in

Belajar Lagi Soal Tone Deaf dari Pak Haji Bolot

Kritik dari Pak Haji Bolot soal tone deaf
Ilustrasi: Pak Haji Bolot

Penikmat komedi Indonesia pasti familiar dengan tokoh Pak Haji Bolot. Karakter Betawi yang pakai gimmick tuli selektif, yakni nggak mampu mendengar dengan baik, kecuali untuk percakapan soal uang dan saat berbicara dengan wanita cantik.

Kalau dipikir-pikir, karakter Pak Haji Bolot ini mirip dengan istilah tone deaf dalam konteks komunikasi sosial. Seperti Haji Bolot yang hanya mau mendengarkan sesuatu yang ingin dia dengar, tone deaf seringnya nggak peka atau minim empati terhadap situasi sosial yang sebenarnya terlihat jelas. Dan nggak sedikit dari kita yang punya kecenderungan tuli dalam interaksi sosial.

Tone Deaf Artinya Tuli Nada

Istilah tone deaf atau tuli nada awalnya dipakai di ranah musik. Buat menyebut orang-orang yang nggak mampu mengenali nada sehingga fals saat menyanyi. Secara serampangan, kemudian berkembang menjadi sebutan buat orang yang bakat musiknya minim atau sama sekali nggak punya.

Tone deaf sebenarnya merupakan kelainan bawaan, di dunia medis disebut dengan amusia. Menurut classical-music.com (situs afiliasi Majalah Musik BBC), kondisi ini dialami oleh sekitar 4% dari seluruh populasi manusia.  

Mereka yang punya sifat bawaan ini nggak bisa mengenali perbedaan nada atau mengikuti dan mengingat nada-nada simpel. Dalam kasus lebih parah, orang-orang dengan amusia menggambarkan musik nggak menyenangkan, menyebutnya kebisingan, sehingga gagal menikmatinya.

Studi berjudul The Genetics of Congenital Amusia, yang diterbitkan di PubMed Central, menemukan kaitan genetik tentang kondisi amusia. Individu tuli nada cenderung berkerabat dengan orang yang juga punya kondisi sama.

Peneliti Isabelle  Peretz, Stéphanie  Cummings, dan Marie-Pierre  Dubé dalam studi tersebut. Menyimpulkan bahwa tuli nada kemungkinan besar dipengaruhi oleh beberapa gen yang berinteraksi, baik satu sama lain maupun dengan lingkungan. Untuk menghasilkan kerentanan menyeluruh terhadap perkembangan gangguan.

Atau kalau disimpulkan lebih sederhana, genetika bisa jadi memainkan peran penting dalam tuli nada, pun dengan faktor sosial yang mungkin juga berperan.

Tuli Nada Sosial

Menurut kamus Bahasa Inggris Merriam Webster, tone deaf dalam konteks sosial artinya memiliki atau menunjukkan ketidakpekaan atau kurangnya persepsi, terutama dalam hal sentimen, opini, atau selera publik.

Istilah ini biasa dipakai untuk melabeli seseorang atau komunitas yang nirempati atau nggak punya kepekaan sosial.  Tapi, seringnya label tone deaf sering disematkan kepada golongan orang-orang dengan privilege (hak istimewa), sebenarnya nggak selalu demikian. Siapa saja yang nggak sensitif atau kurang empati dalam merespons situasi yang dialami orang lain, berhak disebut tone deaf.

Meskipun begitu, memang ada beberapa studi yang menyimpulkan bahwa sikap nggak peka itu sering kali ditunjukkan oleh orang-orang dengan hak istimewa, sebut saja orang kaya. Mengutip Kumparan, studi Social Class, Contextualism, and Empathic Accuracy oleh Michael W. Krauss dan kolega, menemukan bahwa orang di kelas ekonomi rendah punya empati lebih baik.

Begitu juga, psikolog Paul Piff dan Dacher Keltner dari Berkeley dalam studi Higher Social Class Predicts Increased Unethical Behavior membuat kesimpulan. Bahwa ketika seseorang tangga sosialnya naik, empatinya kepada orang lain justru malah menurun.

Contoh-contoh pelabelan tone deaf bisa dengan mudah ditemukan, khususnya di ranah-ranah ketimpangan. Misalnya Jane Onyanga-Omara, editor USA Today waktu mengkritik soal parade kemewahan dalam Met Gala di tengah perjuangan masyarakat melawan kemiskinan.

Ia berkata, “Yes, Zendaya looks stunning. But Met Gala was a tone-deaf charade of excess and hypocrisy (Ya, Zendaya tampak memukau. Namun Met Gala adalah sandiwara tidak peka yang berlebihan dan munafik).”

Ada lagi contoh ketika seorang istri anak presiden mengunggah postingan lewat akun media sosialnya. Menampilkan aktivitas personalnya yang mewah di mancanegara, di tengah aksi protes massa terhadap bapak mertuanya di dalam negeri. Terlepas tepat atau tidak, warga-wargi internet juga lantas melabelinya sebagai seorang tone deaf.

Kritik dari Pak Haji Bolot

Tapi, contoh paling akurat sebenarnya justru diperagakan dengan baik oleh Pak Haji Bolot. Di TV, ia menonjol sebagai seorang kakek yang pura-pura tuli, kecuali pada topik atau percakapan yang dia ingin dengar. Itu bisa dilihat sebagai kritik sosial halus buat kita semua.

Tulinya Pak Haji Bolot yang kadang sengaja salah mendengar atau merespons dengan kacau, menggambarkan fenomena di masyarakat. Bagaimana sebagian orang cenderung tidak peka bahkan acuh dan mengabaikan isu penting. Hanya memperhatikan hal-hal yang menarik atau menguntungkan saja buat dirinya.

Topik uang dan wanita cantik yang membuat Haji Bolot langsung sembuh tulinya, adalah kritik buat masyarakat materialis dan pragmatis. Mereka yang cuma perhatian pada keuntungan finansial dan kepraktisan. Sementara menyepelekan nilai-nilai lain yang lebih mendasar, seperti etika dan moral.

Karakter ini juga bisa menggambarkan orang-orang yang mangkir dari tanggung jawab sosial. Hanya memilih fokus pada hal-hal yang bermanfaat secara pribadi. Sembari menutup mata terhadap kewajiban yang lebih luas kepada publik dan lingkungan.