Nabi Nuh alaihissalam merupakan tokoh agung dan nabi dalam ajaran Islam, memiliki peran utama dalam kisah banjir besar yang terdapat dalam Al Qur-an, Alkitab, dan Tanakh atau Taurat, kitab suci Ibrani.
Ia termasuk dalam golongan Ulul Azmi, bahkan yang pertama mendapatkan gelar tersebut. Ulul Azmi merupakan gelar bagi nabi dengan ketabahan dan kesabaran luar biasa besar dalam menghadapi cobaan dan tantangan semasa berdakwah. Selain Nabi Nuh, gelar tersebut disematkan kepada Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw.
Kisah Nabi Nuh tak lepas dari peristiwa banjir besar yang masih diperdebatkan skalanya. Meski kitab-kitab agama menyebutkan bahwa banjir ini bersifat global. Para ilmuwan masih belum menemukan fakta kebenarannya. Banyak peneliti meyakini kalau banjir yang dimaksud terjadi dalam skala regional, di wilayah sekitar Laut Hitam sekarang.
Terlepas dari itu, banyak kebudayaan mencatat berbagai legenda tentang banjir besar. Bahkan di Indonesia, Suku Dayak Iban punya cerita turun temurun yang mirip peristiwa banjir Nabi Nuh. Di mana ada tokoh bernama Trow yang menyelamatkan diri saat banjir, menumpang lesung dan membawa hewan peliharaan. Ini berdasarkan penelitian ilmuwan dari Oxford, Inggris, Professor Stephen Oppenheimer pengarang buku Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara.
Riwayat Nabi Nuh Alaihissalam
Sampai sekarang belum ada penelitian ilmiah yang mengungkapkan secara spesifik kapan dan di mana Nabi Nuh dilahirkan. Ada yang mengatakan bahwa ia lahir di sebuah tempat yang dikenal sebagai Ur Kasdim atau Ur of the Chaldeans. Ini adalah kota kuno di wilayah Mesopotamia, sekarang merupakan bagian wilayah Irak.
Setidaknya ada dua pendapat tentang waktu kelahiran Nabi Nuh. Sumber pertama menyebutkan bahwa ia lahir sekitar 1000 tahun setelah Nabi Adam wafat. Tapi, ada pula yang meyakini kelahirannya adalah 146 tahun setelah wafatnya Nabi Adam.
Nuh adalah keturunan Nabi Adam dari garis Syits yang juga menurunkan Nabi Idris. Ia adalah cucu dari anak Nabi Idris, generasi ke 9 dari Nabi Adam. Ayahnya bernama Lamik, kakeknya bernama Matusylakh atau Metuselah, putra dari Nabi Idris. Nama Matusylakh tercatat dalam Alkitab sebagai manusia dengan umur hidup terpanjang, yakni 969 tahun.
Nama Nuh berasal dari Bahasa Syria yang berarti ‘bersyukur’. Allah SWT juga memberikan gelar abdussyakur kepadanya, seperti tertuang dalam Surat Al-Isra ayat 3.
“[Yaitu] anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba [Allah] yang banyak bersyukur,” begitulah terjemahannya.
Nuh juga dikenal dengan nama Noah. Nama ini berasal dari Bahasa Ibrani, maknanya “damai”, “berumur panjang”, “penghibur”, atau “pengembara”. Di Prancis, Nuh atau Noah dikenal sebagai Noe.
Selama hidupnya, Nuh menikah sekali dengan Wali’ah. Pernikahan itu menurunkan empat putra, yaitu Sam, Ham, Yafit’s, dan Kan’an, serta seorang putri yang tidak diketahui namanya.
Nabi Nuh hidup sampai usia 950 tahun, dan informasi tentang wafatnya pun masih simpang siur. Beberapa tempat yang dipercaya sebagai lokasi makamnya, antara lain di Qaryah Tsamanin di dekat Gunung Jaudi di Mosul, Irak, Karak Ba’albak di Lebanon, Nahawand di Iran, dan banyak lagi.
Bukan Noah yang ini, tapi ini lumayan….
Dakwah Nabi Nuh
Sebagai nabi bergelar Ulul Azmi, cobaan kepada Nabi Nuh amatlah besar. Ia mendapat wahyu kenabian dan perintah untuk menyebarkan tauhid pada usia sekitar 450 tahun. Waktu itu terjadi masa fatrah, yakni kekosongan risalah sepeninggal Nabi Adam dan Nabi Idris.
Umatnya adalah Bani Rasib, yang dikatakan sebagai penyembah berhala. Berhala-berhala itu memiliki nama, Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.
Menurut tafsir Al-Muyassar dari Kementerian Agama Arab Saudi, Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr dulunya adalah nama orang-orang soleh. Namun setelah mereka wafat, orang-orang mulai mengidolakannya secara berlebihan. Membuat relief dan patung-patung mereka dengan tujuan awal sebagai inspirasi dan mengenang kebaikan mereka. Namun berganti generasi, masyarakat lambat laun malah terjerumus menyembahnya dan menjadikannya berhala.
Melihat fenomena tersebut, Nabi Nuh mengajak kaum Bani Rasib untuk kembali bertauhid. Sayangnya, penolakan demi penolakan terus terjadi.
Kisah Nabi Nuh a.s. yang berdakwah kepada Bani Rasib tertulis dalam Al-Quran Surat Al-A’raf ayat 59. “Sungguh, Kami telah mengutus Nuh (sebagai rasul) kepada kaumnya, lalu ia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah (karena) tidak ada tuhan bagi kamu selain Dia.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah) aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (hari Kiamat).”4
Meski terus mendapat respon negatif, bahkan berupa hinaan dan ancaman, Nabi Nuh terus berusaha berdakwah. Apalagi dua orang anggota keluarga, yakni istrinya sendiri, Wali’ah dan salah seorang putranya, Kan’an, juga termasuk orang-orang yang menolak ajaran tauhid. Saking sabar dan tabahnya, ia selalu mendoakan kaumnya agar terbuka hatinya pada kebenaran Allah.
Banjir Besar dan Bahtera Nabi Nuh
Akan tetapi sampai pada suatu ketika, Bani Rasib seakan benar-benar tidak bisa diselamatkan. Ada sebuah kutipan dalam Al-Quran, yakni pada Surat Asy-Syuara ayat ke 117-118. Di mana ayat tersebut sering dijelaskan sebagai salah satu doa Nabi Nuh.
Bunyi terjemahan ayat tersebut, Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku; maka berilah keputusan antara aku dan mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang mukmin yang beriman bersamaku.”
Barangkali ayat inilah yang menjadi penanda, turunnya wahyu Allah SWT kepada Nabi Nuh tentang peristiwa banjir bandang dan perintah untuk membuat kapal.
Allah yang Maha Mengetahui menyampaikan informasi tentang banjir. Juga memerintahkan Nabi Nuh untuk membangun kapal besar. Ini sebagaimana tercatat dalam kitab-kitab Yahudi dan Kristen.
Di dalam kapal itu, nantinya Nabi Nuh akan menampung keluarga dan orang-orang beriman, sepasang hewan dari setiap jenis, serta benih-benih tumbuhan yang subur.
Informasi ini difirmankan Allah dalam Al-Qur’an, Surat Nuh ayat 1-3. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan perintah),’Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih.’ Dia (Nuh) berkata,’Wahai kaumku! Sesungguhnya aku ini seorang pemberi peringatan yang menjelaskan kepadamu. Sembahlah Allah, dan bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.”
Yang ga suka kenceng, skip aja…
Membangun Kapal Besar
Atas wahyu tersebut, mulailah pembangunan bahtera atau kapal besar di lokasi yang jauh dari jangkauan kaumnya. Nuh dibantu anak-anaknya, Sam, Ham, Yafit’s, beserta pengikutnya yang sedikit.
Diriwayatkan bahwa kapal tersebut berukuran panjang 300 hasta (183 meter), lebar 50 hasta (30,5 meter), dan tinggi 30 hasta (18,3 meter). Memiliki tiga tingkat, masing-masing untuk binatang buas dan binatang ternak di tingkat bawah, para pengikut dan binatang jinak di tengah, serta burung-burung di tingkat atas.
Ketika kaum Bani Rasib mengetahui hal itu, otomatis mereka mencibir dan mencemooh, hingga menyebut Nuh dan kaumnya adalah orang-orang gila. Pasalnya mereka sama sekali tidak membaca adanya tanda-tanda akan turun hujan, apalagi sampai banjir bandang.
Cendekiawan muslim, Al-Thabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Nabi dan Raja) pernah menyampaikan. Bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Nuh untuk menanam pohon. 40 Tahun setelah menanamnya, Allah menurunkan perintah lagi, untuk menebangnya dan menggunakannya sebagai material membangun bahtera.
Menurut Salman Al-Farisi, proses pembangunan kapal Nabi Nuh berlangsung selama sekitar 400 tahun. Sementara jenis kayu yang dipakai adalah dari pohon jati.
Banjir Besar Datang
Akhirnya, tibalah hari datangnya banjir bandang. Diceritakan bahwa hujan pertama turun pada hari Jumat. Dalam Surat Al-Qamar ayat 12, disebutkan bahwa air penyebab banjir berasal dari pintu-pintu langit yang dibuka oleh Allah.
Mengutip Republika, ini berkaitan dengan pendapat Donald Patten dalam buku Cataclysm From Space. Menurutnya, ada kemungkinan bahwa sebelum banjir besar Bumi diselimuti lapisan kanopi air. Banjir besar terjadi akibat hancurnya lapisan kanopi tersebut, sehingga hujan lebat turun dengan intensitas begitu hebat.
Ketika hujan mulai turun, Nabi Nuh sempat memperingatkan lagi kaum yang ingkar, termasuk istri dan seorang putranya sendiri. Ia masih mengajak mereka untuk beriman dan menyelamatkan diri bersama bahteranya. Namun para pembangkang ini masih teguh pada pendirian sesat mereka. Pada akhirnya, banjir pun menenggelamkan Bani Rasib beserta seluruh peradabannya.
Sementara itu, Nabi Nuh beserta para pengikutnya selamat di atas kapal. Mereka terombang-ambing di atasnya selama berbulan-bulan, pendapat ulama antara 150 hari sampai 6 bulan.
Disebutkan pula bahwa ketika banjir akhirnya surut, kapal Nabi Nuh karam di Gunung Judi. Menurut Dr. Maurice Bucaille, ilmuwan peneliti ayat-ayat Al-Quran, Gunung Judi adalah puncak tertinggi pegunungan Ararat, kini wilayah Turki.
Pendaratan itu jatuh pada tanggal 10 Muharram yang dikenal sebagai Hari Asyura. Pada hari itu, Nabi Nuh dan pengikutnya melaksanakan puasa sebagai rasa syukur atas nikmat keselamatan yang Allah berikan. Konon, bahkan hewan-hewan juga ikut berpuasa.
Sambil menyelam..
Nabi Nuh Pasca Banjir
Jumlah pengikut Nabi Nuh tidak diterangkan secara spesifik, hanya disebutkan bahwa mereka amat sedikit. Ada riwayat menyebutkan jumlahnya kurang dari 100 orang. Ada pula pendapat bahwa jumlahnya 40 lelaki dan 40 perempuan.
Dari atas Gunung Judi, para pengikut Nabi Nuh kemudian menyebar ke berbagai penjuru Bumi. Namun tidak semua menghasilkan keturunan. Pasalnya, sebagian besar dari mereka sudah berusia amat lanjut.
Banyak pihak meyakini bahwa umat manusia saat ini adalah keturunan Nabi Nuh dari tiga anaknya, yakni Sam, Ham, dan Yafits.
Sebuah hadis riwayat Imam Ahmad menerangkan bahwa Sam adalah moyang orang Arab, Ham adalah moyang Habsyah, dan Yafits adalah moyang orang Rum. Orang Arab yang dimaksud adalah ras Arab yang kini banyak mendiami Timur Tengah. Sementara Habsyah mengacu pada Abasiyah, ras orang-orang Afrika. Sedangkan orang Rum maksudnya adalah ras orang Romawi atau Eropa.
Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam Surat As-Saffat ayat 75-77. Terjemahannya berbunyi, “Sungguh, Nuh benar-benar telah berdoa kepada Kami dan sungguh, Kamilah sebaik-baik yang memperkenankan doa. Kami telah menyelamatkan dia dan pengikutnya dari bencana yang besar. Kami menjadikan keturunannya orang-orang yang bertahan (di Bumi).”
Nabi Nuh sempat hidup beberapa tahun setelah peristiwa banjir. Imam Jaluddin al-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulumil Qur’an mengungkapkan kalau Nabi Nuh hidup 60 tahun. Ia wafat pada usia 950 tahun, meninggalkan pengikut dan generasi baru umat manusia.
Teladan dari Kisah Nabi Nuh
Kisah Nabi Nuh dimulai ketika Allah mengangkatnya sebagai nabi. Ia menjalankan perintah Allah untuk memberikan informasi kebenaran tauhid. Itu dilakukannya selama bertahun-tahun, meski hanya sedikit orang yang percaya.
Di tengah pembangkangan kaumnya, Allah memerintahkan untuk membangun kapal besar sebagai penyelamat dari banjir besar yang akan melanda. Nabi Nuh menerima perintah tersebut dengan iman yang penuh, tanpa banyak pertanyaan. Ia mulai membangun kapal dengan ikhlas, meski banyak orang meragukan, mencibir, bahkan menyebutnya tak waras.
Puncak dari perjuangan Nabi Nuh adalah ketika banjir besar akhirnya benar datang. Ia terpaksa merelakan istri dan satu anaknya tenggelam ditelan banjir. Bagi orang penuh kasih seperti Nabi Nuh, tentu saja hal itu sangat berat.
Kisah Nabi Nuh mengajarkan kita tentang sabar, tabah, dan ikhlas, dalam menghadapi segala hal, terutama ujian hidup. Nabi Nuh selalu pasrah pada setiap keputusan Ilahi tanpa pernah ragu. Ia hanya berusaha melakukan segala perintah dengan baik dan benar, tanpa memedulikan kepentingan lainnya.
Cibiran, hinaan, dan ancaman yang ia peroleh dari kaumnya tidak pernah digubris berlebihan. Ia tanggapi dengan sabar. Pastinya Nabi Nuh punya kecerdasan emosional yang sangat baik. Sejauh kisah-kisah tentang dirinya, segala bentuk konfrontasi selalu disikapi dengan bijaksana. Bahkan sampai saat-saat terakhir, ia masih tetap setia kepada istri dan anaknya yang ingkar dari ajaran kebenaran.
Selain itu, berbagai riwayat tentang Nabi Nuh tersebut juga mengungkapkan pentingnya kerja keras dan ketekunan. Itu dicontohkan pada kisah Nabi Nuh saat membangun kapal. Dimulai sejak menanam pohon untuk material yang butuh waktu berpuluh tahun. Sampai proses pembangunan, mengumpulkan flora fauna pilihan, dan menyiapkan perbekalan yang tentunya memakan waktu teramat lama. Namun akhirnya, kerja keras dan ketekunan itu menuai hasil yang menggembirakan.