barang bisa bikin hoarder malu menerima tamu. Kalau ada orang yang coba membantu dengan mengatur barang-barang, bisa-bisa dia malah kena semprot.
Penyebab Hoarding
1. Punya Trauma
Hoarding bisa terjadi karena merasa tertekan akibat pengalaman masa lalu, seperti kehilangan harta benda atau orang yang dicintai. Ingatan itu bikin trauma, takut kehilangan lagi seperti kejadian masa lalu.
2. Barang Kenangan
Dikutip dari Anxiety And Depression Association of America, biasanya ada kenangan tersendiri pada barang yang disimpan. Membuang barang tersebut sama saja dengan menghapus kenangan.
3. “Barangkali Nanti Ada Gunanya”
Ini alasan paling umum, seseorang mengira kalau barang rusak bisa diperbaiki untuk dipakai lagi. Tapi namanya hoarding disorder, mood buat memperbaiki nggak segera datang. Ditunda terus sampai lupa atau rusaknya makin parah, sehingga barang cuma jadi tumpukan dan berserakan tanpa ada kejelasan.
4. Gangguan Mental
Penderita stres, depresi, kecemasan, dan Obsessive Compulsive Disorder (OCD), sering dijumpai juga penimbun barang. Mereka merasa lebih aman, bahkan bahagia dengan barang berlebihan yang dimiliki. Ada perasaan cemas dan khawatir, tertekan, sampai sulit mengambil keputusan untuk membuang barang.
Bedanya Hoarding dan Koleksi
Kebiasaan menimbun barang yang bernilai sentimental, erat hubungannya sama koleksi. Tapi lagi-lagi, koleksi juga nggak sama dengan hoarding disorder.
Ashley E. Nordsletten menuliskan hasil studinya di Journal of Comprehensive Psychiatry (2013). Sebelumnya, ilmuwan Universitas Michigan ini meneliti 29 orang yang diduga terindikasi hoarding disorder, dan 20 orang yang biasa koleksi barang. Kesimpulannya, dua kelompok tadi punya perbedaan cukup lebar.
Pertama, kolektor biasanya fokus ke satu sampai sekitar 6 jenis barang tertentu, seperti action figure, buku, CD dan kaset, atau t-shirt. Sementara para penimbun mengumpulkan berbagai macam barang tanpa batasan khusus, bisa sampai 15 macam.
Kedua, kolektor nggak sembarangan milih barang yang akan dikumpulkan. Ada rencana cermat, sampai ke tempat penyimpanan khusus dan kerapiannya. Sebaliknya, penimbun mengumpulkan secara acak tanpa perhitungan, menaruhnya pun di tempat sembarangan. Mereka juga lebih punya dorongan belanja impulsif (35% penimbun vs 10% kolektor), dan suka berlebihan dalam membeli barang (80% penimbun vs 40% kolektor).
Ketiga, kolektor menikmati kegiatan mengumpulkan barang, tapi penimbun malah merasa stres. Namun ada juga kolektor yang kurang menikmati, karena ada masalah keuangan atau pasangannya tidak setuju.
Keempat, kolektor cenderung punya kehidupan sosial yang baik. Sering ditemukan kolektor yang berteman, bahkan menikah lewat sosialisasi berdasarkan minat mereka. Di sisi lain, penimbun cenderung punya gangguan sosial, misalnya susah bersosialisasi atau milih untuk menyendiri.
Kelima, baik penimbun maupun kolektor sama-sama sulit membuang barang dan punya alasan, “Siapa tahu nanti berguna.” Tapi alasan itu lebih banyak ditemukan pada kelompok penimbun dibandingkan kolektor (93% penimbun vs 30% kolektor).
Enam, baik kolektor maupun penimbun juga merasa barang-barang miliknya adalah bagian dari identitas, atau punya nilai yang sentimental. Tapi semua kolektor yakin dengan identitas sebagai kolektor, sementara cuma separuh dari kelompok penimbun yang yakin dirinya penimbun.
Tujuh, meskipun dua kelompok sama-sama punya masalah kesehatan mental atau kecanduan, kelompok penimbun jumlahnya lebih banyak (69% penimbun vs 40% kolektor). Dan, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penimbun sering kali adalah golongan masyarakat berpendapatan lebih rendah daripada kolektor.
Kebiasaan Hoarding Ini Sering Terlihat di Sekitar
Kamu mungkin sering melihat orang yang punya kebiasaan menimbun barang, biasanya tanpa sadar. Alasannya, lagi-lagi karena mengira barang itu akan berguna di masa depan, entah kapan.
Hipmin juga sering nemu orang-orang di sekitar yang menyimpan barang-barang dengan sedikit manfaat. Alih-alih berguna, barang-barang ini seringnya cuma mengurangi ruang gerak, bikin kacau, dan sulit dibereskan. Karena terlanjur menumpuk, keburu capek dan malas kalau mau membersihkan.
Ini beberapa contoh barang yang sering jadi ‘korban’ kebiasaan hoarding:
- Struk ATM, nota belanja, atau bon pembayaran sering kali disimpan tanpa alasan jelas. Idealnya, ini dilakukan buat keperluan akuntansi atau mencatat keuangan.
- Kardus bekas barang elektronik, sepatu, atau produk apa saja sering disimpan. Harapannya, bisa dipakai membungkus atau mengepak sesuatu di masa depan.
- Bapak-bapak suka nimbun perabot atau material bekas nggak layak pakai, maksudnya mau memperbaikinya nanti. Sayangnya itu jarang jadi kenyataan. Meski disimpan di lokasi khusus yang tersembunyi, tetap saja mengurangi estetika dan luas ruang.
- Buku tulis, catatan, atau pelajaran sekolah yang bekas. Disimpan karena dianggap punya kenangan, atau dikira bisa berguna buat saudara lebih muda. Padahal, nggak semua isinya relevan, bahkan sama sekali nggak bisa dipakai.
- Tas belanja dari toko yang dibawa pulang dikumpulkan sampai menumpuk. Bahkan jumlahnya bisa jauh lebih banyak daripada yang diperlukan.
- Barang seperti mug, kaos, atau souvenir acara lainnya sering disimpan, meskipun nggak benar-benar dipakai. Kenang-kenangan, katanya. Tapi nggak dirawat juga.
- Alat elektronik bekas atau rusak, kabel lama, charger, earphone, atau printilan lain yang sudah nggak cocok dengan perangkat baru, tetap disimpan cuma buat jaga-jaga.
- Baju yang sudah kekecilan, ketinggalan zaman, atau bahkan rusak sering kali tetap disimpan dengan alasan, “Siapa tahu nanti punya adik.”
Apa terdengar nggak asing? Sebenarnya nggak cuma itu, ada beberapa jenis barang lain yang seringkali ditumpuk dan ditimbun sampai lama. Ketika sadar, pemilik rumah seringkali baru ngeh kalau jumlahnya sudah nggak terhitung. Solusi akhirnya, ke tukang rombeng atau tukang loak.
Tapi gimana kalau nggak kunjung sadar?
Mengatasi Hoarding Disorder
Kalau kamu menduga kenalanmu punya masalah nimbun barang, cobalah bujuk mereka ke dokter umum. Tapi, itu mungkin akan sulit, karena biasanya dia nggak merasa butuh bantuan. Oleh karenanya, kamu harus peka dan benar-benar peduli pada mereka.
Kamu perlu meyakinkan padanya bahwa nggak ada orang yang akan membereskan barang timbunan itu, apalagi membuangnya. Kepada dokter, kamu juga perlu membicarakan perilaku buruk tersebut, apa yang bisa dilakukan buat mendorong pasien agar mulai merapikan tumpukan barangnya.
Dokter umum mungkin akan memberi rujukan ke layanan kesehatan mental. Layanan kesehatan mental biasanya punya terapis yang paham pada masalah, seperti OCD dan menimbun barang.
Mencoba mengulurkan tangan dengan membersih-rapikan barang-barang timbunan bukanlah ide yang bagus. Hubunganmu dengan si pasien akan merenggang, karena kamu mungkin akan dianggap lancang. Lagian, cara itu biasanya nggak menyelesaikan masalah. Si penimbun lama-lama juga akan bikin tumpukan barang lagi yang berantakan.
Penanganan Medis
Kalau kenalanmu itu mau bertemu psikolog, mungkin dia akan mendapatkan terapi perilaku kognitif (Cognitive Behaviour Therapy/CBT). Terapi ini akan berlangsung dalam beberapa tahap. Mulai dari menggali penyebab kondisi yang sedang dialami, mengubah pola pikir dan perilaku yang salah secara bertahap, sampai latihan dan praktik memecahkan masalah.
Terapis akan membantu si pasien lebih paham, kenapa mereka susah membuang barang dan kenapa mereka menumpuknya. Ini dikombinasikan dengan tugas-tugas praktis dan rencana untuk dikerjakan.
Bila perlu, pasien juga bisa diberi obat antidepresan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Menurut NHS, obat jenis ini terbukti membantu sebagian orang yang punya gangguan menimbun barang.
Terapi Perilaku Kognitif
CBT adalah jenis terapi bicara yang tujuannya membantu mengelola masalah dengan mengubah cara berpikir (kognitif) dan bertindak (perilaku).
Ini mendorong pasien ngomong tentang bagaimana dia berpikir tentang dirinya sendiri, dunia dan orang lain, serta bagaimana perilakunya berpengaruh pada pikiran dan perasaannya.
Sesi terapi perilaku kognitif (CBT) biasanya dilakukan rutin dalam jangka panjang. Selain dilakukan di klinik atau layanan kesehatan, terapi juga bisa dilakukan di rumah untuk mengatasi kekacauan secara langsung.
Ini memerlukan motivasi, komitmen, dan kesabaran, karena diperlukan waktu berbulan-bulan untuk mencapai tujuan pengobatan.
Tujuannya CBT adalah meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan dan keterampilan berorganisasi. Membantu mereka mengatasi keinginan untuk menimbun, dan pada akhirnya membersihkan kekacauan di rumahnya sedikit demi sedikit.
Terapis nggak akan membuang apa pun, tapi membantu membimbing dan mendorong pasien untuk melakukannya sendiri. Kalau sudah sampai masa akhir perawatan, pasien mungkin belum bisa membereskan semua timbunannya. Tapi, mereka akan memperoleh pemahaman lebih baik tentang masalahnya. Jadi, mereka terdorong untuk terus membangun kebiasaan baru yang lebih positif, sekaligus menghindari balik ke kebiasaan lama.